8 Maret 2009

Pelajaran dari Pedalaman Borneo
Rumah Panjang:
Kebijakan Para Pelestari Hutan

Galih W. Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, pp 90-95

Suku Dayak diduga termasuk bangsa proto-malayan yang terdesak ke pedalaman karena datangnya kelompok migran baru di awal abad masehi. Secara ragawi, ada yang membagi suku ini menjadi dua bagian yaitu: yang mereka berdiam di sepanjang Sungai Kapuas, dan suku-suku Dayak Kayan, Kahayan & Katingan.


ecara geografis Suku Dayak terkelompok menjadi beberapa sub-suku sebagai berikut: Murut, Iban (Dayak Laut), Klemantan (Dayak Darat), Punan, Apu Kayan, Ot Danum dan Ngaju. Dayak Ngaju yang tersebar di wilayah sebelah Barat Sungai Barito hingga Sungai Seruyan, merupakan setengah dari populasi Propinsi Kalimantan Tengah, dengan puluhan anak suku berbeda dialek. Keluasan ruang budaya orang Ngaju kurang lebih sama dengan kelompok besar yang lain, kecuali Dayak Punan. Di samping yang mayoritas seperti Dayak Ngaju, ada pula kelompok-kelompok minoritas yang tersebar di seluruh pedalaman Kalimantan, misalnya anak suku Dayak Pompagng yang hanya berjumlah sekitar sepersembilan dari penduduk Kabupaten Kapuas di Kalimantan Barat. Di situ, tinggal pula orang Dayak Ote, minoritas lain yang terkenal kecakapan menyumpitnya. Minoritas semacam Dayak Ote masih terbagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil seperti Siau, Penyaung dan lain-lain.

Keragaman keadaan geografis ruang hunian mereka, dari pedalaman hutan rimba ke dekat pantai, membentuk keragaman karakter sosial budaya pula. Kelompok yang tinggal di dekat pantai umumnya jauh lebih terbuka, sebagaimana Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.

Kepekaan & Kebijakan Mengelola Hutan Hunian

Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur NusantaraLogika moderen tampaknya mustahil memahami kebijakan orang Dayak terhadap alam lingkungannya. Leluhur mereka mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap hutan alam hunian nan luas. Dengan luasnya wilayah sepanjang ratusan kilometer tepi sungai di seantero Kalimantan dan keragaman budaya masing-masing sub-kultur, umumnya ada tiga pola perkembangan budaya: Sebelah hilir yang banyak menerima pengaruh luar, bagian tengah yang telah menerima sebagian menerima pengaruh luar serta bagian hilir-pedalaman yang lebih konservatif karena sulit dijangkau: berhutan lebat yang makin sukar dilalui ketika sungai dan riam berubah menjadi kering pada musim kemarau.

Demikianlah wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan wilayah yang mendekati pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan dunia luar. Apapun bentuk hubungan sosial itu, mereka mempunyai kebijakan pelestarian hutannya sendiri. Pada masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Kapuas, Kalimantan Barat misalnya, hutan dibagi-bagi dalam kelompok pengelolaan sebagi berikut:
  • hutan rima, rimba perawan yang belum pernah ditebang;
  • jamih muntuk, belum pernah dijadikan ladang;
  • jamih mongi, hutan yang sudah pernah dijadikan ladang dan padang ilalang yang merupakan daerah yang tak boleh ditanami lagi.

Setiap tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan kelompok di daerah perladangan untuk 4 sampai 6 bulan sampai panen selesai. Begitulah cara pemanfaatan hutan dengan berladang berpindah-pindah: membuka sebagian sangat kecil hutan di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk mendapatkan abu sebagai pupuk. Jika kesuburan telah menurun, mereka berganti lahan untuk membiarkan yang lama mengalami proses pemulihan alami. Jika tak berladang di hutan seperti itu, orang Ribun bertanam padi di tanah paya (tanah becek, berlumpur). Hampir setiap keluarga Ribun mempunyai ladang dan tanah paya di tepi hutan.

Tradisi Dayak Ribun itu hanya contoh dari kebijakan pengelolaan hutan masyarakat Dayak, yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap huniannya. Jika tidak, tentu sejak lama sebelum hutan digunduli industri kayu yang dimulai pada tahun 1970-an, rimba Kalimantan telah habis. Konsep “ekonomi tebang pilih” atau bahkan konsep “local wisdom” yang sudah menyadari bahwa “hak berilmu” bukan monopoli tradisi scholastic manusia kampus dan birokrat, belum tentu dapat menjelaskan, dengan cara bagaimana ketajaman intuisi pewaris rimba itu ”membaca” dan kemudian mengambil keputusan dalam mengelola ruang hunian mereka. Sayangnya, ketidak-pahaman bisa berubah menjadi tudingan kontroversi, bahwa penyebab kerusakan hutan Kalimantan adalah tradisi mengelola hutan rakyat Dayak.

Rumah panjang, rumah kebersamaan: betang, luu’, ompuk domuk...

Sebagaimana di daerah lain di pedalaman, perkampungan Dayak Ngaju dibangun linier dari muara ke hulu. Umumnya di dalam kampung hanya terdapat sebuah jalan. Di belakang deretan rumah di kedua tepinya biasanya ditanam pohon buah dan karet. Di belakangnya, terdapat ladang meski tak jarang, ladang dibuat di tempat yang jauh dari kampung yang mesti dicapai berperahu. Di daerah muara sungai, mata pencaharian penduduk adalah berkebun atau bersawah; daerah persawahan terdapat langsung di belakang kampung. Di samping itu, ada pola perkampungan di daerah terpencil dataran tinggi yang jauh dari sungai. Pola perumahannya tetap sama yaitu memanjang dengan kebun atau ladang dibelakangnya.

Betang

Betang adalah bahasa Ngaju untuk ”rumah panjang”, ompuk dompuk adalah bahasa Ribun, sedangkan dalam bahasa Tunjung adalah luu’ ―berbeda dengan bahasa Dayak umumnya di Kalimantan Timur, yaitu lamin. Sementara itu orang Kenyah menyebutnya dengan uma dadoq (Tjahjono dlm Tjahjono, 2002: 32). Dahulu, betang adalah satu-satunya tempat tinggal bagi Suku Dayak Ngaju. Betang-betang besar yang pernah dibangun antara lain di Pangun Serawai, Tumbang Samba, Saing Sondang, Kampung Swakong dan Tabalong. Sebuah betang mempunyai tinggi sekitar 2,5 sampai 3 meter, demi keamanan bersama dari binatang buas dan musuh. Selain itu, untuk mendapatkan kolong panggung yang cukup lega untuk mengolah hasil pertanian.

Satu betang biasanya terdiri atas betang huma (bagian utama) sebagai tempat tidur; los tempat tamu dan ruang bersama, dapur yang terpisah serta karayan, penghubung antara bangunan utama dengan dapur. Ruangan tempat tidur dibuat berjejer, menghadap ke los. Luas kamar tidak tergantung kebutuhan, tetapi harus sama luasnya. Seluruh penghuni betang, mempunyai satu dapur, yang digunakan bergantian dengan rasa kebersamaan. Selain betang, beberapa jenis bangunan dalam tradisi Dayak Ngaju adalahh huma gantung. Huma artinya rumah, sedangkan gantung artinya tinggi. Huma gantung tidak terlalu besar seperti betang, tetapi tiangnya lebih tinggi. Ada sisa-sisa huma gantung dalam keadaan rusak dan tidak terawat lagi, seperti di Desa Buntoi. Rumah tipe huma gantung ini sudah punah.

Pasah dukuh

Itu adalah tempat tinggal sementara di ladang yang jauh dari kampung, yang dibuat dengan bahan kayu yang sederhana. Tingkap dibangun untuk keperluan temporer, misalnya mencari ikan, mengusahakan hasil hutan seperti: mancari kayu ulin, damar, rotan dan lain-lain.
Sanggarahan adalah tempat musyawarah, baik musyawarah adat, rapat-rapat, maupun sidang pengadilan adat. Oleh karena itu di ruangan besar itu tersedia tempat duduk yang disebut katil dan meja. Lepau ialah tempat khusus menyimpan gabah. Biasanya letaknya di belakang rumah, ukurannya kecil. Setiap tiang dipasangi penangkal tikus berupa piring kayu (jelapang).
Pasah lisung artinya tempat lesung atau menyimpan lesung dan kaum ibu bekerja bantu-membantu. Pasah patahu adalah salah satu rumah pemujaan. Patahu adalah binatang keramat yang bisa menjaga kampung beserta penghuninya. Pasah raung adalah tabala peti jenazah. Jaman dulu di perdesaan yang terpencil, lebih banyak menggunakan cara pemakaman gantung, untuk menghindari air rawa. Bangunan Dayak Ngaju yang mencerminkan kehidupan bersama di atas, umumnya dijumpai pula pada sub-kultur lain, dengan varian-varian ruang, struktur dan nama. Kini rumah masyarakat Dayak pada umumnya sudah berbentuk rumah tunggal, meski rumah panjang belum hilang dari panorama pedalaman Kalimantan.

Nyahu Rumah Panjang: Kewaspadaan atas Isyarat Alam

Begitu pula, pandangan hidup yang terkait dengan rumah panjang dengan segala tradisinya, belum hilang dari pandangan hidup masyarakat Dayak pedalaman. Misalnya, sebelum menempati rumah adat yang baru selesai, Suku Dayak Tunjung menyelenggarkan upacara adat yang disebut pakatn nyahu luu. Nyahu (firasat, isyarat atau pemberi firasat) ini bisa terwujud dalam suara beberapa burung tertentu, binatang-binatang, cuaca dan keadaan alam yang di anggap mempunyai hubungan dengan nasib manusia. Suku Dayak Tunjung mengadakan upacara pakatn nyahu rumah adat, menjelang mereka menempati rumah tersebut. Di muka rumah didirikan sebuah bangunan yang disebut dapeq nyahu (rumah pemberi firasat ). Di dalam bangunan inilah diletakakn saji-sajian yang dipersembahkan kepada nyahu. Dukun masing-masing nyahu mengucapkan mantera-mantera. Selain lemang, ayam panggang dan kue terdapat juga beberapa buah patung dari kayu dan dari tepung beras. Dengan adanya patung-patung ini dimaksudkan agar segala bencana dan kesusahan seperti yang telah difirasatkan akan cukup menimpa patung-patung itu dan tidak perlu menimpa manusia lagi.

Nyahu bisa memberi tanda-tanda yang bersifat baik atau bencana agar manusia berhati-hati. Dalam tradisi Dayak Tunjung, seseorang selalu merasa perlu mendapat firasat untuk membuka ladang, mendirikan rumah, dan lain-lain. Untuk menghindari terjadinya firasat-firasat buruk mejadi kenyataan, maka diadakan upacara pakatn nyahu, yang berujuan untuk memohon agar kesusahan tidak terjadi. Apapun, nyahu Dayak Tunjung ―hanya merupakan contoh kecil dari di ranah budaya Dayak― seperti pesan, bahwa manusia mesti waspada terhadap tanda-tanda alam. Bagi mereka, hutan rimba adalah gelaran tanda, simbol, isyarat, fenomena, pemberi firasat yang mesti dicermati. Dengan kewaspadaan itu, ratusan tahun-tahun kelestarian hutan ruang hunian telah mereka lalui. Ketika zaman mulai berubah, muncul pertanyaan: apakah kewaspadaan itu sendiri berhasil dilestarikan?

Sejak dua belas tahun terakhir ini, seperti pada banyak kasus, masyarakat Dayak Tunjung sudah menempati rumah tunggal dengan bentuk dan bahan seperti layaknya masyarakat kota. Begitu pula ruang dalamnya, dibangun dengan ruang tamu, kamar tidur dan dapur yang dibatasi dengan dinding. Tangga masuk ke dalam rumah sudah tidak dibuat dari sepotong batang kayu lagi. Apakah yang mesti diwaspadai dengan perubahan-perubahan itu? Paling tidak, agar nuansa hidup dalam kebersamaan tak ikut lenyap seiring dengan punahnya betang, luu’, ompuk domuk, uma dado atau lamin, meskipun keyakinan agama baru menggantikan yang lama dan memberi pengaruh besar.

Justru keyakinan agama baru bagi masyarakat Dayak (Kristen, Katolik, Islam), mestinya dapat mentransformasikan nilai-nilai luhur kebersamaan mereka, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dengan sistem nilai yang dibawa oleh keyakinan masing-masing. Hal ini menjadi penting, karena banyak penduduk pedalaman meninggalkan adat kebiasaan yang menurut keyakinan baru, tak diizinkan. Agama baru menjadi keyakinan baru sebagaimana kehidupan ekonomi pun menjadi pola fikir baru. Itu yang ditunjukkan oleh kasus di awal tahun 1970-an. Suku-suku pedalaman pada saat musim kemarau panjang saat itu mengalami kekurangan pangan, sehingga banyak benda-benda kuno terpaksa harus mereka jual untuk dibelikan bahan pangan guna keperluan kelanjutan hidup. Sebetulnya, itu hal yang tak perlu terjadi jika ada rasa senasib sepenanggungan antar-masyarakat di Kalimantan, dan secara lebih luas: Indonesia. Kebersamaanlah ―apa pun namanya, gotong-royong, partisipasi, atau karitas sosial― yang perlu dilestarikan nilai-nilainya.

(Kompilator: Nurul Mafi’ah, Renina Aplikawati, Yunita Rosarid; Dwi Wicaksana, Indah F., Nikie Nurina; Rina Dini Purwati, Emil Puspa, Ika Nova; Editor: Galih W. Pangarsa).

Label:

2 Maret 2009

Arsitektur Rakyat di Nusantara

(Sebagian teks dikutip dari Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, hal: 1-6 ).


pa sebenarnya Arsitektur Nusantara? Tampaknya globalisasi secara tidak langsung menjadikan penyatuan kata ”arsitektur” (yang berkonotasi suatu pola pikir, kesepakatan yang mengglobal tentang seni bangunan) dan kata ”Nusantara” (berkonotasi suatu lokalitas geografis) menjadi agak asing. Seolah-olah ada dua kutub yang dialektik. Tetapi sesungguhnya ada yang lebih penting di balik silang-sengkarut argumentasi yang substansinya hanyalah mencari (untuk sekedar mengetahui) arah perkembangan arsitektur pada sumbu ruang-waktu; secara geografis maupun historis. ...menunggu gambar...

Menurut saya, yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, apalagi diskursus tahun 1950-an 'Barat-Timur' atau 'tropis-subtropis'. Sekarang bukan jamannya lagi memperdebatkan itu semua. Pola pikir dialektis sudah sangat kuno, sebetulnya. Sekarang adalah masa untuk berbuat bersama; sekarang adalah masa untuk memahami arsitektur secara lebih esensial, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat --bahkan antarbangsa-bangsa-- untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan (pernyataan ini saya ulang-ulang dalam berbagai kesempatan dan publikasi; lihat terutama Pangarsa, 2008, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto). Diperlukan suatu tindakan nyata untuk keluar dari jebakan itu. Diperlukan langkah bersama menuju masa depan budaya (pola pikir dan mentalitas) arsitektur yang lebih baik. Arsitektur bagi keluhuran budi pekerti manusia, bukan arsitektur demi ketenaran seseorang individu arsitek yang berhajat menjadi "star-chitect", (super)-star di bidang arsitektur.

Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung —yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.

Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.

Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.

Untuk mengawali pemahaman itu, Arsitektur Nusantara mesti dilihat bagaikan bumi Nusantara itu sendiri. Di permukaan tanah masa kini, terbentang luas keragaman 726 bahasa suku, yang pasti menyertai keanekaan ciri arsitekturnya. Di kedalaman stratum geologis masa lalu yang berbeda-beda kecepatan dan percepatan dinamika historisnya, tampak tersimpan kesamaan ciri. Bagi penggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Arsitektur Nusantara --berbeda dengan sekedar pengamat tradisi-pikir skolastikal yang sering kali sekedar memuaskan rasa keingin-tahuannya-- alat metodologis sinkronis dan diakronis tak selalu jelas untuk menjawab pertanyaan komparatif-historis terhadap hasil galiannya, karena sifat lapisan geologi itu pejal tak tembus pandang sebagaimana informasi historis yang tak selalu ia dapati.

Mutiara Hikmah-Pelajaran

...menunggu gambar...Arsitek-arkeolog bersepakat bahwa ciri arsitektur rumah megalitikum Dongson dari abad II SM dengan awalan dan akhiran atap yang berjuntai sebagai pensetimbang (“counter weight”) untuk mengurangi momen lapangan dari nok di sepanjang balok bubungan pada arah memanjang bangunan, masih dapat ditemukan pada Jawa Tengah abad VIII seperti yang direliefkan sebagai lumbung pada Candi Borobudur, bahkan atap lumbung adat masyarakat Gayo Alas beranang, tongkonan Toraja atau rumah lontik Riau awal tahun 1970-an. Tambahan pula, meski ada perbedaan-perbedaan tektonik, secara antropo-linguistik terkadang elemen atap itu mempunyai kesamaan nilai makna. Yaitu, agar penghuni rumah memperoleh kehidupan mulia. Di “daerah karakter tektonik” yang sama-sama menempati suatu wilayah bahari nan luas itu, rumah —bagi manusia yang hidup, arwah yang mati atau bahkan para dewa— tampaknya dimengerti sebagai wadah berisi kandungan dan tempat meraih suatu puncak kehidupan mulia.

Banyak lagi bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah bahari berpulau-pulau dari Madagaskar sampai Papua New Guinea dan dari Jepang Selatan sampai Alor, dapat dimasukkan ke dalam ruang budaya yang sama. Hanya saja, sesuai dengan keluasan ruang geografi dan panjangnya rentang waktu historis, jamak-majemuknya subjek pelaku, bervariasinya proses dan berjenis-jenis lingkungan alam masing-masing sebagai tempat dan objek perbuatan masyarakat manusianya, pasti terdapat keragaman tolok ukur, nilai-makna sekaligus ungkapan simbol-tektoniknya.

Apa yang akhirnya dijumpai oleh mereka yang telah berhasil menyeberangi sungai filosofi-teori-metodologis skolastikal konvensional? Nun jauh di bawah gegunungan berbagai macam predikat skolastikal —dari diploma satu sampai profesor-doktor— ternyata ada lautan bebas di arah hilir sungai yang memanggil untuk diselami dan untuk dimanfaatkan kandungan mutiara hikmahnya.

Wilayah konsepsual keilmuan “Arsitektur Nusantara”, lebih realistik bila dilihat sebagai lautan, sebagaimana fenomena benua-bahari Nusantara itu sendiri. Artinya, konsep keilmuan “Arsitektur Nusantara” diletakkan pada koordinat ruang-waktu yang cukup luas dan sekaligus panjang rentang spasio-temporal atau geo-historisnya. Pada keluasan baharinya, tergelar kebhinekaan ciri kebudayaan-peradaban arsitektur; di kedalaman bahari sisi-sisi etnografis dan antropologisnya, terdapat mutiara bernilai tinggi yang mesti dipetik setelah membuka kekerasan lokan penutupnya. Untuk mendapatkannya, penyelam mesti mempunyai dua alat: kehalus-pekaan pemindai rasa dan ketajam-jelian mata pisau akal. Dengan keduanya barulah akan didapatkan peluang-pelluang untuk merekontekstualisasikan Arsitektur Nusantara. Kajian bukan Arsitektur Nusantara etnografi atau antropologi sempit. Tetapi kajian untuk menyongsong masa depan budaya (arsitektur) bangsa.

...menunggu gambar...

Label:

Geographical Natural-Elementary Settings

(cited partially from: Pangarsa, 2007, Towards Nusantara City, Seminar on Knowledge City, USU, November 2007)



n fact, development of urban scientific phenomena in Indonesia --as in others parts of the world-- not only that it has its own spatio-temporal scales and substantive social processes, but also has its own geographical natural-elementary settings. Unfortunately, discourses let alone an effort of formulating conceptually what is a “city” in Indonesia are rare. In spite of lack of fundamental studies, it should note two important points. Indonesia has naturally, societally and historically structured from Southeast Asian region been called Nusantara since 14th century. ...menunggu gambar...Nusantara is not a political territory of modern Indonesia; it would be a Southeast Asian cultural space spread out between Formosa Island in North to Alor Isles in South, between Aceh in West and Papua Island in East, including coastal regions of Southeast Asia: Space of very high cultural plurality in sense of geo-historically, its system of beliefs, and society. The Nusantara Archipelago is essentially different from another Asian continental countries and archipelagoes with four seasons such as Japan. And also, Southeast Asian wide-ranging area have played a role as a “bridge” and “glue”, between India and Arab to China during the spreads of Buddhism, Hinduism and Islam.

Thus, the geo-historical developmental trajectories of Nusantara could be affirmed as a basic parameter in formulating a proper concept of a city for the region. The importance is to communicate the idea. In the years to come, there will appear discourses to scrutinize the links between theory, politics, and policy using paralell narratives of the Nusantara cities in multi-diciplinary views. The Nusantara City would not be a city of the past, but parts of the actual discourses of a global city, knowledge city, creative city, sustainable city, and resurgent city. Making a Nusantara City is a great work that would be certainly impossible to be executed by a single discipline group.

...menunggu gambar...As has been shown through many works of scholars, “traditional” or “conventional” point of view on Nusantara is a linguo-anthropological or a historical, in which Nusantara is considered as a part of Austronesia. Is there a new approach? In field of planning, actions of European and North-American postmodernists trying to see beyond and to connect their “spatial” approaches to other fields (including local system of beliefs), begins to reach Indonesia. However, a holistic view of Nusantara seems to be far away yet. Nevertheless, some prominent characters of Nusantara could be presented.

Region with Two Seasons: Leafy All Year Round

The first phenomenon, Nusantara as described geographically above is a tropical region; it has two seasons and leafy all year round. Note a small scene, well-known both in Christian and Islam: Adam and Hawa (Eve) had been deceived by evil’s deception to eat “the forbidden fruit”, they is covered their genitals (aurat) with the leaves of the Heaven. It seems that the leaf is a fundamental need of human being to descend his generations and to keep his existence. Primitive man used leaves as shelter; cattle transforms leaves into animal-protein that we eat. Thus leaves provide human protection from climate and hungry. For believers, the earth had been created by Allah Almighty God as provision for human being to prepare his eternally life. Trees, caves, hamlets, countries, villages, or cities and even the earth, essentially is dwelling for all, “a home for human beings”.

Prophet Muhammad said in well-known hadeeth: “my home is my heaven”. As a home or dwelling for all human, the earth should have a nuance of heaven. It is clear that human being is very close with his nature and leaves on his environments. The relation between man and his environments is not just in physical parameters (temperature, oxygen, etc) but also in a resonance of the meta-empirical energy. Perhaps it would be peculiar to be explained that the nature of human being (fithrah) has the same vibratio-motion of the energy of bio-cosmic essence with the leaf. There is no need to prove by sophisticated physics and its experiments that leafy environments bring a peaceful nuance to every human. A little vegetation in a room will give a different feeling compared to an empty one. As a matter of fact, man living in Nusantara, should be sufficient; it is leafy and has two seasons. Nusantara cities should be different from those of European counterparts.

The Origin: Tree-Dwelling

To sketch the realities of Nusantara’s existence and image of its nature, surveys on the origin of the Southeast Asian architecture might be helpful. There are two types of the origin of dwellings in the world: cave or troglodyte-dwelling and tree-dwelling. It is known that Southeast Asia archipelago is the region of the second type and continental Asian is of the first. Beneath platformed floors of a house spreads a continuous space from one house to the others, passing courtyards, village alleys, and paddy fields constituting an integrated natural leafy environments and those of sheltered man-made with different scales and degrees of privacy. It seems that it would not only be physical, but also energy of bio-cosmic essence phenomenon.

The main point is how to find out the boundary marks between inhabited and non-inhabited territory. The proposed concept is that the boundary should be defined not only by physical elements but also by or bio-cosmic energy as well. In conventional scientific point of view, it is usually regarded as spatio-anthropological paradigms with myths, legends, or traditions of beliefs. In the primitive age or even today, traditional rituals held in villages usually intended to bring a safety and secure life in certain villages’ territory (e.g. ritual of sêlamêtan, bersih desa, ruwatan, etc in Javanese villages). In traditional villages, the territory is often indicated by planted trees or bushes as “a fort”. So that in intention to conserve man-environment interrelation described above, vegetation use of spatial territorializing would be most reasonable method to be replicated when they make vast clustered dwellings. In Javanese old tradition, a forestry region is often regarded as a non-human dwellings space or non-occupied space.

Island: Sea-bordered Living Space

By nature, coasts surrounding an island are “forts” separating and protecting the land part from the others. Apparently, the Nusantara cultures have been formed by islands boundaries. The architecture and the language of Island of Bali are completely different from those of the native of Lombok (in southern regions of the Island). Or, that of Mentawai is also very different from Nias -although they are relatively very close to each other. Boundaries of cultural spaces are also formed by water and land elements (large rivers, high mountain, vast forests, etc). For greater or more populated islands will be explained on the following paragraph. An etymological comparison of two words “Austronesia” and “Nusantara” explains the appropriate view. “Austronesia” is a Greek word consisting two elements, Austr?lis (South) nêsos (islands); Austronesia would be southern islands, including Nusantara. Thus, the center of spatio-temporal origin -axis mundi or the spatial reference- is Greek, from which European cultures had developed. Thus in the word “Austronesia” it would be a trace of Eurocentrism, subordinating Nusantara. Nusantara comes from two Old Javanese words nuswa or nusya (island) and antara (between). Coincidently, the word “nusa” has the same meaning as “nêsos”, means island. Thus, a reasonable explanation of Nusantara would be "the whole combined archipelago countries" without “a center” but an entire archipelago. However, by nature the five main islands of Indonesia become the centers.

In the reality of cultural developments in Nusantara, a high mountain is often considered as the center of an occupied space. That is empirically a figuration of the vertical axis that could appear in symbolism of local political power. Mount Semeru is considered as the center of space and power by Hindu-Buddhist of old Eastern Javanese kingdoms. By the nature of society, the territory of this occupied space is geographically very dynamic. So that finally, it could be concluded that Nusantara is “open” or having position as a free space “connected to a center”. The center will culturally and politically be defined in accordance to the system of beliefs in society, planted by dominating power(s).

Label:

Hospitality of the Nature and the People

(cited partially from: Pangarsa, 2007, Towards Nusantara City, Seminar on Knowledge City, USU, November 2007)


bserving its moderate climate, thriving and prosperous lands with abundant resources, it would be not too exorbitant to say that initially -as a host for peoples living in its environment- the nature of Nusantara is a space with extraordinary hospitality. The nature of Nusantara contributes special characters to its people, which is well known as “friendly to visitors, having perceptive way of thinking”, etc.
At a glance, it looks like a “given” character of the people. But people could not present real hospitality without a grateful attitude to whom or to which he believe and considered as the “Supreme Substance”, giving prosperity and saving his life. Having its own system of beliefs, each social group manifests its attitude in traditions that exist in diversity. But it seems that a common view and attitude is conserving nature. Hence, the hospitality of natural environment around them is reciprocated by the same attitude; people cultivate or take advantage of, but not to force the nature to fulfilling their greed.

Universality in Symbolism of Geography

Being “open” in both natural and societal point of views, Southeast Asian or especially Nusantara played a role as a “bridge” and “glue” between India and Arab to China. During the parallel periods of the spreading of Hinduism and Buddhism, cultural and political ruling powers had planted many religion-based spatial conceptions, blended through the processes of acculturations with local religions or system of beliefs. It could be noted that Balinese villages is centralized to Mount Agung in Bali. Mount Semeru, the mounts Dieng, Arjuna, Penanggungan, etc., in Java had also been considered as central of transcendental or spiritual space. The spatial conception is not only locally; Indonesian Hindus still regard the Ganges in India as Holy River. The site and the Temple of Vihara Agung (The Great Vihara) in Trowulan, East Java was selected and established in 1980s due to divine inspiration of Thai Buddhist priests. The regionalism of spatial orientation was also proved by studies on the Chinese diaspora: the mother-land of continental China is a spatial orientation for Chinese descendants abroad.

Although coming lately, an important phenomenon is Islam, which brought about Nusantara a new global orientation. Each prayer and mosques of Islam have spatial orientation to the Kaaba, believed as the “sacred point” in the earth. A study by Gani (2004: 28, 58) showed that among hundreds of countries in relation to the Kaaba, Nusantara has a peculiar position. The region is exactly oriented to the two vertical important elements: The Multazam and the Door of Kaaba. The Multazam is the wall between Hijr Aswad (the sacred stone mounted on the Southeastern corner of the Kaaba) and The Door, which is believed by Muslims as best a place to pray. In brief, Nusantara would be a planar projection of Kaaba central point through the two vertical elements explained above. Explanation should be sought to prove the matter. Nonetheless, it seems that the phenomenon could answer clearly cultural territory of Nusantara and explain Aceh is called “Serambi (Veranda of) Mekkah” and among first islamized Nusantara countries.

What is the lesson derived from the Kaaba? Like the meaning of the Kaaba symbolism itself -determined in the earth as the first dwelling for the first human being Adam- each dwelling would be able to sustain his life and other creatures. Consequently, as the Kaaba that becomes (symbolically) “a place to stop” for all of human beings, each dwelling of Adam’s descendants has a universality. In dynamics and heterogenic world, what is useful value of the Kaaba? It is not too hard to accept that a dwelling, village, city or built environment should not destroy its environment. In other word, the value of harmony or togetherness both in terms of human society and “society” of the nature is a priority in achieving sustainable life for all. Every empiric environment has interrelation with its meta-empiric reality. Every place of built environment in Nusantara would have its spirituality. That is a view as a basis that empiric and meta-empiric balance should be maintained properly both for human and nature. Nusantara is a unity of heterogeneity. Thus, a common or universal platform is required to achieve a living in harmony between the creatures of Allah, Almighty God.

Resource and Market of the North?

The long history of human civilizations since 14th century has been a history of suppression of human being, its nature, and both. After a long colonial period, European and American over-rationalized economic-based development has became a single paradigm and truth of a new capitalistic religion -in which emerges the worldly spirit of “gaining quickly, multiplying outcomes in the shortest time possible and in a most efficient way”. Based on this spirit, science in very exclusive disciplines which sides only to human greed spring. The victim are nature and underprivileged people. Would they be sacrificed in the names of “development of human civilization”, “colonial” or “post-colonial”? This is proper time to leave the Darwinian view of “struggle of life” behind, even though it is late to take such action. Peaceful scientific implementations in the other hand needs no victims at all.

For many centuries, Southeast Asia regions including Nusantara became subjugated territory of the Northern countries (Western Europeans and Northern Americans). Executed in politico-military or physical methods, the first period --say before Second World War-- exploited explored natural resources: minerals, agricultural products, etc. The later period --especially in last four decades-- is the pretense of scientific methods. Undoubtedly, the aim of the second period has been to create markets for advanced technologies of the North, such as in genetics, informatics, robotics, nano-techs, etc. By spreading scientific information, values of truth, good, or beauty is “patterned”. A mislead in interpreting the slogans as “Information-Age”, “Globalization”, “Internationalization”, “Cosmopolitanism” and other names, would trap into the invisible loop hole, that is a scientific-politic-economical dependence to the Northern countries. The tall stacks of debts of Indonesia are undeniable reality. The winners of the game of power are the Northern countries. The disciplines of architecture and planning play a very little part of this big game. A symbolism is required in politics of culture, not only as a simple way to built mental attitude but also to create an applicable proper (read: peaceful) scientific perspective.

Label: