25 April 2010

Tipologi Kebudayaan Arsitektur Nusantara:
Bhineka Tunggal Ika, tan Hana Dharma Mangrwa

Galih W. Pangarsa



rsitektur Nusantara memerlukan paradigma tipologi baru. Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan, sejak dari pendekatan historis, arsitektonik sampai pendekatan antropologis. Semuanya sah, karena semua dapat bermanfaat. Tetapi Indonesia membutuhkan kategorisasi yang sesuai dengan tuntutan mempertahankan kesatuan kebudayaannya, agar mengurangi timbulnya segmentasi sosial.

Pendekatan etnografi
Pendekatan etnografis (arsitektur Jawa Sunda, Bali, dan seterusnya) yang populer di masa lalu, bisa saja memperuncing sukuisme. Pendekatan historis pun bukan tanpa resiko. Pemilahan periode seperti arsitektur Hindu, Budha, dan Islam atau muslim secara sangat halus bisa saja mengkotak-kotakkan pengamat (dan mereka yang mempelajari arsitektur) pada latar belakang sosio-historis yang berbeda-beda. Akibatnya, di masa lalu, arsitektur Kolonial Belanda tak salah bila dikonotasikan dengan Kristianisme. Dengan cara pandang yang sama, istilah arsitektur Cina Perantauan pun dapat saja beresiko menimbulkan kotak segmentasi sosial yang lebih kecil lagi. Bangsa ini telah nyaris terpecah-belah. Akankah masa lalu dan keadaan arsitekturnya di masa kini dipakai untuk mempertajam kepingan-kepingan keterpecahan sosial itu? Betapa makin sulitnya mempertahankan kesatuan bangsa!

Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara
Pendekatan budaya
Maka lebih bijak bila kita memakai tipologi yang disusun dengan tujuan memaparkan karakter paling khas dari tiap kelompok kebudayaan-peradaban dengan masing-masing lingkungan alamnya. Hal itu pun tak mudah, karena harus dikerjakan sambil mengurutkan perkembangan tiap kategori secara historis dan sekaligus menempatkannya pada geografi yang sangat luas dan berkemajemukan tinggi pula. Arsitektur Nusantara dapat kita pilah menurut ciri peradaban dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam hal ini arsitektur rakyat di Nusantara dilihat sebagai satu kesatuan peradaban dari unsur-unsur kebudayaan, nilai-nilai, dan sifat-sifat luhur budaya bangsa yang diwariskan secara turun temurun di seluruh ruang budaya Nusantara, sebagai berikut:
  • Keperkasaan Penerus Tradisi Batu Besar (misalnya Nias atau Sumba)
  • Kewaspadaan Pelestari Hutan (misalnya Mentawai, Dayak, dan Papua)
  • Ketekunan Penggalang Pertanian (pertanian dataran rendah dan yang di dataran tinggi seperti Tengger, Kintamani, dan sebagainya)
  • Keterbukaan Penjalin Pesisir (misalnya Madura, Using, dan lain-lain).

Politik kebudayaan dalam arsitektur.
Tipologi budaya di atas itu memang normatif, bahkan seolah-olah hanya hendak kembali ke romantisme masa lalu. Tetapi lebih dari sekedar mempelajari arsitektur dari kacamata materialisme pattern atau form language dalam kajian arsitektur yang sangat (atau bahkan terlalu) spesifik, maka sebenarnya di balik kategorisasi itu ada muatan politik kebudayaan, atau dalam istilah almarhum Clifford Geertz: politik makna. Tipologi itu, sejak dari buku "Merah-Putih Arsitektur Nusantara" (2006) terus terang saya susun berdasarkan pada suatu tujuan langkah kebudayaan: menjaga kelestarian Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah identitas, atau ruang kultural. Bahasa Gus Dur bisa jadi lebih singkat: NKRI, harga mati! Dalam istilah Mpu Tantular: bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda namun satu, tak ada sikap-perbuatan [dharma] yang mendua; satu upaya bahu membahu untuk tujuan yang diyakini bersama kebaikannya). Bisa jadi, tujuan tadi terlalu subtil atau samar untuk ditangkap yang biasa hanya mempelajari aspek materi arsitektur, sehingga dalam suatu acara bedah buku "Merah-Putih" di atas, ada seorang pembahas yang melihat bagian kajian tipologi dalam buku tersebut tidak berhubungan dengan bagian kajian filosofi di depannya. Padahal, paradigma atas sesuatu pasti berlandaskan sebuah bidang-pijak filosofis.

Jadi, marilah kita renungi, bahwa tidak jarang, masing-masing disiplin ilmu perlu memperluas cakrawala epistemologinya. Tambahan lagi, bila bukan putera negerinya sendiri yang menjaga, siapa yang hendak mempertahankan kesatuan bangsa ini? Bagi yang berpandangan tajam, sangat jelas bahwa bangsa dan negeri ini nyaris tercabik-cabik untuk kemudian lebih mudah dijarah kekayaan alam dan potensi manusianya.

Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur NusantaraSiapakah putera negeri ini?
Di suatu pertemuan akademik universitas swasta (yang kebetulan mayoritas mahasiswanya adalah keturunan Tionghoa), saya pernah menyampaikan satu hal yang bagi saya penting. Siapakah yang "asli" Nusantara? Apakah yang sekedar berkulit gelap sawo matang? Siapa yang dapat menjamin "keaslian geneakologisnya"? Di Nusantara, kita semua "pendatang". Mungkin nenek dari nenek moyang kita adalah migran dari Dongson, atau bagian lain Asia Tenggara daratan. Jadi, sangatlah tidak tepat mempersoalkan asal-usul keturunan, atau bahkan lebih parah lagi, ras. Lebih bermanfaat ialah mempertanyakan: siapakah putera negeri ini? Jawabnya, mereka yang penuh kepedulian pada kelangsungan hidup, penghidupan, dan kehidupan masyarakat negeri dan alam di tanah-air Indonesia tercinta ini. Kepedulian itu menuntut bukti ia ikut andil dengan segala potensi dan daya-kemampuan yang ada padanya, untuk terus-menerus memperbaiki keadaan Indonesia. Baginya, bila keadaan hari ini sama dengan kemarin, itu sudah suatu pertanda kemunduruan. Bila bukan tergolong putera negeri, maka pastikanlah ia sekedar benalu yang menumpang hidup pada pepohonan renta tanah ibu pertiwi ini. Ada benalu-egois pencari nafkah dan jaminan pensiun di hari tua, ada benalu-oportunis pengumpul harta dan kekuasaan tahta dengan segala cara, ada pula benalu-pengemis kertas atau medali prestasi dan prestise bagi nafsu-dirinya! Kita tidak memerlukan "boemi poetera asli Indonesia". Kita memerlukan putera negeri yang penuh daya juang mengentaskan Indonesia dari segala keterpurukan. Dalam bidang arsitektur, untuk ikut mengentaskan kehidupan Indonesia dari keterpurukan budaya (dalam arti mentalitas, bukan seni).

Agenda kajian tipologi
Jika kita kembali ke kajian arsitektur, pada akhirnya terfokuslah sebuah pertanyaan: bagaimanakah dengan tipologi yang tepat, kita menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan benih kesemestaan pada mozaik lahan lokalitas Nusantara nan luas, dengan masing-masing trayektori kesejarahan yang sangat majemuk itu? Demikian itulah kerumitan menyusun tipologi Arsitektur Nusantara. Karenanya, kajian Arsitektur Nusantara mustahil dikerjakan tanpa jalinan keakraban intelektual dari kita. Dalam tujuan tersebut, kami mengharap weblog ini menjadi wahana komunikasi para putera negeri yang berbakat dan berminat dalam arsitektur, bukan melulu kaum akademisinya saja.

Label:

24 April 2010

Arsitektur di Negeri Bencana

Galih W. Pangarsa



rsitektur Nusantara tinggal remah-remah, bahkan nyaris punah. Sementara itu, kita perlu sadar sepenuhnya, betapa pen-tingnya identitas pribadi, baik bagi individu maupun bangsa, karena sudah menjadi kodrat manusia ia berperan sebagai subjek yang di-mintai pertanggung-jawaban.

Benarkah bahwa kaum arsitek lepas dari pertanggung-jawabannya selaku bagian dari anak negeri yang tengah dikepung bencana ini? Jika tidak benar, lalu apa yang bermanfaat untuk disumbangkan mereka pada negeri ini? Apakah andil itu diwujudkan dengan terus hanya mengejar prestasi dan prestise diri di pentas panggung seminar atau sayembara desain dengan segala kehebatan gelar dan penghargaan?

Mengkaji Arsitektur Nusantara bukan untuk kembali ke masa lalu. Di tengah-tengah dua persoalan mendasar di atas --hancurnya identitas manusia dan masyarakat serta rusaknya alam lingkungan Nusantara-- pengembangan ilmu arsitektur di negeri ini mesti menanggapinya dengan berupaya menempatkan arsitektur di titik perimbangan yang adil-bijak: tak hanya berpihak pada manusia. Tetapi juga pada kelestarian alam. Rekontekstualisasi Arsitektur Nusantara di negeri subur-makmur yang kini beralih menjadi negeri bencana ini adalah untuk mendudukkan kembali Arsitektur Nusantara sebagai peradaban arsitektur lokal, nasional, regional dan sekaligus mondial. Itu akan tercapai bila nilai universalitas arsitektur negeri ini ditemu-kenali kembali, lalu ditumbuh-kembangkan sebagai rerumpunan kebudayaan yang tetap majemuk, yang terjagai oleh perangai dan sifat kasih-sayang masyarakatnya.

Maka, rekontekstualisasi itu mau tak mau harus diposisikan sebagai bagian dari upaya kebudayaan yang lebih besar, yang berskala negeri dan kebangsaan. Untuk itu, Indo-nesia yang kini ada dalam kungkungan jeruji bencana sosial, ekonomi, budaya, dan alam ini, memerlukan kepemimpinan bangsa yang kuat: mampu mengembalikan manusia dan alam Nusantara pada fitrahnya.

Label: