25 Desember 2011

Hijrah, 2012

Mohon maaf telah terjadi perubahan besar pada tata letak. Dalam tempo singkat, seluruh konten blog ini akan dipindahkan dan digabungkan ke website Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, yaitu

www.4archiculture.net.

4archiculture adalah website + social media komunitas arsitektur dan desain yang menghimpun informasi bertemakan desain, sains, atau Arsitektur Nusantara apa pun jenis, media, dan sumbernya. Postingan Anda bahkan dapat diperkaitkan secara pribadi, antar-member. 4archiculture adalah  komunitas ide tentang arsitektur dan desain.


Galih W. Pangarsa
galihwpangarsa@gmail.com
Penerbit Rekontekstualisasi Arsitektur Nusantara

8 November 2011

Not only Tradition and its Historical Values, but also Geographical Locality


Galih W. Pangarsa


...loading image...
What is the different between Quebeq and Seoul?



(The video [19MB in swf format] is a part of my keynote speech presentation on SENVAR 12, November 10, Brawijaya University; click your refresh button to replay the video)



n Venice Biennale 2010, Rem Koolhaas, a practising architect and also a professor in Practice of Architecture and Urban Design at the Graduate School of Design at Harvard University USA, categorized his works with OMA. They noted: “OMA and AMO has been obsessed, from the beginning, with the past. Our initial idea for this exhibition was to focus on 26 projects that have not been presented before as a body of work concerned with time and history. In this room, we show the documentary debris of these efforts. But 2010 is the perfect intersection of two tendencies that will have so-far untheorised implications for architecture: the ambition of the global taskforce of ‘preservation’ to rescue larger and larger territories of the planet, and the – corresponding? – global rage to eliminate the evidence of the postwar period of architecture as a social project. In the second room, we show the wrenching simultaneity of preservation and destruction that is destroying any sense of a linear evolution of time.”

Is past tradition and its historical values must constrain the dynamic of today societies? Indeed history is neither linear nor like geological layers. It is easier to comprehend if we pictured it as a constellation or nebulas: one that distances within thousands of light years from uscan be seen at the same time with our moon. Past tradition can also live in peace alongside current lifestyle. The difficulty lies in adjusting or arranging the cultural strategies.

What is certain, in observing sustainability in architecture as the entity of energy, time, and space , there are some notes need to be drawn, as follows:

Architecture is never about single building or dead monument; architecture is a part of built-environment, and also a part of living culture. Thus, architecture is both societally and ecologically dynamic, spatially and temporarily open ending. Unfortunately, too many architecture education studios in Indonesia, and apparently in other places around the world, implicitly teach their student the outlook that architecture is a “work that thoroughly complete”. In people’s lives reality everywhere, a building is never ‘dead’: it always adjusts to the dynamic of life. Few buildings served as a real life texbook; in a way its authenticity is strictly maintained. Are all the student taught to serve that little fraction of needs? Back to Koolhas/OMA’s note, is it inappropriate to place architecture as social project for students (or future architects)? Even the natural environment surrounding an architecture is ever changing and diverse. Each locality is unique. It is not too easy to apply one place experience to another. In the end, shouldn’t architecture put itself on the equilibrium between man and nature? But in today’s reality, Eurocentrism dominates architecture paradigm of most intellectuals all over the world. And then, so dead the architecture body of knowledge...

Indonesian version avaliable; please click "Baca Lanjut" tombol below. Thankyou.

Di Venice Biennale 2010, Rem Koolhaas, praktisi yang juga "Professor in Practice of Architecture and Urban Design" di the Graduate School of Design at Harvard University, USA, mengkategorisasi karyanya bersama OMA. Catatan mereka: “OMA and AMO has been obsessed, from the beginning, with the past. Our initial idea for this exhibition was to focus on 26 projects that have not been presented before as a body of work concerned with time and history. In this room, we show the documentary debris of these efforts. But 2010 is the perfect intersection of two tendencies that will have so-far untheorised implications for architecture: the ambition of the global taskforce of ‘preservation’ to rescue larger and larger territories of the planet, and the – corresponding? – global rage to eliminate the evidence of the postwar period of architecture as a social project. In the second room, we show the wrenching simultaneity of preservation and destruction that is destroying any sense of a linear evolution of time.” Apakah tradisi masa lalu dan nilai-nilai sejarahnya harus membelenggu dinamika masyarakat kini? Apakah arsitektur tak lagi diharapkan sebagai projek sosial? Memang sejarah bukanlah linear atau seperti lapis-lapis geologi. Lebih mendekati jika digambarkan sebagai gugusan bintang atau nebula-nebula: yang berjarak ribuan tahun cahaya dapat dilihat secara bersamaan dengan bulan bumi yang berjarak sangat dekat dari kita. Tradisi masa lalu pun dapat hidup damai berdampingan dengan gaya hidup kini. Yang sulit adalah menyiasati atau mengatur strategi kebudayaannya.

Yang jelas, jika mengamati kesinambung-lanjutan dalam arsitektur dan lingkungan binaan sebagai kesatuan kenyataan ketenagaan, waktu, dan ruang , ada beberapa catatan yang sepantasnya ditarik, sebagai berikut:

Arsitektur bukan bangunan tunggal, atau monumen mati; arsitektur adalah bagian dari lingkungan binaan, dan juga bagian dari budaya yang hidup. Dengan demikian, arsitektur secara sosietal dan ekologis dinamis, dan secara spasio-temporal selalu terbuka (untuk tumbuh-berkembang lanjut). Sayangnya, masih terlalu banyak studio pendidikan arsitektur di Indonesia dan tampaknya, juga hampir merata di belahan bumi lain, yang secara implisit mendidikkan sikap kepada para mahasiswa bahwa arsitektur adalah “sebuah karya yang selesai tuntas”. Pada kenyataan hidup rakyat di hampir seluruh dunia, bangunan tak pernah “mati”: selalu menyesuaikan diri dengan dinamika hidup. Hanya sangat kecil bangunan yang menempati posisi sebagai buku pelajaran nyata. Artinya, keasliannya terjaga ketat. Apakah seluruh mahasiswa dididik untuk melayani sebagian sangat kecil kebutuhan itu? Kembali pada catatan Koolhaas/OMA, tak pantaskah posisi arsitektur sebagai social project bagi mahasiswa (atau calon arsitek?). Alam lingkungan tempat eksistensi arsitektur pun selalau berubah. Sangat majemuk pula. Setiap lokal mempunyai kekhasannya. Tak terlalu mudah menerapkan begitu saja pengalaman suatu lokal pada lokal lain. Akhirnya bukankah arsitektur mesti mengambil posisi pada titik perimbangan –berpihak tak hanya pada manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam-- sebagaimana yg saya tulis di atas? Pada kenyataan sekarang, Eurocentrism menguasai pola pikir berarsitektur hampir seluruh intelektual di dunia. Maka, matilah keilmuan arsitektur…

Label:

13 Oktober 2011

Pendidikan Desain Nusantara:
Mengemas pengalaman pribadi & lokal-komunal, bukan hanya menjejalkan teori, metoda, atau gambar-gambar hasil desain para Eurocentric-Starchitects berlabel "Global"..


Galih W. Pangarsa

...memuat gambar...

...memuat gambar...

Karya arsitek Trong Nghia, Water dan Wind Cafe, 2010, di Binh Duong, Vietnam, yang dikonstruksi tanpa paku sebiji pun; Vietnam pun sebenarnya masih dalam kawasan budaya Nusantara. Pertanyaannya: pekakah arsitek kita pada budaya manusia dan alam Nusantara, kalau sehari-hari ia "disetrika" dengan informasi desain Eurocentric?



esain, ibarat hasil baca sesuatu yang dituliskan kembali. Membaca apa? Sejak dari dalam kandungan, manusia telah belajar. Bahkan --tentu saja bagi yang meyakininya-- sejak dari manusia berada di alam ruh. Manusia adalah homo studens, makhluk yang belajar. Dengan kata lain, makhluk yang berakal. Bagi yang meyakininya, di alam ruh, manusia telah mengenali atau bersaksi terhadap Tuhannya, Allah. Salah satu sifat-Nya, adalah Maha Berilmu. Dengan menyaksikan sifat itu, dalam ruh manusia, tertanamlah benih ilmu dari Sang Pencipta. Di kelak kemudian hari, benih ini wajib ditumbuhkan oleh manusia di dunia. Itulah fungsi utama pendidikan.

Perlu dicatat, bakat-potesi dan jalan hidup atau kodrat tiap-tiap manusia tak sama. Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan benih ilmu yang ditanamkan oleh Sang Pencipta dalam suatu sistem pendidikan yang bersifat massal? Di dunia tempat hidupnya, manusia "membaca" (bahkan sebetulnya diperintahkan membaca: iqraa', bacalah!) dan "menuliskan kembali" hasil baca itu sebagai konsep keilmuan. Demikian pula dalam dunia pendidikan desain. Pertanyaan kedua, bagaimana dunia pendidikan melatihkan membaca fenomena dan sekaligus melatihkan menuliskan kembali hasil-baca fenomena? Di dalam aktifitas desain khususnya pada bidang arsitektur, hanya ada satu jawaban, bahwa peserta pendidikan harus langsung mengalami.

Artinya, ia dapat mencerap fenomena desain yang dihadapinya sekaligus dengan sepasang alat: dengan akal ia memahami, memikirkan, dan mengurai-kuncupkan kenyataan empiris secara intelektual (menginduksi realita yang ditangkapnya secara setapak-demi-setapak menjadi program-program atau programming), dan dengan rasa ia mengerti, merasakan, dan menyimpulkan inti-dasar tata-jalinan fenomena secara spiritual (mendeduksi apa -apa yang ada di balik realita yang ditangkapnya itu "secara tiba-tiba" atau intuitif). Keduanya mesti terpadu. Intuisi harus bisa diterjemahkan secara intelektual dalam konvergensi program; programming harus disertai dengan kepekaan intuisi. Proses desain menuntut: [1] kepekaan alat baca yang terpadu secara intelektual-spiritual, [2] ketepatan cara membaca, [3] keterampilan mentransformasikan apa yang dibaca menjadi desain arsitektur, [4] ketepat-kebijakan untuk mengkomunikasikan karya desain itu pada publik; tanpa kemampuan komunikasi itu, sebuah karya yang sangat baik pun akan gagal diterapkan.

Maka, tak ada pilihan lain kecuali ia harus mengalami fenomena proses desain itu secara langsung. Ini sangat rumit untuk dunia pendidikan arsitektur di Indonesia yang bersifat massal. Bahkan hampir musykil. Belum lagi, sifat dasar media gambar diam atau bergerak (still atau moving image) tak dapat menggantikan REALITA YANG SESUNGGUHNYA. Itulah yang dikatakan oleh John Wooden yang dikutip Sawhney tentang design education: "It is what you learn after you know it all that counts." Pendidikan desain bukanlah menjejalkan teori, metoda, atau gambar hasil desain para starchitects yang Eurocentric...

Sekedar perbandingan pengalaman dalam pendidikan desain, berikut adalah tulisan dari Ravi Sawhney, Chairperson of the IDSA/Business Week Catalyst Case Study Program, mantan head juror of the museum's inaugural California Design Biennial exhibition.

Design Education Can Not be Passively Learned, Nor Painlessly Learned,
Ravi Sawhney, 20 Sep 2011, http://www.core77.com/


"It is what you learn after you know it all that counts."
-John Wooden

Over the past year I've read and participated in discussions about design school and the quality of education students currently receive, and thought it would be valuable to share some of my own experiences and what they've taught. The design program I attended in the '70s was a new start-up, with 30-to-1 student-teacher ratios until my senior year. We quickly learned that our instructors weren't equipped to teach everything we needed to know—quite the opposite. Our program's lead professor, in particular, was really behind the times and set in his ways. Disconnected from industry, he had little appetite for embracing new techniques, approaches and technological innovation.

Out of our collective dilemma, we pushed ourselves into new collaborations and individual inquiry, discovering how our profession was led and changing. The understanding and perspective gained has served us well throughout our careers and taught an important lesson—you can't be taught design in the traditional sense of lectures and labs, but you can learn it! We also learned that our design instructors functioned more like coaches—able to provide direction and strategy, offer the voice of experience and inspiration. However, developing and honing the skill set required a commitment to lifelong learning as an individual process.

As students, you must take every opportunity to enrich and optimize your education through inquiry. Having taught design courses myself, I know your instructors will appreciate you even more as they are introduced to new technologies, approaches, insights and experiences you bring to the classroom through this process...nearly as much as they'll take pride in your career achievements. Perhaps you'll even challenge them and they will have to respond in kind.

Be warned your design education will be difficult, painful and never-ending. That said, the reward of creation, of having your ideas become tangible and commercialized while helping improve life even in small ways is truly amazing. The learning pains are worth the rewards—purpose, energy, continual learning, constant challenge and the ability to help others—businesses, the environment and society. As you ready yourselves to the receptivity of learning once again I wanted to share three final thoughts:

1. Experience and failure teach the truly valuable lessons
2. You're not so special—unless you're solving the problems of others
3. You'll have to earn your perspective and that takes time

You'll learn more and retain more through individual experience if receptive to the lessons. Success is career-defining and lends both confidence and credibility to your future endeavors. However, like in most of life, you'll learn the most when things don't go as planned. Failure teaches you to think more holistically, while success often reinforces practices that worked in this instance, but won't translate to others. ...

[kompletnya, silakan baca di Core77 design magazine & resource]

Label: ,

7 Oktober 2011


Seminar (Re-)kontekstualisasi Arsitektur Nusantara




Salam Nusantara!

Papan, jika yang dirangkai jutaan, bisa membentuk bangunan kokoh. Papan, juga bermakna tempat. PAPAN yang merupakan kependekan dari Paguyuban Peduli Arsitektur Nusantara, adalah lembaga swadaya masyarakat (non-profit). PAPAN diharapkan menjadi bangunan wadah komunikasi tentang arsitektur rakyat di Indonesia, untuk menyongsong fajar peradaban arsitektur yang lebih baik!

PAPAN mengundang Anda membantu tindakan nyata membina arsitektur rakyat khas daerah di seluruh Indonesia.

Apa tindakan pembinaan itu dan mengapa perlu?
Di dalam PAPAN, kita dapat sekedar berbagi album rekaman perjalanan, dokumentasi tematik, hasil penelitian dari paradigma dan metoda apa saja, sampai dengan memfasilitasi upaya identifikasi, riset baru, pelestarian, pengembangan, atau lahirnya karya-karya Artsitektur Nusantara Kontemporer dari generasi kini. Kami percaya, rasa cinta tanah air kita selaku putera negeri, justru tumbuh kuat di hadapan Indonesia yang tampak kian terpuruk. Namun kita tak dapat melangkah sendirian. Apakah Anda pengajar, seniman, budayawan, pewira-usaha, atau perajin, tua atau muda, profesional atau mahasiswa, arsitek atau bukan, tak jadi masalah. Kepedulian terhadap masa depan bangsalah yang lebih penting. Yakinlah, kegotong-royongan adalah inti-dasar kekuatan kita untuk menjadikan Indonesia lebih bermartabat.

PAPAN cenderung berperan sebagai komunitas ide.
PAPAN adalah lembaga swadaya masyarakat murni yang tak berorientasi politik atau bisnis apa pun. PAPAN juga tidak akan mengikat anggotanya dengan kewajiban apa pun, kecuali bertujuan merajut potensi masyarakat dalam program-program identifikasi, pelestarian, dan peningkatan kualitas lingkungan Arsitektur Nusantara, di seluruh Indonesia secara lebih terpadu. Untuk itu PAPAN menerima dengan terbuka andil pandangan, konsep, pemikiran, maupun pendanaan dari pihak mana pun selama bersifat tak mengikat.

Gagasan tentang perlunya PAPAN.
Ide tentang lembaga swadaya ini dicetuskan oleh berbagai tokoh masyarakat, akademisi, pewira-usaha, dan lembaga pemerintah, di kantor BPTPT (Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional) di Denpasar tahun 2010. Selanjutnya, PAPAN akan dideklarasikan pada kesempatan Seminar Internasional SENVAR (Sustainable Environment and Architecture), di Universitas Brawijaya (UB) pada tanggal 10 Nopember 2011. Sementara, Ketua Tim Formatur adalah Ir. Iwan Suprijanto, MT (BPTPT Denpasar); Ketua Dewan Penasehat adalah Dr. Galih W. Pangarsa (UB).

Kami mohon doa restu dan menanti Anda bergabung... juga, ikut menyebarluaskan undangan ini. Terimakasih.


Ayo, bergabung di PAPAN!
(klik untuk melihat form)



Catatan:

Catatan: Pada awal hari ke-5 setelah di-"on-line"-kan sejak 7 Oktober 2011, 19:00, teman-teman yang mengisi form pendaftaran PAPAN, berjumlah lebih dari 150 orang. Yang peneliti baru 8% (ayo rekan peneliti, segera gabung...). Dari kalangan arsitek, ada Pak Eko Prawoto, Pak Endy Subijono ("Presiden" Ikatan Arsitek Indonesia/IAI nasional) yang senior, Mas Yu Sing dan "arsitek pemeduli kampung" lain dari Surabaya Mas MADcahyo, dan lain-lain. Teman-teman kita tersebar dari Tegal sampai New York (Prof. Ryadi Adityavarman); dari mahasiswa di Medan sampai di Busan (Korea) dan Den Haag. Dari yang menyebut dirinya "rakyat", sampai penerbit buku arsitektur dan komik (Pak Juliastono, bos PT Wastu Lanas Grafika, yang menyebut dirinya "penggembira arsitektur", hahaha...); dari guru sampai kontraktor. Dari latarbelakang pendidikan, banyak yang berstatus mahasiswa S1 (ayo rek, generasi muda, andil kalian kami tunggu...). Ada juga yang S2, S3, dan doktor. Ada yang pengajar muda, ada pula gurubesar (Prof. Josef Prijotomo, Prof. Antariksa, dan lain-lain); itu juga berarti dari yang belia di bawah 25 tahun, sampai yang tetap muda-semangat di usia 56 tahun ke atas. Semua dipersatukan oleh kepedulian pada Nusantara. Ayo, Anda kami tunggu untuk bergabung di PAPAN!


Label:

28 September 2011

Beberapa Komparasi Diagramming


...memuat gambar...

iagramming, pendiagraman, atau penyusunan diagram dalam proses desain arsitektur seringkali banyak membantu penyimpulan pengamatan, penyusunan konsep, dan pengambilan keputusan desain. Banyak buku untuk itu, rata-rata tebal dan tak jarang, membuat pening mahasiswa. Nah, ada website Parti Diagram yang berinisiatif menampung posting rekaman proses tersebut secara ringkas dan sederhana dari berbagai sumber yang rata-rata pernah dimuat di website tentang arsitektur dan desain, seperti Dezeen, Archdaily, dan sebagainya. Parti Diagram aktif sejak sejak Oktober 2009. Upload terakhir adalah Jui 2011. Cukup menarik. Dari web itu, ada berbagai link, seperti ke To Scale, Axo (method of representing three-dimensional object in two-dimensional drawing), dan lain-lain di grup tumblr.com.

Akhirnya perlu kita sadari bahwa kesemuanya hanyalah pernik-pernik metoda. Bagi yang bermaksud mengembangkan Arsitektur Nusantara Kontemporer, bahan dan sumber kajian yang sesungguhnya tetap ada di bumi Nusantara. Semoga Bermanfaat. --Admin
.

Label:

26 September 2011

Nusantara: Semangat Kegotongroyongan


...dropcap B...arangkali makin dilupakan publik Indonesia, bahwa seorang aktifis pendidikan, apalagi guru besar, bukanlah penduduk meja administratif. Tapi manusia merdeka yang selayaknya hidup di antara rakyat. Bukan saja untuk memahami, mengerti, dan kemudian membantu memecahkan masalah aktual mereka, tapi bersenyawa dengan mereka, ikut andil meningkatkan kehidupan dan martabat rakyat. Guru Besar Arsitektur ITS Prof. Josef Priyotomo baru saja pulang dari Waerebo, September 2011. Berikut ini adalah sebahagian dari oleh-oleh Prof. Josef Prijotomo dari Waerebo, September 2011 kepada kita. Suwun cak.

...Prof Jospri ITS...

Bahwa Nusantara adalah kepulauan, hanya sedikit yang melupakannya. Tetapi bahwa Nusantara adalah kepulauan jiwa kegotongroyongan, bisa jadi makin banyak yang tak memahaminya. Namun di jaman yang semakin individualistik seperti sekarang, masih dapat disaksikan kegotongroyongan rakyat suatu desa di Waerebo, Flores. September 2011 menjadi saksi semangat berkehidupan bersama yang tinggi, senasib sepenanggungan, sesakit sependeritaan, warga desa itu menyatukan seluruh potensi yang ada, untuk membina lingkungan. Membina lingkungan? Itu pasti tak cukup hanya membangun rumah, tetapi terlebih dahulu harus melandasinya dengan melestarikan bangunan kepedulian sosial atau berkehidupan bersama. Artinya, saling memberi berasas kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan seru sekalian alam: Allah. Bukan saling meminta. Apalagi saling berebut posisi sebagai superstar, atau strachitect.


...http://arsiteknsantara.blogspot.com. Waerebo Josef Prijotomo...

...http://arsiteknsantara.blogspot.com. Waerebo Josef Prijotomo...

Untuk melihat slideshow silakan klik tombol "Baca Lanjut" di bawah.



All photography courtesy of Wilhelmus Rupun. Untuk koneksi standart diperlukan waktu donlot selama 20-23 detik --Admin.

Label: ,

22 September 2011

Komposisi Spasio-Audio-Visual

da eksperimen cukup bagus yang menunjukkan bahwa ruang, terbentuk oleh suara, sekaligus pembatas spasio-visual. Nusantara sangat kaya dengan fenomena sejenis. Ada angklung, kolintang, dan sebagainya. Anda berminat menjadikannya ide dasar instalasi ruang? Bisa jadi, lebih keren dari pada karya Zimoun + Hannes Zweifel di bawah, yang dikomentari Jury Prix Ars Electronica 2010 (one of the most important yearly prizes in the field of electronic and interactive art, computer animation, digital culture and music. It has been awarded since 1987 by Ars Electronica [Linz, Austria], one of the world's major centers for art and technology--Wiki) sbb:

«The clean, elegant sound sculptures combine visual, sonic, and spatial elements in an organically balanced entirely artwork. Using simple and well- conceived mechanical systems, Zimouns‘s work transforms and activates the space.»


Zimoun + Hannes Zweifel : 200 prepared dc-motors, 2000 cardboard elements 70x70cm, 2011 from ZIMOUN on Vimeo.

Label: