8 November 2011

Not only Tradition and its Historical Values, but also Geographical Locality


Galih W. Pangarsa


...loading image...
What is the different between Quebeq and Seoul?



(The video [19MB in swf format] is a part of my keynote speech presentation on SENVAR 12, November 10, Brawijaya University; click your refresh button to replay the video)



n Venice Biennale 2010, Rem Koolhaas, a practising architect and also a professor in Practice of Architecture and Urban Design at the Graduate School of Design at Harvard University USA, categorized his works with OMA. They noted: “OMA and AMO has been obsessed, from the beginning, with the past. Our initial idea for this exhibition was to focus on 26 projects that have not been presented before as a body of work concerned with time and history. In this room, we show the documentary debris of these efforts. But 2010 is the perfect intersection of two tendencies that will have so-far untheorised implications for architecture: the ambition of the global taskforce of ‘preservation’ to rescue larger and larger territories of the planet, and the – corresponding? – global rage to eliminate the evidence of the postwar period of architecture as a social project. In the second room, we show the wrenching simultaneity of preservation and destruction that is destroying any sense of a linear evolution of time.”

Is past tradition and its historical values must constrain the dynamic of today societies? Indeed history is neither linear nor like geological layers. It is easier to comprehend if we pictured it as a constellation or nebulas: one that distances within thousands of light years from uscan be seen at the same time with our moon. Past tradition can also live in peace alongside current lifestyle. The difficulty lies in adjusting or arranging the cultural strategies.

What is certain, in observing sustainability in architecture as the entity of energy, time, and space , there are some notes need to be drawn, as follows:

Architecture is never about single building or dead monument; architecture is a part of built-environment, and also a part of living culture. Thus, architecture is both societally and ecologically dynamic, spatially and temporarily open ending. Unfortunately, too many architecture education studios in Indonesia, and apparently in other places around the world, implicitly teach their student the outlook that architecture is a “work that thoroughly complete”. In people’s lives reality everywhere, a building is never ‘dead’: it always adjusts to the dynamic of life. Few buildings served as a real life texbook; in a way its authenticity is strictly maintained. Are all the student taught to serve that little fraction of needs? Back to Koolhas/OMA’s note, is it inappropriate to place architecture as social project for students (or future architects)? Even the natural environment surrounding an architecture is ever changing and diverse. Each locality is unique. It is not too easy to apply one place experience to another. In the end, shouldn’t architecture put itself on the equilibrium between man and nature? But in today’s reality, Eurocentrism dominates architecture paradigm of most intellectuals all over the world. And then, so dead the architecture body of knowledge...

Indonesian version avaliable; please click "Baca Lanjut" tombol below. Thankyou.

Di Venice Biennale 2010, Rem Koolhaas, praktisi yang juga "Professor in Practice of Architecture and Urban Design" di the Graduate School of Design at Harvard University, USA, mengkategorisasi karyanya bersama OMA. Catatan mereka: “OMA and AMO has been obsessed, from the beginning, with the past. Our initial idea for this exhibition was to focus on 26 projects that have not been presented before as a body of work concerned with time and history. In this room, we show the documentary debris of these efforts. But 2010 is the perfect intersection of two tendencies that will have so-far untheorised implications for architecture: the ambition of the global taskforce of ‘preservation’ to rescue larger and larger territories of the planet, and the – corresponding? – global rage to eliminate the evidence of the postwar period of architecture as a social project. In the second room, we show the wrenching simultaneity of preservation and destruction that is destroying any sense of a linear evolution of time.” Apakah tradisi masa lalu dan nilai-nilai sejarahnya harus membelenggu dinamika masyarakat kini? Apakah arsitektur tak lagi diharapkan sebagai projek sosial? Memang sejarah bukanlah linear atau seperti lapis-lapis geologi. Lebih mendekati jika digambarkan sebagai gugusan bintang atau nebula-nebula: yang berjarak ribuan tahun cahaya dapat dilihat secara bersamaan dengan bulan bumi yang berjarak sangat dekat dari kita. Tradisi masa lalu pun dapat hidup damai berdampingan dengan gaya hidup kini. Yang sulit adalah menyiasati atau mengatur strategi kebudayaannya.

Yang jelas, jika mengamati kesinambung-lanjutan dalam arsitektur dan lingkungan binaan sebagai kesatuan kenyataan ketenagaan, waktu, dan ruang , ada beberapa catatan yang sepantasnya ditarik, sebagai berikut:

Arsitektur bukan bangunan tunggal, atau monumen mati; arsitektur adalah bagian dari lingkungan binaan, dan juga bagian dari budaya yang hidup. Dengan demikian, arsitektur secara sosietal dan ekologis dinamis, dan secara spasio-temporal selalu terbuka (untuk tumbuh-berkembang lanjut). Sayangnya, masih terlalu banyak studio pendidikan arsitektur di Indonesia dan tampaknya, juga hampir merata di belahan bumi lain, yang secara implisit mendidikkan sikap kepada para mahasiswa bahwa arsitektur adalah “sebuah karya yang selesai tuntas”. Pada kenyataan hidup rakyat di hampir seluruh dunia, bangunan tak pernah “mati”: selalu menyesuaikan diri dengan dinamika hidup. Hanya sangat kecil bangunan yang menempati posisi sebagai buku pelajaran nyata. Artinya, keasliannya terjaga ketat. Apakah seluruh mahasiswa dididik untuk melayani sebagian sangat kecil kebutuhan itu? Kembali pada catatan Koolhaas/OMA, tak pantaskah posisi arsitektur sebagai social project bagi mahasiswa (atau calon arsitek?). Alam lingkungan tempat eksistensi arsitektur pun selalau berubah. Sangat majemuk pula. Setiap lokal mempunyai kekhasannya. Tak terlalu mudah menerapkan begitu saja pengalaman suatu lokal pada lokal lain. Akhirnya bukankah arsitektur mesti mengambil posisi pada titik perimbangan –berpihak tak hanya pada manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam-- sebagaimana yg saya tulis di atas? Pada kenyataan sekarang, Eurocentrism menguasai pola pikir berarsitektur hampir seluruh intelektual di dunia. Maka, matilah keilmuan arsitektur…

Label:

13 Oktober 2011

Pendidikan Desain Nusantara:
Mengemas pengalaman pribadi & lokal-komunal, bukan hanya menjejalkan teori, metoda, atau gambar-gambar hasil desain para Eurocentric-Starchitects berlabel "Global"..


Galih W. Pangarsa

...memuat gambar...

...memuat gambar...

Karya arsitek Trong Nghia, Water dan Wind Cafe, 2010, di Binh Duong, Vietnam, yang dikonstruksi tanpa paku sebiji pun; Vietnam pun sebenarnya masih dalam kawasan budaya Nusantara. Pertanyaannya: pekakah arsitek kita pada budaya manusia dan alam Nusantara, kalau sehari-hari ia "disetrika" dengan informasi desain Eurocentric?



esain, ibarat hasil baca sesuatu yang dituliskan kembali. Membaca apa? Sejak dari dalam kandungan, manusia telah belajar. Bahkan --tentu saja bagi yang meyakininya-- sejak dari manusia berada di alam ruh. Manusia adalah homo studens, makhluk yang belajar. Dengan kata lain, makhluk yang berakal. Bagi yang meyakininya, di alam ruh, manusia telah mengenali atau bersaksi terhadap Tuhannya, Allah. Salah satu sifat-Nya, adalah Maha Berilmu. Dengan menyaksikan sifat itu, dalam ruh manusia, tertanamlah benih ilmu dari Sang Pencipta. Di kelak kemudian hari, benih ini wajib ditumbuhkan oleh manusia di dunia. Itulah fungsi utama pendidikan.

Perlu dicatat, bakat-potesi dan jalan hidup atau kodrat tiap-tiap manusia tak sama. Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan benih ilmu yang ditanamkan oleh Sang Pencipta dalam suatu sistem pendidikan yang bersifat massal? Di dunia tempat hidupnya, manusia "membaca" (bahkan sebetulnya diperintahkan membaca: iqraa', bacalah!) dan "menuliskan kembali" hasil baca itu sebagai konsep keilmuan. Demikian pula dalam dunia pendidikan desain. Pertanyaan kedua, bagaimana dunia pendidikan melatihkan membaca fenomena dan sekaligus melatihkan menuliskan kembali hasil-baca fenomena? Di dalam aktifitas desain khususnya pada bidang arsitektur, hanya ada satu jawaban, bahwa peserta pendidikan harus langsung mengalami.

Artinya, ia dapat mencerap fenomena desain yang dihadapinya sekaligus dengan sepasang alat: dengan akal ia memahami, memikirkan, dan mengurai-kuncupkan kenyataan empiris secara intelektual (menginduksi realita yang ditangkapnya secara setapak-demi-setapak menjadi program-program atau programming), dan dengan rasa ia mengerti, merasakan, dan menyimpulkan inti-dasar tata-jalinan fenomena secara spiritual (mendeduksi apa -apa yang ada di balik realita yang ditangkapnya itu "secara tiba-tiba" atau intuitif). Keduanya mesti terpadu. Intuisi harus bisa diterjemahkan secara intelektual dalam konvergensi program; programming harus disertai dengan kepekaan intuisi. Proses desain menuntut: [1] kepekaan alat baca yang terpadu secara intelektual-spiritual, [2] ketepatan cara membaca, [3] keterampilan mentransformasikan apa yang dibaca menjadi desain arsitektur, [4] ketepat-kebijakan untuk mengkomunikasikan karya desain itu pada publik; tanpa kemampuan komunikasi itu, sebuah karya yang sangat baik pun akan gagal diterapkan.

Maka, tak ada pilihan lain kecuali ia harus mengalami fenomena proses desain itu secara langsung. Ini sangat rumit untuk dunia pendidikan arsitektur di Indonesia yang bersifat massal. Bahkan hampir musykil. Belum lagi, sifat dasar media gambar diam atau bergerak (still atau moving image) tak dapat menggantikan REALITA YANG SESUNGGUHNYA. Itulah yang dikatakan oleh John Wooden yang dikutip Sawhney tentang design education: "It is what you learn after you know it all that counts." Pendidikan desain bukanlah menjejalkan teori, metoda, atau gambar hasil desain para starchitects yang Eurocentric...

Sekedar perbandingan pengalaman dalam pendidikan desain, berikut adalah tulisan dari Ravi Sawhney, Chairperson of the IDSA/Business Week Catalyst Case Study Program, mantan head juror of the museum's inaugural California Design Biennial exhibition.

Design Education Can Not be Passively Learned, Nor Painlessly Learned,
Ravi Sawhney, 20 Sep 2011, http://www.core77.com/


"It is what you learn after you know it all that counts."
-John Wooden

Over the past year I've read and participated in discussions about design school and the quality of education students currently receive, and thought it would be valuable to share some of my own experiences and what they've taught. The design program I attended in the '70s was a new start-up, with 30-to-1 student-teacher ratios until my senior year. We quickly learned that our instructors weren't equipped to teach everything we needed to know—quite the opposite. Our program's lead professor, in particular, was really behind the times and set in his ways. Disconnected from industry, he had little appetite for embracing new techniques, approaches and technological innovation.

Out of our collective dilemma, we pushed ourselves into new collaborations and individual inquiry, discovering how our profession was led and changing. The understanding and perspective gained has served us well throughout our careers and taught an important lesson—you can't be taught design in the traditional sense of lectures and labs, but you can learn it! We also learned that our design instructors functioned more like coaches—able to provide direction and strategy, offer the voice of experience and inspiration. However, developing and honing the skill set required a commitment to lifelong learning as an individual process.

As students, you must take every opportunity to enrich and optimize your education through inquiry. Having taught design courses myself, I know your instructors will appreciate you even more as they are introduced to new technologies, approaches, insights and experiences you bring to the classroom through this process...nearly as much as they'll take pride in your career achievements. Perhaps you'll even challenge them and they will have to respond in kind.

Be warned your design education will be difficult, painful and never-ending. That said, the reward of creation, of having your ideas become tangible and commercialized while helping improve life even in small ways is truly amazing. The learning pains are worth the rewards—purpose, energy, continual learning, constant challenge and the ability to help others—businesses, the environment and society. As you ready yourselves to the receptivity of learning once again I wanted to share three final thoughts:

1. Experience and failure teach the truly valuable lessons
2. You're not so special—unless you're solving the problems of others
3. You'll have to earn your perspective and that takes time

You'll learn more and retain more through individual experience if receptive to the lessons. Success is career-defining and lends both confidence and credibility to your future endeavors. However, like in most of life, you'll learn the most when things don't go as planned. Failure teaches you to think more holistically, while success often reinforces practices that worked in this instance, but won't translate to others. ...

[kompletnya, silakan baca di Core77 design magazine & resource]

Label: ,

21 September 2011

Menabur Benih Kepekaan, Memanen Pelajaran Arsitektur


Galih W. Pangarsa


emampuan mengamati alam, atau "membaca lingkungan" baik dalam skala tapak maupun regional, tidak diperoleh dengan tiba-tiba. Bahkan mustahil diajarkan hanya dengan buku dan gambar. Betapa banyak pun gambar itu. Kejelian membaca itu memerlukan kepekaan yang lebih banyak didominasi potensi spiritual, ketimbang potensi intelektual. Bila telah cukup peka, maka dari alam, manusia dapat menarik banyak sekali pelajaran. Bahkan boleh dikatakan tak terhingga bagi keterbatasan jangkauan ruang dan waktu si manusia. Pengamatan itu bisa dilakukan pada paras fisiknya sebagai bahan bangunan atau elemen arsitektural, bisa juga merupakan penyimpulan pada paras konsepsual dari tata-jalinan unsur pembentuknya dari berbagai skala (dari skala nano sampai skala semesta), sampai pada paras filosofinya. Batas akhir pencapaian pemahaman manusia adalah pada paras hakikat (energi ruhaniyah, atau gerak-getar zat-ketenagaan). Karena itu dikatakan proses itu ibarat menanam benih kepekaan. Ada yang berhasil menikmati panen raya, namun tak sedikit pula yang kepekaannya mati terbunuh hama sifat tercela.

...memuat gambar...Mas Mamo adalah sangat sedikit di antara arsitek di Indonesia yang dengan sengaja memproses kepekaan dirinya dengan mengamati seksama unsur-unsur alam. Berikut adalah sebagian kecil dokumentasi Mas Mamo tentang pengamatannya pada lingkungan.


Label: ,

24 April 2010

Arsitektur di Negeri Bencana

Galih W. Pangarsa



rsitektur Nusantara tinggal remah-remah, bahkan nyaris punah. Sementara itu, kita perlu sadar sepenuhnya, betapa pen-tingnya identitas pribadi, baik bagi individu maupun bangsa, karena sudah menjadi kodrat manusia ia berperan sebagai subjek yang di-mintai pertanggung-jawaban.

Benarkah bahwa kaum arsitek lepas dari pertanggung-jawabannya selaku bagian dari anak negeri yang tengah dikepung bencana ini? Jika tidak benar, lalu apa yang bermanfaat untuk disumbangkan mereka pada negeri ini? Apakah andil itu diwujudkan dengan terus hanya mengejar prestasi dan prestise diri di pentas panggung seminar atau sayembara desain dengan segala kehebatan gelar dan penghargaan?

Mengkaji Arsitektur Nusantara bukan untuk kembali ke masa lalu. Di tengah-tengah dua persoalan mendasar di atas --hancurnya identitas manusia dan masyarakat serta rusaknya alam lingkungan Nusantara-- pengembangan ilmu arsitektur di negeri ini mesti menanggapinya dengan berupaya menempatkan arsitektur di titik perimbangan yang adil-bijak: tak hanya berpihak pada manusia. Tetapi juga pada kelestarian alam. Rekontekstualisasi Arsitektur Nusantara di negeri subur-makmur yang kini beralih menjadi negeri bencana ini adalah untuk mendudukkan kembali Arsitektur Nusantara sebagai peradaban arsitektur lokal, nasional, regional dan sekaligus mondial. Itu akan tercapai bila nilai universalitas arsitektur negeri ini ditemu-kenali kembali, lalu ditumbuh-kembangkan sebagai rerumpunan kebudayaan yang tetap majemuk, yang terjagai oleh perangai dan sifat kasih-sayang masyarakatnya.

Maka, rekontekstualisasi itu mau tak mau harus diposisikan sebagai bagian dari upaya kebudayaan yang lebih besar, yang berskala negeri dan kebangsaan. Untuk itu, Indo-nesia yang kini ada dalam kungkungan jeruji bencana sosial, ekonomi, budaya, dan alam ini, memerlukan kepemimpinan bangsa yang kuat: mampu mengembalikan manusia dan alam Nusantara pada fitrahnya.

Label:

8 Januari 2010

Mbah Surip, Rendra, dan Gus Dur:
Pelajaran untuk Arsitektur

Galih W. Pangarsa, Universitas Brawijaya


Apa hubungan Gus Dur dengan arsitektur? Hampir tidak ada. Begitu pula dengan WS Rendra dan Mbah Surip. Nilai-nilai di balik perbuatan mereka itulah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Apa itu? Jujur terhadap ukuran-kodrat diri. Dengan kejujuran itu, manusia meraih kemerdekaan menumbuh-kembangkan bakat budaya pribadi, lokalitas atau daerah, dan bangsanya. Pribadi merdeka justru sangat kokoh menghargai hak pihak lain. Itulah dasar menjaga kesatuan bangsa. Bagaimana transformasi filosofi itu dalam arsitektur? Video di atas adalah visualisasi dari sebagian isi e-book di bawah:




E-book di atas mencapai 60.510 unique page viewers dan 8.834 readers (membaca seluruh halaman) pada 6/8/2011, terhitung sejak diterbitkan 5 Januari 2010 lewat YouPublish. Sedangkan versi Video pendeknya pada 6/8/2011 telah mencapai 12,805 viewers di Youtube sejak diunggah pada 29/12/2009.

Diawali dengan merenungkan hikmah pelajaran kehidupan tiga seniman budayawan Indonesia yang wafat tahun 2009, yaitu Mbah Surip, Rendra dan Gus Dur, e-book ini mengajak Anda untuk mengamati secara umum perkembangan masjid di Indonesia. Bagaimana tipologi yang dapat kita buat? Haruskah masjid "berwajah Arab" atau lebih menadasar lagi, Arabkah Islam? Jika bukan, lalu bagaimana simbol kebersamaan-kesatuan muslim mondial atau global? Bagaimana tipologi masjid di Indonesia kini? Bagaimana pada akhirnya tulisan tentang perkembangan arsitektur masjid itu menyimpulkan bahwa substansi perkembangan tersebut adalah sebuah materialisme?


da dua tokoh seniman yang wafat tahun 2009. Mbah Surip dan WS Rendra. Publik Indonesia terutama mengenang WS Rendra sebagai empu teater. Tetapi tampaknya, lebih sedikit yang melihatnya sebagai manusia perindu dan pecinta kemerdekaan bagi kesejatian manusia. Ia terkesan hendak membongkar jeruji penjara jamannya. Puisi dan teaternya adalah pamlet demonstran di hadapan penguasa.
Publik tak perlu mengusut arti yang dalam dari lagu Mbah Surip. Yang dilihat publik adalah pribadinya. Meski begitu, agak jarang yang melihat figur Mbah Surip sebagai sosok yang mewujudkan kesahajaan hidup. Sahaja artinya mampu menahan diri. Atau dengan perasaan suka-rela tampil sederhana meski dapat hidup lebih dari itu. Fitrah manusia sebetulnya bersikap bersahaja —dan karena itulah, menurut saya, si mbah demikian populer

Tokoh lain yang wafat tepat di penghujung tahun 2009 ialah Gus Dur. Apa hubungan Gus Dur dengan arsitektur? Hampir tidak ada. Kecuali dua hal: rasa kemanusiaan yang sangat tinggi dan rasa kesatuan terhadap kehidupan bangsa negeri ini.

Pelajaran dari Mbah Surip dan Rendra bertutut-turut adalah tentang kejujuran dan kemerdekaan. Jika manusia jujur, dia pasti menumbuh-kembangkan kodrat dirinya. Kodrat tiap manusia adalah menghargai pihak lain. Begitu pula suatu bangsa. Nusantara seyogyanya menumbuh-kembangkan kodrat masyarakat dan alamnya menjadi budaya khasnya --bukan meniru-pakai ukuran bangsa lain. Tentu saja di dalam penumbuh-kembangan budaya itu harus termuat nilai-nilai universal.

Kedua, pelajaran dari Gus Dur. Terutama, tentang pembelaannya pada rasa kemanusiaan dan keberaniannya menanggung resiko dalam mewujudkan keberpihakan itu. Juga, bagaimana ia secara ajeg menjaga kesatuan republik ini. NKRI harga mati. Lalu, bagaimana menerapkan pelajaran itu untuk kehidupan ber-arsitektur? Saya pikir, untuk arsitektur di Indonesia, hal-hal yang menjadi pertanyaan mendasar antara lain adalah sebagai berikut.

Betulkah pandangan, konsep dan praksis keilmuan arsitektur yang kita bangun telah memihak pada inti dasar kemanusiaan, yaitu menghargai pihak lain?

Bagaimana melestarikan nilai-nilai lokal yang sangat majemuk di Nusantara dan sekaligus mengambil nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung pada setiap lokal?

Bagaimana mewujudkan keduanya dalam satu kesatuan-pandang kebudayaan bangsa? Jika memang sudah mati, apakah Arsitektur Nusantara mesti diperlakukan seperti jenazah yang tak dapat bangkit kembali dan hanya bisa ditangisi? Apakah nilai-nilai luhur di dalamnya tak dapat diperjuangkan agar bangkit kembali?

Jawabannya ada pada perbuatan nyata kita.

Pelajaran lain dari Bumi Depok

Selain menerima kembalinya jasad Rendra dan Mbah Surip, Bumi Depok juga bisa dianggap penting bagi dunia arsitektur. Depok menjadi saksi tempat berdiri-kokohnya Masjid Dian Al Mahri, di Kecamatan Limo, yang terkenal dengan sebutan “Masjid Kubah Emas”.

Masjid ini tiba-tiba menjadi populer segera setelah dibuka untuk umum pada akhir 2006. Setelah tujuh tahun masa konstruksi dan sebagian besar fasilitasnya selesai, masjid yang dapat menampung 20 ribu jama’ah itu juga memanen sejumlah pro-kontra pandangan:

Ada yang terkagum-kagum dengan kemegahannya sebagaimana maksud pembuatnya, bahwa “…keindahan dan kemegahan yang dihadirkan dalam masjid ini ditujukan semata untuk menunjukkan kebesaran Allah swt dan sebagai wujud kebanggaan sebagai orang muslim” (http://www.dmi.or.id/ MasjidKubahEmas/tabid/ 110/language/id-ID/Default.aspx).

Tetapi ada pula yang sedikit banyak menyayangkan “ke-super-mewah-an” masjid yang kubah utamanya —berdiameter 16 meter dan tinggi 20 meter— berlapis emas murni 24 karat setebal 1 milimeter itu. “Lebih baik uangnya dipakai untuk membuat panti asuhan, atau membantu kaum miskin”, kata sebagian dari mereka.

Akhirnya pro-kontra terhadap bentuk arsitekturnya pun muncul meskipun hanya terjadi di kalangan arsitek: mengapa mesti mengambil-kembangkan tipologi India-Moghul dan bukan Nusantara?

Tampaklah bahwa hal yang paling sulit dalam merancang arsitektur —terutama bangunan pribadatan termasuk masjid adalah mengetahui muatan nilai-nilai kesemestaan (universal) dan kesetempatan (lokalnya).

Pertanyaan mendasar muncul. Apakah Islam harus selalu berarti Arab? Jika bukan, lalu apakah nilai-nilai universal Islam? Perlukah dan jika perlu lalu apa “simbol identitas bersama” masyarakat muslim dunia? Bagaimana karakter peradaban lokal muslim yang Nusantara? Bagaimana kaum arsitek dapat menyadari keikut-sertaan masyarakat dalam membentuk perkembangan arsitektur? Setelah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin kita dapat memutuskan dengan lebih bijak, struktur dan sistem yang dapat membangun keterpaduan nilai-nilai kesemestaan Islam dan kesetempatan muslim Nusantara.

Kesimpulan

Kesatu, bahwa manusia tak dapat meninggalkan sifat inti-dasar jiwanya yang serba bebas. Bebas bukan dalam arti bebas-liar yang hanya akan menghasilkan kebebasan menindas pihak yang lebih lemah. Tetapi kebebasan yang terpagari kesuka-relaan untuk mengekang diri sendiri, demi hak-hak hidup pihak lain —termasuk alam.

Kedua, dengan kebebasan yang disertai kesuka-relaan mengekang diri itu, muncul kesahajaan. Paling tidak, kesahajaan memberi kesempatan pihak yang lebih lemah untuk tetap hidup.

Ketiga, keputusan dalam perancangan arsitektur memerlukan kebijakan kultural, karena setiap manusia dan masyarakatnya pasti memerlukan pembaharuan simbol identitas yang memuat nilai-nilai kesemestaan dan kesetempatan.

Keempat, ialah bahwa pengertian open ending bukan hanya untuk sebuah bangunan karya seorang atau sekelompok arsitek saja. Tetapi juga untuk sebuah tipologi arsitektur yang dibentuk masyarakat secara bersama. Pembentukan itu terjadi secara spasial dan temporal —bekesinambungan dari suatu ruang ke ruang yang lain dan berkelanjutan antargenerasi. Sudah saatnya menyadari arsitektur bukan hanya individualisme.

Tetapi juga komunalisme, yaitu kebersamaan. Untuk itu kita perlu jujur terhadap kodrat diri, masyarakat, dan alam hunian kita. Dengan kejujuran itu, kita menjadi merdeka pula untuk menumbuh-kembangkan bakat budaya tiap pribadi, lokalitas atau daerah, dan bangsa, karena tiap pribadi merdeka justru sangat kokoh menghargai hak pihak lain . Itulah dasar menjaga kesatuan bangsa.

Selamat jalan Mbah Surip, Rendra, dan Gus Dur! Innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun!

Label: ,

22 Desember 2009

Memaknai Kembali Arsitektur Nusantara

Galih W. Pangarsa, Universitas Brawijaya

Manusia mesti mengidentifikasikan kembali dirinya, di setiap saat dan tempat. Arsitektur yang terbentuk oleh peradabannya pun, perlu selalu dimaknai kembali. Mengapa? Manusia, masyarakat dan lingkungan huniannya ada dalam dinamika. Dan yang terpenting, manusia dimintai pertanggungan-jawab. Identitasnya adalah untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Namun Arsitektur Nusantara seringkali dipandang statik, sebagai bagian dari masa lalu yang tak ada hubungannya dengan masa kini, tak berhubungan dengan identitas masyarakat manusianya, apalagi untuk mempersiapkan masa depan. Lalu apa sebetulnya esensi pemaknaannya kembali untuk masa kini?


ang jelas manusia Nusantara berkembang, seperti yang dipaparkan buktinya oleh banyak artefak arkeologis prasejarah di seluruh tanah air kita, baik jejak peradaban maupun regawinya. Perkembangan arsitektur di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan arsitektur dunia. Maka desain-desain sejak dari langgam Hindu sampai dengan yang kontemporer seperti karya Daniel Liebskind, Tadao Ando, atau Rem Koolhaas, semua masuk ke Indonesia sebagai informasi keilmuan dan desain yang mengilhami para arsitek kita. Arsitek-arsitek (baik formal maupun tidak), pada kehidupan manusia adalah mereka yang menempati posisi utama dalam pembentukan arsitektur sebagai simbol peradaban suatu bangsa atau komunitas. Maka, sangat penting untuk memahami kembali bahwa manusia adalah homo simbolicus yang senantiasa membuat dan maknai kembali simbol-simbol peradabannya, seperti kita pun perlu memaknai kembali arsitektur rakyat kita, yaitu Arsitektur Nusantara. Dengan demikian, penelitian tentang Arsitektur Nusantara sangat penting, agar kita dapat memaknai kembali Arsitektur Nusantara dengan bijak. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi justru untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

...menunggu gambar...

Arsitektur Nusantara tinggal remah-remah. Serpihan-serpihannya pun seperti keadaan senja hari. Arsitektur Nusantara hampir punah. Untungnya, ada yang berupaya menerangi dengan suluh. Berbagai seminar, lokakarya, atau apa saja atas nama "keberlanjutan" atau "pelestarian" arsitektur, diselenggarakan. Bisakah suluh-suluh itu menerangi dan menyelesaikan masalah seketika? Pasti tidak. Nusantara demikian luas dan waktu senjanya pun berbeda-beda. Yang dapat menerangi ialah rembulan. Siapakah yang dimaksudkan dengan rembulan? Ialah para budayawan-pejuang dengan pandangan keilmuan yang dapat memberi cahaya hakiki pada jiwa-jiwa manusia yang tengah menghadapi kegelapan peradaban. Para pemeduli budaya bangsa dengan pandangan keilmuan yang harmonis, yang tidak hanya memihak manusia, tetapi juga memihak alam. Filosofi keilmuan yang kita perlukan ialah yang dapat menggugah kesadaran bahwa identitas lokal Nusantara sangat penting dibangun-ulang sebagaimana identitas sebagai manusia senantiasa memerlukan pembaharuan. Tambahan lagi, sang bulan budayawan-pejuang yang kita perlukan mesti menerangi malam tanpa pernah menyilaukan yang memandang. Tidak perlu menunjukkan "kasta" intelektualnya, tak perlu menyilaukan masyarakat awam. Ilmuwan sejati selalu menjadi bagian dari masyarakat, memaknai kembali kebudayaan (dalam arti luas) bersama mereka.

Kebudayaan bukanlah hanya berarti sempit: kesenian. Kebudayaan dalam arti luas adalah pola pikir dan mentalitas suatu masyarakat. Arsitektur adalah bagian sangat kecil dari padanya. Karena itu, siapa pun berhak memaknai arsitektur, termasuk --dan justru terutama-- generasi muda. Karena merekalah yang memiliki masa depan. Memaknai arsitektur bukan hak mutlak para arsitek.


Cukupkah kita mempersiapkan generasi muda? Para peneliti pun seyogyanya tidak datang ke desa mengusung kursi tinggi menara gadingnya yang menyilaukan masyarakat. Para ilmuwan mengemban misi mendidik masyarakat. Dan yang sangat jarang disadari, ilmuwan sejati justru selalu "belajar" dari masyarakat. Artinya, ia senantiasa merendah hati untuk "membaca" persoalan yang ada di masyarakat dan ikut berupaya keras dan andil menyumbangkan pemikirannya. Atau bahkan ikut berdaya upaya bersama mereka menuntaskan pemecahan permasalahan.

Bagaimana andil kita semua untuk menahan tenggelamnya peradaban Arsitektur Nusantara? Kami menunggu anda semua untuk berbagi pemikiran, pengalaman, dan kepedulian dalam Seminar Jelajah Makna dalam Arsitektur Nusantara tahun 2010, di ITS.

Salam.

Label:

12 April 2009

Berharap pada Award
Sebuah Catatan Penjurian Karya-karya Nominasi IAI Award 2008

Eko Prawoto, arsitek, seniman instalasi, dosen senior UKDW, Jogjakarta

...menunggu gambar...A relativist and relational sense of pluralism of cultural values makes it possible to perceive the diverse social, ethical and philosophical ‘grounds’ (or foundations) on which systems of cultural and historical value are constructed in relation to each other’s differences and specificities. Such a relational sense of cultural value – based on cultural difference and intercultural dialogue-is far better suited to a global ethic of inter-regional and transnational connection than to a normative, regulative idea of progress that imposes a reign of homogeneity and hierarchy over other cultures and societies.

Homi K. Bhabha (Architecture and Thought, Intervention Architecture, Building for Change, Aga Khan Award for Architecture 2007)


emikiran arsitektur di belahan dunia yang lain bergumul dengan berbagai issue besar: tentang keragaman budaya, krisis lingkungan, inovasi teknologi, atau juga bagaimana kaum praktisi ini dapat tetap hadir berarsitektur dalam ‘tekanan’ pemilik modal untuk mewujudkan idealisme sosialnya, dan banyak lagi. Praktek arsitektur di kota besar Indonesia (dominasi Jakarta masih sangat nyata) tampaknya masih berjalan nyaman pada ranah ekplorasi estetik ataupun upaya menggapai pencapaian wadag visual yang sensasional demi kepuasan kalangan atas. Tentu ini tidak serta merta dipersalahkan.

Hanya kemudian ketika media mengkomunikasikan bagi khalayak yang lebih luas , tanpa ada kajian kritis yang menyertainya, maka trend metropolitan ini segera di serap dan diadopsi oleh kota-kota didaerah sebagai kebenaran dan barometer kemajuan berasitektur. Wajah kota-kota di Indonesia pun menjadi nyaris seragam.

Proses produksi/perancangan design dengan menggunakan software yang sama ternyata juga ikut andil membagikan serta menyeragamkan ‘bahasa’ estetika arsitektur masa kini. Secara sinis kemudian ada istilah arsitektur copy and paste.

Dalam situasi yang hampir tanpa informasi atas adanya jenis produksi arsitektur yang lain di Indonesia nan raya dan kaya budaya ini, perhelatan besar pemberian penghargaan arsitektur ini digelar.

Tentu kemudian pertanyaan besarnya adalah, demi apa penghargaan ini diberikan?

Dan kemudian diikuti oleh pertanyaan lain seperti mengapa hanya di dominasi Jakarta dan Bandung, apakah ini mewakili wajah keindonesiaan kita? Mengapa nominasi dari daerah sedemikian minim? Kemudian juga terngiang kata Oscar Niemeyer: “Architecture is not important; what is important is the life that we shape, influence and create by architectural means”. Bagaimana ‘mengukur’ pencapaian2 karya arsitektur itu? apa yang harus diukur? apakah tepat menilai rumah sederhana bersanding kompetisi dengan bangunan dengan budget besar, atau juga kecanggihan teknologi industri memang lebih mulia dari kesederhanaan tukang2 dipinggiran?

Pemikiran ini merupakan bahan perbincangan hangat diantara para juri di awal-awal pembahasan berkait dengan bagaimana menyelesaikan amanat dari organisasi ini.

Pada akhirnya kita kemudian menyadari bahwa memang selalu ada keterbatasan. Namun tidak juga berarti bahwa pemberian penghargaan ini menjadi sia-sia Paling tidak ada keinginan untuk menyapa dan mengungkapkan bahwa ternyata ada pencarian yang telah dilakukan lewat karya2 tersebut. Diyakini bahwa peran mediasi arsitek masih sangat diperlukan.

Kemudian tugas juri disadari bahwa lebih dari sekedar ‘memilih’ para juara yang patut dihargai, namun juga adalah ‘menemu kenali’ kualitas tersembunyi dalam karya2 itu. Tentulah ini tidak mudah,mengingat bahwa arsitektur haruslah dialami langsung,dan betapapun bagusnya foto tetaplah itu keadaan yang tereduksi. Namun beruntunglah ada juri2 yang secara cermat telah mengunjungi sebagian besar karya2 tersebut.

Sekalipun mungkin benar ini tidak menggambarkan keadaan Indonesia masa kini dengan utuh , namun setidaknya ada semangat untuk berharap atas terwujudnya keadaan yang lebih baik lewat munculnya karya2 yang semakin berbobot.

Penghargaan ini juga dimaksudkan untuk menganyam lagi nilai-nilai idealistik yang masih harus kita wujudkan bersama.

Keberadaan juri international diharapkan juga memberikan makna lebih bagi penerima penghargaan karya tahun ini. Dimensi nilai yang melampaui wilayah geografis diharapkan juga tercermin dalam karya-karya tersebut.

Penghargaan kali ini tidak semata mengikuti typology bangunan sebagai kategori. Melainkan lebih pada persoalan yang mengemuka dalam tarik menarik antara keterbatasan dan peluang, serta kemudian pencapaian akhir yang ditunjukkan lewat karya.

Pilihan criteria kemudian lebih di fokuskan pada interaksi yang dinamis dari stake holders demi munculnya karya yang dinilai memiliki kandungan lebih. Tentulah ini akan juga relatif. Ingin juga mengingatkan bahwa karya arsitektur adalah hasil kerja kolaboratif,sebagai upaya menganyam nilai2 kreativitas serta inovasi,serta kepedulian terhadap konteks sosial maupun budaya.

Arsitek memang sebagai figure yang relatif sentral namun bukan pemain tunggal, klien juga memiliki peran signifikan bagi munculnya karya arsitektur yang berbobot.

Hal ini juga ingin ditandai dalam pemberian penghargaan tahun ini.

Pada saat kehidupan sudah terfragmentasi sedemikian lanjut,maka yang tertinggal adalah serpihan-serpihan yang masing-masing seolah lepas, seolah semua bisa benar. Namun jika kemudian akhirnya karya arsitektur hanyalah menjadi karya yang self referential, sempurna pada dirinya sendiri maka pemberian penghargaan juga tidak bermakna.

Makna haruslah juga di rekatkan pada kehidupan bersama,pada membangun kepercayaan dan semangat bahwa ada sesuatu yang kita akui secara bersama sebagai suatu yang dianggap baik.

Semangat inilah yang hendaknya dihidupkan dan dilanjutkan.

Label:

2 Maret 2009

Arsitektur Rakyat di Nusantara

(Sebagian teks dikutip dari Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, hal: 1-6 ).


pa sebenarnya Arsitektur Nusantara? Tampaknya globalisasi secara tidak langsung menjadikan penyatuan kata ”arsitektur” (yang berkonotasi suatu pola pikir, kesepakatan yang mengglobal tentang seni bangunan) dan kata ”Nusantara” (berkonotasi suatu lokalitas geografis) menjadi agak asing. Seolah-olah ada dua kutub yang dialektik. Tetapi sesungguhnya ada yang lebih penting di balik silang-sengkarut argumentasi yang substansinya hanyalah mencari (untuk sekedar mengetahui) arah perkembangan arsitektur pada sumbu ruang-waktu; secara geografis maupun historis. ...menunggu gambar...

Menurut saya, yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, apalagi diskursus tahun 1950-an 'Barat-Timur' atau 'tropis-subtropis'. Sekarang bukan jamannya lagi memperdebatkan itu semua. Pola pikir dialektis sudah sangat kuno, sebetulnya. Sekarang adalah masa untuk berbuat bersama; sekarang adalah masa untuk memahami arsitektur secara lebih esensial, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat --bahkan antarbangsa-bangsa-- untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan (pernyataan ini saya ulang-ulang dalam berbagai kesempatan dan publikasi; lihat terutama Pangarsa, 2008, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto). Diperlukan suatu tindakan nyata untuk keluar dari jebakan itu. Diperlukan langkah bersama menuju masa depan budaya (pola pikir dan mentalitas) arsitektur yang lebih baik. Arsitektur bagi keluhuran budi pekerti manusia, bukan arsitektur demi ketenaran seseorang individu arsitek yang berhajat menjadi "star-chitect", (super)-star di bidang arsitektur.

Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung —yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.

Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.

Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.

Untuk mengawali pemahaman itu, Arsitektur Nusantara mesti dilihat bagaikan bumi Nusantara itu sendiri. Di permukaan tanah masa kini, terbentang luas keragaman 726 bahasa suku, yang pasti menyertai keanekaan ciri arsitekturnya. Di kedalaman stratum geologis masa lalu yang berbeda-beda kecepatan dan percepatan dinamika historisnya, tampak tersimpan kesamaan ciri. Bagi penggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Arsitektur Nusantara --berbeda dengan sekedar pengamat tradisi-pikir skolastikal yang sering kali sekedar memuaskan rasa keingin-tahuannya-- alat metodologis sinkronis dan diakronis tak selalu jelas untuk menjawab pertanyaan komparatif-historis terhadap hasil galiannya, karena sifat lapisan geologi itu pejal tak tembus pandang sebagaimana informasi historis yang tak selalu ia dapati.

Mutiara Hikmah-Pelajaran

...menunggu gambar...Arsitek-arkeolog bersepakat bahwa ciri arsitektur rumah megalitikum Dongson dari abad II SM dengan awalan dan akhiran atap yang berjuntai sebagai pensetimbang (“counter weight”) untuk mengurangi momen lapangan dari nok di sepanjang balok bubungan pada arah memanjang bangunan, masih dapat ditemukan pada Jawa Tengah abad VIII seperti yang direliefkan sebagai lumbung pada Candi Borobudur, bahkan atap lumbung adat masyarakat Gayo Alas beranang, tongkonan Toraja atau rumah lontik Riau awal tahun 1970-an. Tambahan pula, meski ada perbedaan-perbedaan tektonik, secara antropo-linguistik terkadang elemen atap itu mempunyai kesamaan nilai makna. Yaitu, agar penghuni rumah memperoleh kehidupan mulia. Di “daerah karakter tektonik” yang sama-sama menempati suatu wilayah bahari nan luas itu, rumah —bagi manusia yang hidup, arwah yang mati atau bahkan para dewa— tampaknya dimengerti sebagai wadah berisi kandungan dan tempat meraih suatu puncak kehidupan mulia.

Banyak lagi bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah bahari berpulau-pulau dari Madagaskar sampai Papua New Guinea dan dari Jepang Selatan sampai Alor, dapat dimasukkan ke dalam ruang budaya yang sama. Hanya saja, sesuai dengan keluasan ruang geografi dan panjangnya rentang waktu historis, jamak-majemuknya subjek pelaku, bervariasinya proses dan berjenis-jenis lingkungan alam masing-masing sebagai tempat dan objek perbuatan masyarakat manusianya, pasti terdapat keragaman tolok ukur, nilai-makna sekaligus ungkapan simbol-tektoniknya.

Apa yang akhirnya dijumpai oleh mereka yang telah berhasil menyeberangi sungai filosofi-teori-metodologis skolastikal konvensional? Nun jauh di bawah gegunungan berbagai macam predikat skolastikal —dari diploma satu sampai profesor-doktor— ternyata ada lautan bebas di arah hilir sungai yang memanggil untuk diselami dan untuk dimanfaatkan kandungan mutiara hikmahnya.

Wilayah konsepsual keilmuan “Arsitektur Nusantara”, lebih realistik bila dilihat sebagai lautan, sebagaimana fenomena benua-bahari Nusantara itu sendiri. Artinya, konsep keilmuan “Arsitektur Nusantara” diletakkan pada koordinat ruang-waktu yang cukup luas dan sekaligus panjang rentang spasio-temporal atau geo-historisnya. Pada keluasan baharinya, tergelar kebhinekaan ciri kebudayaan-peradaban arsitektur; di kedalaman bahari sisi-sisi etnografis dan antropologisnya, terdapat mutiara bernilai tinggi yang mesti dipetik setelah membuka kekerasan lokan penutupnya. Untuk mendapatkannya, penyelam mesti mempunyai dua alat: kehalus-pekaan pemindai rasa dan ketajam-jelian mata pisau akal. Dengan keduanya barulah akan didapatkan peluang-pelluang untuk merekontekstualisasikan Arsitektur Nusantara. Kajian bukan Arsitektur Nusantara etnografi atau antropologi sempit. Tetapi kajian untuk menyongsong masa depan budaya (arsitektur) bangsa.

...menunggu gambar...

Label:

Geographical Natural-Elementary Settings

(cited partially from: Pangarsa, 2007, Towards Nusantara City, Seminar on Knowledge City, USU, November 2007)



n fact, development of urban scientific phenomena in Indonesia --as in others parts of the world-- not only that it has its own spatio-temporal scales and substantive social processes, but also has its own geographical natural-elementary settings. Unfortunately, discourses let alone an effort of formulating conceptually what is a “city” in Indonesia are rare. In spite of lack of fundamental studies, it should note two important points. Indonesia has naturally, societally and historically structured from Southeast Asian region been called Nusantara since 14th century. ...menunggu gambar...Nusantara is not a political territory of modern Indonesia; it would be a Southeast Asian cultural space spread out between Formosa Island in North to Alor Isles in South, between Aceh in West and Papua Island in East, including coastal regions of Southeast Asia: Space of very high cultural plurality in sense of geo-historically, its system of beliefs, and society. The Nusantara Archipelago is essentially different from another Asian continental countries and archipelagoes with four seasons such as Japan. And also, Southeast Asian wide-ranging area have played a role as a “bridge” and “glue”, between India and Arab to China during the spreads of Buddhism, Hinduism and Islam.

Thus, the geo-historical developmental trajectories of Nusantara could be affirmed as a basic parameter in formulating a proper concept of a city for the region. The importance is to communicate the idea. In the years to come, there will appear discourses to scrutinize the links between theory, politics, and policy using paralell narratives of the Nusantara cities in multi-diciplinary views. The Nusantara City would not be a city of the past, but parts of the actual discourses of a global city, knowledge city, creative city, sustainable city, and resurgent city. Making a Nusantara City is a great work that would be certainly impossible to be executed by a single discipline group.

...menunggu gambar...As has been shown through many works of scholars, “traditional” or “conventional” point of view on Nusantara is a linguo-anthropological or a historical, in which Nusantara is considered as a part of Austronesia. Is there a new approach? In field of planning, actions of European and North-American postmodernists trying to see beyond and to connect their “spatial” approaches to other fields (including local system of beliefs), begins to reach Indonesia. However, a holistic view of Nusantara seems to be far away yet. Nevertheless, some prominent characters of Nusantara could be presented.

Region with Two Seasons: Leafy All Year Round

The first phenomenon, Nusantara as described geographically above is a tropical region; it has two seasons and leafy all year round. Note a small scene, well-known both in Christian and Islam: Adam and Hawa (Eve) had been deceived by evil’s deception to eat “the forbidden fruit”, they is covered their genitals (aurat) with the leaves of the Heaven. It seems that the leaf is a fundamental need of human being to descend his generations and to keep his existence. Primitive man used leaves as shelter; cattle transforms leaves into animal-protein that we eat. Thus leaves provide human protection from climate and hungry. For believers, the earth had been created by Allah Almighty God as provision for human being to prepare his eternally life. Trees, caves, hamlets, countries, villages, or cities and even the earth, essentially is dwelling for all, “a home for human beings”.

Prophet Muhammad said in well-known hadeeth: “my home is my heaven”. As a home or dwelling for all human, the earth should have a nuance of heaven. It is clear that human being is very close with his nature and leaves on his environments. The relation between man and his environments is not just in physical parameters (temperature, oxygen, etc) but also in a resonance of the meta-empirical energy. Perhaps it would be peculiar to be explained that the nature of human being (fithrah) has the same vibratio-motion of the energy of bio-cosmic essence with the leaf. There is no need to prove by sophisticated physics and its experiments that leafy environments bring a peaceful nuance to every human. A little vegetation in a room will give a different feeling compared to an empty one. As a matter of fact, man living in Nusantara, should be sufficient; it is leafy and has two seasons. Nusantara cities should be different from those of European counterparts.

The Origin: Tree-Dwelling

To sketch the realities of Nusantara’s existence and image of its nature, surveys on the origin of the Southeast Asian architecture might be helpful. There are two types of the origin of dwellings in the world: cave or troglodyte-dwelling and tree-dwelling. It is known that Southeast Asia archipelago is the region of the second type and continental Asian is of the first. Beneath platformed floors of a house spreads a continuous space from one house to the others, passing courtyards, village alleys, and paddy fields constituting an integrated natural leafy environments and those of sheltered man-made with different scales and degrees of privacy. It seems that it would not only be physical, but also energy of bio-cosmic essence phenomenon.

The main point is how to find out the boundary marks between inhabited and non-inhabited territory. The proposed concept is that the boundary should be defined not only by physical elements but also by or bio-cosmic energy as well. In conventional scientific point of view, it is usually regarded as spatio-anthropological paradigms with myths, legends, or traditions of beliefs. In the primitive age or even today, traditional rituals held in villages usually intended to bring a safety and secure life in certain villages’ territory (e.g. ritual of sêlamêtan, bersih desa, ruwatan, etc in Javanese villages). In traditional villages, the territory is often indicated by planted trees or bushes as “a fort”. So that in intention to conserve man-environment interrelation described above, vegetation use of spatial territorializing would be most reasonable method to be replicated when they make vast clustered dwellings. In Javanese old tradition, a forestry region is often regarded as a non-human dwellings space or non-occupied space.

Island: Sea-bordered Living Space

By nature, coasts surrounding an island are “forts” separating and protecting the land part from the others. Apparently, the Nusantara cultures have been formed by islands boundaries. The architecture and the language of Island of Bali are completely different from those of the native of Lombok (in southern regions of the Island). Or, that of Mentawai is also very different from Nias -although they are relatively very close to each other. Boundaries of cultural spaces are also formed by water and land elements (large rivers, high mountain, vast forests, etc). For greater or more populated islands will be explained on the following paragraph. An etymological comparison of two words “Austronesia” and “Nusantara” explains the appropriate view. “Austronesia” is a Greek word consisting two elements, Austr?lis (South) nêsos (islands); Austronesia would be southern islands, including Nusantara. Thus, the center of spatio-temporal origin -axis mundi or the spatial reference- is Greek, from which European cultures had developed. Thus in the word “Austronesia” it would be a trace of Eurocentrism, subordinating Nusantara. Nusantara comes from two Old Javanese words nuswa or nusya (island) and antara (between). Coincidently, the word “nusa” has the same meaning as “nêsos”, means island. Thus, a reasonable explanation of Nusantara would be "the whole combined archipelago countries" without “a center” but an entire archipelago. However, by nature the five main islands of Indonesia become the centers.

In the reality of cultural developments in Nusantara, a high mountain is often considered as the center of an occupied space. That is empirically a figuration of the vertical axis that could appear in symbolism of local political power. Mount Semeru is considered as the center of space and power by Hindu-Buddhist of old Eastern Javanese kingdoms. By the nature of society, the territory of this occupied space is geographically very dynamic. So that finally, it could be concluded that Nusantara is “open” or having position as a free space “connected to a center”. The center will culturally and politically be defined in accordance to the system of beliefs in society, planted by dominating power(s).

Label:

Hospitality of the Nature and the People

(cited partially from: Pangarsa, 2007, Towards Nusantara City, Seminar on Knowledge City, USU, November 2007)


bserving its moderate climate, thriving and prosperous lands with abundant resources, it would be not too exorbitant to say that initially -as a host for peoples living in its environment- the nature of Nusantara is a space with extraordinary hospitality. The nature of Nusantara contributes special characters to its people, which is well known as “friendly to visitors, having perceptive way of thinking”, etc.
At a glance, it looks like a “given” character of the people. But people could not present real hospitality without a grateful attitude to whom or to which he believe and considered as the “Supreme Substance”, giving prosperity and saving his life. Having its own system of beliefs, each social group manifests its attitude in traditions that exist in diversity. But it seems that a common view and attitude is conserving nature. Hence, the hospitality of natural environment around them is reciprocated by the same attitude; people cultivate or take advantage of, but not to force the nature to fulfilling their greed.

Universality in Symbolism of Geography

Being “open” in both natural and societal point of views, Southeast Asian or especially Nusantara played a role as a “bridge” and “glue” between India and Arab to China. During the parallel periods of the spreading of Hinduism and Buddhism, cultural and political ruling powers had planted many religion-based spatial conceptions, blended through the processes of acculturations with local religions or system of beliefs. It could be noted that Balinese villages is centralized to Mount Agung in Bali. Mount Semeru, the mounts Dieng, Arjuna, Penanggungan, etc., in Java had also been considered as central of transcendental or spiritual space. The spatial conception is not only locally; Indonesian Hindus still regard the Ganges in India as Holy River. The site and the Temple of Vihara Agung (The Great Vihara) in Trowulan, East Java was selected and established in 1980s due to divine inspiration of Thai Buddhist priests. The regionalism of spatial orientation was also proved by studies on the Chinese diaspora: the mother-land of continental China is a spatial orientation for Chinese descendants abroad.

Although coming lately, an important phenomenon is Islam, which brought about Nusantara a new global orientation. Each prayer and mosques of Islam have spatial orientation to the Kaaba, believed as the “sacred point” in the earth. A study by Gani (2004: 28, 58) showed that among hundreds of countries in relation to the Kaaba, Nusantara has a peculiar position. The region is exactly oriented to the two vertical important elements: The Multazam and the Door of Kaaba. The Multazam is the wall between Hijr Aswad (the sacred stone mounted on the Southeastern corner of the Kaaba) and The Door, which is believed by Muslims as best a place to pray. In brief, Nusantara would be a planar projection of Kaaba central point through the two vertical elements explained above. Explanation should be sought to prove the matter. Nonetheless, it seems that the phenomenon could answer clearly cultural territory of Nusantara and explain Aceh is called “Serambi (Veranda of) Mekkah” and among first islamized Nusantara countries.

What is the lesson derived from the Kaaba? Like the meaning of the Kaaba symbolism itself -determined in the earth as the first dwelling for the first human being Adam- each dwelling would be able to sustain his life and other creatures. Consequently, as the Kaaba that becomes (symbolically) “a place to stop” for all of human beings, each dwelling of Adam’s descendants has a universality. In dynamics and heterogenic world, what is useful value of the Kaaba? It is not too hard to accept that a dwelling, village, city or built environment should not destroy its environment. In other word, the value of harmony or togetherness both in terms of human society and “society” of the nature is a priority in achieving sustainable life for all. Every empiric environment has interrelation with its meta-empiric reality. Every place of built environment in Nusantara would have its spirituality. That is a view as a basis that empiric and meta-empiric balance should be maintained properly both for human and nature. Nusantara is a unity of heterogeneity. Thus, a common or universal platform is required to achieve a living in harmony between the creatures of Allah, Almighty God.

Resource and Market of the North?

The long history of human civilizations since 14th century has been a history of suppression of human being, its nature, and both. After a long colonial period, European and American over-rationalized economic-based development has became a single paradigm and truth of a new capitalistic religion -in which emerges the worldly spirit of “gaining quickly, multiplying outcomes in the shortest time possible and in a most efficient way”. Based on this spirit, science in very exclusive disciplines which sides only to human greed spring. The victim are nature and underprivileged people. Would they be sacrificed in the names of “development of human civilization”, “colonial” or “post-colonial”? This is proper time to leave the Darwinian view of “struggle of life” behind, even though it is late to take such action. Peaceful scientific implementations in the other hand needs no victims at all.

For many centuries, Southeast Asia regions including Nusantara became subjugated territory of the Northern countries (Western Europeans and Northern Americans). Executed in politico-military or physical methods, the first period --say before Second World War-- exploited explored natural resources: minerals, agricultural products, etc. The later period --especially in last four decades-- is the pretense of scientific methods. Undoubtedly, the aim of the second period has been to create markets for advanced technologies of the North, such as in genetics, informatics, robotics, nano-techs, etc. By spreading scientific information, values of truth, good, or beauty is “patterned”. A mislead in interpreting the slogans as “Information-Age”, “Globalization”, “Internationalization”, “Cosmopolitanism” and other names, would trap into the invisible loop hole, that is a scientific-politic-economical dependence to the Northern countries. The tall stacks of debts of Indonesia are undeniable reality. The winners of the game of power are the Northern countries. The disciplines of architecture and planning play a very little part of this big game. A symbolism is required in politics of culture, not only as a simple way to built mental attitude but also to create an applicable proper (read: peaceful) scientific perspective.

Label: