Tipologi Kebudayaan Arsitektur Nusantara:
Bhineka Tunggal Ika, tan Hana Dharma Mangrwa
Galih W. Pangarsa
rsitektur Nusantara memerlukan paradigma tipologi baru. Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan, sejak dari pendekatan historis, arsitektonik sampai pendekatan antropologis. Semuanya sah, karena semua dapat bermanfaat. Tetapi Indonesia membutuhkan kategorisasi yang sesuai dengan tuntutan mempertahankan kesatuan kebudayaannya, agar mengurangi timbulnya segmentasi sosial.
Pendekatan etnografi
Pendekatan etnografis (arsitektur Jawa Sunda, Bali, dan seterusnya) yang populer di masa lalu, bisa saja memperuncing sukuisme. Pendekatan historis pun bukan tanpa resiko. Pemilahan periode seperti arsitektur Hindu, Budha, dan Islam atau muslim secara sangat halus bisa saja mengkotak-kotakkan pengamat (dan mereka yang mempelajari arsitektur) pada latar belakang sosio-historis yang berbeda-beda. Akibatnya, di masa lalu, arsitektur Kolonial Belanda tak salah bila dikonotasikan dengan Kristianisme. Dengan cara pandang yang sama, istilah arsitektur Cina Perantauan pun dapat saja beresiko menimbulkan kotak segmentasi sosial yang lebih kecil lagi. Bangsa ini telah nyaris terpecah-belah. Akankah masa lalu dan keadaan arsitekturnya di masa kini dipakai untuk mempertajam kepingan-kepingan keterpecahan sosial itu? Betapa makin sulitnya mempertahankan kesatuan bangsa!
Pendekatan budaya
Maka lebih bijak bila kita memakai tipologi yang disusun dengan tujuan memaparkan karakter paling khas dari tiap kelompok kebudayaan-peradaban dengan masing-masing lingkungan alamnya. Hal itu pun tak mudah, karena harus dikerjakan sambil mengurutkan perkembangan tiap kategori secara historis dan sekaligus menempatkannya pada geografi yang sangat luas dan berkemajemukan tinggi pula. Arsitektur Nusantara dapat kita pilah menurut ciri peradaban dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam hal ini arsitektur rakyat di Nusantara dilihat sebagai satu kesatuan peradaban dari unsur-unsur kebudayaan, nilai-nilai, dan sifat-sifat luhur budaya bangsa yang diwariskan secara turun temurun di seluruh ruang budaya Nusantara, sebagai berikut:
Politik kebudayaan dalam arsitektur.
Tipologi budaya di atas itu memang normatif, bahkan seolah-olah hanya hendak kembali ke romantisme masa lalu. Tetapi lebih dari sekedar mempelajari arsitektur dari kacamata materialisme pattern atau form language dalam kajian arsitektur yang sangat (atau bahkan terlalu) spesifik, maka sebenarnya di balik kategorisasi itu ada muatan politik kebudayaan, atau dalam istilah almarhum Clifford Geertz: politik makna. Tipologi itu, sejak dari buku "Merah-Putih Arsitektur Nusantara" (2006) terus terang saya susun berdasarkan pada suatu tujuan langkah kebudayaan: menjaga kelestarian Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah identitas, atau ruang kultural. Bahasa Gus Dur bisa jadi lebih singkat: NKRI, harga mati! Dalam istilah Mpu Tantular: bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda namun satu, tak ada sikap-perbuatan [dharma] yang mendua; satu upaya bahu membahu untuk tujuan yang diyakini bersama kebaikannya). Bisa jadi, tujuan tadi terlalu subtil atau samar untuk ditangkap yang biasa hanya mempelajari aspek materi arsitektur, sehingga dalam suatu acara bedah buku "Merah-Putih" di atas, ada seorang pembahas yang melihat bagian kajian tipologi dalam buku tersebut tidak berhubungan dengan bagian kajian filosofi di depannya. Padahal, paradigma atas sesuatu pasti berlandaskan sebuah bidang-pijak filosofis.
Jadi, marilah kita renungi, bahwa tidak jarang, masing-masing disiplin ilmu perlu memperluas cakrawala epistemologinya. Tambahan lagi, bila bukan putera negerinya sendiri yang menjaga, siapa yang hendak mempertahankan kesatuan bangsa ini? Bagi yang berpandangan tajam, sangat jelas bahwa bangsa dan negeri ini nyaris tercabik-cabik untuk kemudian lebih mudah dijarah kekayaan alam dan potensi manusianya.
Siapakah putera negeri ini?
Di suatu pertemuan akademik universitas swasta (yang kebetulan mayoritas mahasiswanya adalah keturunan Tionghoa), saya pernah menyampaikan satu hal yang bagi saya penting. Siapakah yang "asli" Nusantara? Apakah yang sekedar berkulit gelap sawo matang? Siapa yang dapat menjamin "keaslian geneakologisnya"? Di Nusantara, kita semua "pendatang". Mungkin nenek dari nenek moyang kita adalah migran dari Dongson, atau bagian lain Asia Tenggara daratan. Jadi, sangatlah tidak tepat mempersoalkan asal-usul keturunan, atau bahkan lebih parah lagi, ras. Lebih bermanfaat ialah mempertanyakan: siapakah putera negeri ini? Jawabnya, mereka yang penuh kepedulian pada kelangsungan hidup, penghidupan, dan kehidupan masyarakat negeri dan alam di tanah-air Indonesia tercinta ini. Kepedulian itu menuntut bukti ia ikut andil dengan segala potensi dan daya-kemampuan yang ada padanya, untuk terus-menerus memperbaiki keadaan Indonesia. Baginya, bila keadaan hari ini sama dengan kemarin, itu sudah suatu pertanda kemunduruan. Bila bukan tergolong putera negeri, maka pastikanlah ia sekedar benalu yang menumpang hidup pada pepohonan renta tanah ibu pertiwi ini. Ada benalu-egois pencari nafkah dan jaminan pensiun di hari tua, ada benalu-oportunis pengumpul harta dan kekuasaan tahta dengan segala cara, ada pula benalu-pengemis kertas atau medali prestasi dan prestise bagi nafsu-dirinya! Kita tidak memerlukan "boemi poetera asli Indonesia". Kita memerlukan putera negeri yang penuh daya juang mengentaskan Indonesia dari segala keterpurukan. Dalam bidang arsitektur, untuk ikut mengentaskan kehidupan Indonesia dari keterpurukan budaya (dalam arti mentalitas, bukan seni).
Agenda kajian tipologi
Jika kita kembali ke kajian arsitektur, pada akhirnya terfokuslah sebuah pertanyaan: bagaimanakah dengan tipologi yang tepat, kita menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan benih kesemestaan pada mozaik lahan lokalitas Nusantara nan luas, dengan masing-masing trayektori kesejarahan yang sangat majemuk itu? Demikian itulah kerumitan menyusun tipologi Arsitektur Nusantara. Karenanya, kajian Arsitektur Nusantara mustahil dikerjakan tanpa jalinan keakraban intelektual dari kita. Dalam tujuan tersebut, kami mengharap weblog ini menjadi wahana komunikasi para putera negeri yang berbakat dan berminat dalam arsitektur, bukan melulu kaum akademisinya saja.
Bhineka Tunggal Ika, tan Hana Dharma Mangrwa
Galih W. Pangarsa
rsitektur Nusantara memerlukan paradigma tipologi baru. Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan, sejak dari pendekatan historis, arsitektonik sampai pendekatan antropologis. Semuanya sah, karena semua dapat bermanfaat. Tetapi Indonesia membutuhkan kategorisasi yang sesuai dengan tuntutan mempertahankan kesatuan kebudayaannya, agar mengurangi timbulnya segmentasi sosial.
Pendekatan etnografi
Pendekatan etnografis (arsitektur Jawa Sunda, Bali, dan seterusnya) yang populer di masa lalu, bisa saja memperuncing sukuisme. Pendekatan historis pun bukan tanpa resiko. Pemilahan periode seperti arsitektur Hindu, Budha, dan Islam atau muslim secara sangat halus bisa saja mengkotak-kotakkan pengamat (dan mereka yang mempelajari arsitektur) pada latar belakang sosio-historis yang berbeda-beda. Akibatnya, di masa lalu, arsitektur Kolonial Belanda tak salah bila dikonotasikan dengan Kristianisme. Dengan cara pandang yang sama, istilah arsitektur Cina Perantauan pun dapat saja beresiko menimbulkan kotak segmentasi sosial yang lebih kecil lagi. Bangsa ini telah nyaris terpecah-belah. Akankah masa lalu dan keadaan arsitekturnya di masa kini dipakai untuk mempertajam kepingan-kepingan keterpecahan sosial itu? Betapa makin sulitnya mempertahankan kesatuan bangsa!
Pendekatan budaya
Maka lebih bijak bila kita memakai tipologi yang disusun dengan tujuan memaparkan karakter paling khas dari tiap kelompok kebudayaan-peradaban dengan masing-masing lingkungan alamnya. Hal itu pun tak mudah, karena harus dikerjakan sambil mengurutkan perkembangan tiap kategori secara historis dan sekaligus menempatkannya pada geografi yang sangat luas dan berkemajemukan tinggi pula. Arsitektur Nusantara dapat kita pilah menurut ciri peradaban dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam hal ini arsitektur rakyat di Nusantara dilihat sebagai satu kesatuan peradaban dari unsur-unsur kebudayaan, nilai-nilai, dan sifat-sifat luhur budaya bangsa yang diwariskan secara turun temurun di seluruh ruang budaya Nusantara, sebagai berikut:
- Keperkasaan Penerus Tradisi Batu Besar (misalnya Nias atau Sumba)
- Kewaspadaan Pelestari Hutan (misalnya Mentawai, Dayak, dan Papua)
- Ketekunan Penggalang Pertanian (pertanian dataran rendah dan yang di dataran tinggi seperti Tengger, Kintamani, dan sebagainya)
- Keterbukaan Penjalin Pesisir (misalnya Madura, Using, dan lain-lain).
Politik kebudayaan dalam arsitektur.
Tipologi budaya di atas itu memang normatif, bahkan seolah-olah hanya hendak kembali ke romantisme masa lalu. Tetapi lebih dari sekedar mempelajari arsitektur dari kacamata materialisme pattern atau form language dalam kajian arsitektur yang sangat (atau bahkan terlalu) spesifik, maka sebenarnya di balik kategorisasi itu ada muatan politik kebudayaan, atau dalam istilah almarhum Clifford Geertz: politik makna. Tipologi itu, sejak dari buku "Merah-Putih Arsitektur Nusantara" (2006) terus terang saya susun berdasarkan pada suatu tujuan langkah kebudayaan: menjaga kelestarian Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah identitas, atau ruang kultural. Bahasa Gus Dur bisa jadi lebih singkat: NKRI, harga mati! Dalam istilah Mpu Tantular: bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda namun satu, tak ada sikap-perbuatan [dharma] yang mendua; satu upaya bahu membahu untuk tujuan yang diyakini bersama kebaikannya). Bisa jadi, tujuan tadi terlalu subtil atau samar untuk ditangkap yang biasa hanya mempelajari aspek materi arsitektur, sehingga dalam suatu acara bedah buku "Merah-Putih" di atas, ada seorang pembahas yang melihat bagian kajian tipologi dalam buku tersebut tidak berhubungan dengan bagian kajian filosofi di depannya. Padahal, paradigma atas sesuatu pasti berlandaskan sebuah bidang-pijak filosofis.
Jadi, marilah kita renungi, bahwa tidak jarang, masing-masing disiplin ilmu perlu memperluas cakrawala epistemologinya. Tambahan lagi, bila bukan putera negerinya sendiri yang menjaga, siapa yang hendak mempertahankan kesatuan bangsa ini? Bagi yang berpandangan tajam, sangat jelas bahwa bangsa dan negeri ini nyaris tercabik-cabik untuk kemudian lebih mudah dijarah kekayaan alam dan potensi manusianya.
Siapakah putera negeri ini?
Di suatu pertemuan akademik universitas swasta (yang kebetulan mayoritas mahasiswanya adalah keturunan Tionghoa), saya pernah menyampaikan satu hal yang bagi saya penting. Siapakah yang "asli" Nusantara? Apakah yang sekedar berkulit gelap sawo matang? Siapa yang dapat menjamin "keaslian geneakologisnya"? Di Nusantara, kita semua "pendatang". Mungkin nenek dari nenek moyang kita adalah migran dari Dongson, atau bagian lain Asia Tenggara daratan. Jadi, sangatlah tidak tepat mempersoalkan asal-usul keturunan, atau bahkan lebih parah lagi, ras. Lebih bermanfaat ialah mempertanyakan: siapakah putera negeri ini? Jawabnya, mereka yang penuh kepedulian pada kelangsungan hidup, penghidupan, dan kehidupan masyarakat negeri dan alam di tanah-air Indonesia tercinta ini. Kepedulian itu menuntut bukti ia ikut andil dengan segala potensi dan daya-kemampuan yang ada padanya, untuk terus-menerus memperbaiki keadaan Indonesia. Baginya, bila keadaan hari ini sama dengan kemarin, itu sudah suatu pertanda kemunduruan. Bila bukan tergolong putera negeri, maka pastikanlah ia sekedar benalu yang menumpang hidup pada pepohonan renta tanah ibu pertiwi ini. Ada benalu-egois pencari nafkah dan jaminan pensiun di hari tua, ada benalu-oportunis pengumpul harta dan kekuasaan tahta dengan segala cara, ada pula benalu-pengemis kertas atau medali prestasi dan prestise bagi nafsu-dirinya! Kita tidak memerlukan "boemi poetera asli Indonesia". Kita memerlukan putera negeri yang penuh daya juang mengentaskan Indonesia dari segala keterpurukan. Dalam bidang arsitektur, untuk ikut mengentaskan kehidupan Indonesia dari keterpurukan budaya (dalam arti mentalitas, bukan seni).
Agenda kajian tipologi
Jika kita kembali ke kajian arsitektur, pada akhirnya terfokuslah sebuah pertanyaan: bagaimanakah dengan tipologi yang tepat, kita menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan benih kesemestaan pada mozaik lahan lokalitas Nusantara nan luas, dengan masing-masing trayektori kesejarahan yang sangat majemuk itu? Demikian itulah kerumitan menyusun tipologi Arsitektur Nusantara. Karenanya, kajian Arsitektur Nusantara mustahil dikerjakan tanpa jalinan keakraban intelektual dari kita. Dalam tujuan tersebut, kami mengharap weblog ini menjadi wahana komunikasi para putera negeri yang berbakat dan berminat dalam arsitektur, bukan melulu kaum akademisinya saja.
Label: Jelajah Lokalitas
4 Komentar:
Yth.
Pak Galih,
mengenai sebuah identitas. Menurut saya, kita saat ini berjalan dalam proses dan sistem yang demikian 'terlanjur' pak. Berat sekali untuk mengharapkan waktu yang dekat mampu meredam keterpurukan mentalitas bangsa. Arsitektur, bagi saya, adalah hal yang penting. Namun, pembentukan mentalitas, tetap saja terasa sangat sulit tersentuh dan bertalian dengan yang namanya arsitektur, khususnya di waktu ini pak, berbagai intervensi preseden-preseden baru yang langsung dikatakan 'layak' seolah menjadi pedoman baru dalam ber-arsitektur.
Arsitektur, mungkinkah,
sedikitnya,
meredam gemuruh ini pak?
Mohon advise dari bapak.
Terimakasih.
Prasetyo Condro Gumilar
Terimakasih. Kebetulan, saya baru saja menulis untuk pengantar Workshop UB 29/10/2011. Pembicaranya Mas Yusing. Mudah-mudahan nyambung.
Apakah rekontekstualisasi Arsitektur Nusantara memang sungguh-sungguh diperlukan? Pertanyaan itu bisa jadi setara dengan upaya mencari kejelasan: apakah manusia perlu identitas? Ya! Betapa gelap keadaan manusia yang tak menyadari eksistensi atau identitas dirinya. Manusia seperti itu pasti tidak mempunyai arah hidup yang jelas. Arsitektur atau --secara lebih luas-- peradaban bangsa ini pun, pasti terpuruk bila sebagai bangsa, kita tak punya arah perja-lanan hidup.
Arsitektur Nusantara hakikatnya bukan masa lalu. Informasi yang membanjiri generasi zaman kini-lah yang memposisikannya di pelataran masa lalu. Dan menutup pelataran itu dengan dinding tebal orientasi peradaban Eurocentric. Kita perlu memposisikan arsitektur di negeri ini agar berada kembali pada titik perimbangan. Yaitu, arsitektur yang melayani kemajemukan, selain melayani individu. Yang berpihak juga kepada alam, selain berpihak pada kepentingan manusia. Upaya itu dapat diawali dari mana saja sesuai bakat, kemampuan, dan kesempatan tiap individu. Bukan arsitektur yang mengikuti-buta paradaban Eurocentric.
Langkah memposisikan Asitektur Nusantara pada titik perimbangan seperti yang dimaksudkan,
[1] bisa dimulai dari yang paling kasat-mata seperti ciri morfo-loginya (sosok-siluetnya, bahan, atau sekedar kenangan dari unsur bangunannya),
[2] juga bisa diawali dari konsep-konsep arsitek-tural dan tradisi-tradisi lokalnya,
[3] atau, diwujudkan dari filosofinya; misalnya, nilai kegotong-royongan atau ekologi yang melatar-belakangi eksistensinya. Kegotong-royongan itu bisa saja berupa peran-sosial arsitek pada masyarakat –suatu gejala profesi yang masih langka di Indonesia.
Tentang penyikapan pribadi: sebuah profesi --apapun itu-- pada akhirnya adalah sebuah pernytaan sikap hidup. Mau kemana kita mengarahkan perjalanan hidup kita? Mau menjadi budak kapitalisme global, atau menjadi hamba Allah? Arsitektur, sekedar jalur penghambaan itu.
Semoga bermanfaat
Terimakasih pak Galih, atas penjelasannya.
Jika berkenan, saya ingin melanjutkan pertanyaan saya pak.
1 hal yang cukup signifikan dalam proses perancangan arsitektur adalah client. Bisa jadi arsitek dalam hal ini telah matang konsepnya, sadar dengan program apa yang seharusnya digunakan, dan bagaimana hakekatnya sebuah bangunan berdiri dalam lingkungannya maupun nilai-nilai lainnya. Di sisi lain, client memiliki latar belakangnya sendiri pak. Tidak paham bagaimana 'yang sebaiknya' dalam merancang objek arsitektural. Dengan kata lain, sang arsitek benar-benar harus mampu menjelaskan urgensi tersebut secara cerdik (menurut saya, konsultan terkadang bukan menjadi konsultan pak, tapi tukang desain). Namun, saya pun tidak dapat serta merta menyalahkan hal tersebut pak, karena mereka; mau tidak mau; berkewajiban menafkahi keluarga ataupun pegawainya (ini adalah issue besar bagi para arsitek). Arsitek berada pada posisi yang dilematis dalam menuntun kebudayaan, dan informasi-teknologi-trend-dan semua istilah baju kontemporer saat ini mengguncang hebat bahkan mengganti total nilai-nilai dan identitas, membuat sang arsitek menjadi sangat dilematis (sedikit hiperbola pak). Maka, dalam hal ini, menurut saya, arsitek harus dileburkan pak. Arsitek yang berprofesi adalah arsitek pemimpin, dan client juga bermental 'arsitek'. Mohon maaf pak, agak terkesan utopis, hehehe. Yang sebenarnya ingin saya sampaikan, adalah cikal bakal keilmuan negeri ini memang harus ditinjau ulang pak. Lebih holistik. Lebih bermoral. Lebih visioner. Sehingga arsitek-arsitek yang meneguhkan idealisnya tidak tergerus habis akibat sifat 'mau tidak mau' tadi pak.
Bagaimana menurut pak Galih?
Terimakasih banyak pak.
Prasetyo Condro Gumilar
[Calon] Arsitek
Pertanyaan dari http://arsiteknusantara.blogspot.com/2010/04/tipologi-kebudayaan-arsitektur.htmlsaya pindah ke 4archiculture.org, sekalian menjawabnya, silakan masuk ke http://stage.4archiculture.com/index.php?r=blog/post/view&id=57. Galih
Posting Komentar
Mohon tinggalkan akun valid. Terimakasih kunjungan Anda
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda