8 Januari 2010

Mbah Surip, Rendra, dan Gus Dur:
Pelajaran untuk Arsitektur

Galih W. Pangarsa, Universitas Brawijaya


Apa hubungan Gus Dur dengan arsitektur? Hampir tidak ada. Begitu pula dengan WS Rendra dan Mbah Surip. Nilai-nilai di balik perbuatan mereka itulah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Apa itu? Jujur terhadap ukuran-kodrat diri. Dengan kejujuran itu, manusia meraih kemerdekaan menumbuh-kembangkan bakat budaya pribadi, lokalitas atau daerah, dan bangsanya. Pribadi merdeka justru sangat kokoh menghargai hak pihak lain. Itulah dasar menjaga kesatuan bangsa. Bagaimana transformasi filosofi itu dalam arsitektur? Video di atas adalah visualisasi dari sebagian isi e-book di bawah:




E-book di atas mencapai 60.510 unique page viewers dan 8.834 readers (membaca seluruh halaman) pada 6/8/2011, terhitung sejak diterbitkan 5 Januari 2010 lewat YouPublish. Sedangkan versi Video pendeknya pada 6/8/2011 telah mencapai 12,805 viewers di Youtube sejak diunggah pada 29/12/2009.

Diawali dengan merenungkan hikmah pelajaran kehidupan tiga seniman budayawan Indonesia yang wafat tahun 2009, yaitu Mbah Surip, Rendra dan Gus Dur, e-book ini mengajak Anda untuk mengamati secara umum perkembangan masjid di Indonesia. Bagaimana tipologi yang dapat kita buat? Haruskah masjid "berwajah Arab" atau lebih menadasar lagi, Arabkah Islam? Jika bukan, lalu bagaimana simbol kebersamaan-kesatuan muslim mondial atau global? Bagaimana tipologi masjid di Indonesia kini? Bagaimana pada akhirnya tulisan tentang perkembangan arsitektur masjid itu menyimpulkan bahwa substansi perkembangan tersebut adalah sebuah materialisme?


da dua tokoh seniman yang wafat tahun 2009. Mbah Surip dan WS Rendra. Publik Indonesia terutama mengenang WS Rendra sebagai empu teater. Tetapi tampaknya, lebih sedikit yang melihatnya sebagai manusia perindu dan pecinta kemerdekaan bagi kesejatian manusia. Ia terkesan hendak membongkar jeruji penjara jamannya. Puisi dan teaternya adalah pamlet demonstran di hadapan penguasa.
Publik tak perlu mengusut arti yang dalam dari lagu Mbah Surip. Yang dilihat publik adalah pribadinya. Meski begitu, agak jarang yang melihat figur Mbah Surip sebagai sosok yang mewujudkan kesahajaan hidup. Sahaja artinya mampu menahan diri. Atau dengan perasaan suka-rela tampil sederhana meski dapat hidup lebih dari itu. Fitrah manusia sebetulnya bersikap bersahaja —dan karena itulah, menurut saya, si mbah demikian populer

Tokoh lain yang wafat tepat di penghujung tahun 2009 ialah Gus Dur. Apa hubungan Gus Dur dengan arsitektur? Hampir tidak ada. Kecuali dua hal: rasa kemanusiaan yang sangat tinggi dan rasa kesatuan terhadap kehidupan bangsa negeri ini.

Pelajaran dari Mbah Surip dan Rendra bertutut-turut adalah tentang kejujuran dan kemerdekaan. Jika manusia jujur, dia pasti menumbuh-kembangkan kodrat dirinya. Kodrat tiap manusia adalah menghargai pihak lain. Begitu pula suatu bangsa. Nusantara seyogyanya menumbuh-kembangkan kodrat masyarakat dan alamnya menjadi budaya khasnya --bukan meniru-pakai ukuran bangsa lain. Tentu saja di dalam penumbuh-kembangan budaya itu harus termuat nilai-nilai universal.

Kedua, pelajaran dari Gus Dur. Terutama, tentang pembelaannya pada rasa kemanusiaan dan keberaniannya menanggung resiko dalam mewujudkan keberpihakan itu. Juga, bagaimana ia secara ajeg menjaga kesatuan republik ini. NKRI harga mati. Lalu, bagaimana menerapkan pelajaran itu untuk kehidupan ber-arsitektur? Saya pikir, untuk arsitektur di Indonesia, hal-hal yang menjadi pertanyaan mendasar antara lain adalah sebagai berikut.

Betulkah pandangan, konsep dan praksis keilmuan arsitektur yang kita bangun telah memihak pada inti dasar kemanusiaan, yaitu menghargai pihak lain?

Bagaimana melestarikan nilai-nilai lokal yang sangat majemuk di Nusantara dan sekaligus mengambil nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung pada setiap lokal?

Bagaimana mewujudkan keduanya dalam satu kesatuan-pandang kebudayaan bangsa? Jika memang sudah mati, apakah Arsitektur Nusantara mesti diperlakukan seperti jenazah yang tak dapat bangkit kembali dan hanya bisa ditangisi? Apakah nilai-nilai luhur di dalamnya tak dapat diperjuangkan agar bangkit kembali?

Jawabannya ada pada perbuatan nyata kita.

Pelajaran lain dari Bumi Depok

Selain menerima kembalinya jasad Rendra dan Mbah Surip, Bumi Depok juga bisa dianggap penting bagi dunia arsitektur. Depok menjadi saksi tempat berdiri-kokohnya Masjid Dian Al Mahri, di Kecamatan Limo, yang terkenal dengan sebutan “Masjid Kubah Emas”.

Masjid ini tiba-tiba menjadi populer segera setelah dibuka untuk umum pada akhir 2006. Setelah tujuh tahun masa konstruksi dan sebagian besar fasilitasnya selesai, masjid yang dapat menampung 20 ribu jama’ah itu juga memanen sejumlah pro-kontra pandangan:

Ada yang terkagum-kagum dengan kemegahannya sebagaimana maksud pembuatnya, bahwa “…keindahan dan kemegahan yang dihadirkan dalam masjid ini ditujukan semata untuk menunjukkan kebesaran Allah swt dan sebagai wujud kebanggaan sebagai orang muslim” (http://www.dmi.or.id/ MasjidKubahEmas/tabid/ 110/language/id-ID/Default.aspx).

Tetapi ada pula yang sedikit banyak menyayangkan “ke-super-mewah-an” masjid yang kubah utamanya —berdiameter 16 meter dan tinggi 20 meter— berlapis emas murni 24 karat setebal 1 milimeter itu. “Lebih baik uangnya dipakai untuk membuat panti asuhan, atau membantu kaum miskin”, kata sebagian dari mereka.

Akhirnya pro-kontra terhadap bentuk arsitekturnya pun muncul meskipun hanya terjadi di kalangan arsitek: mengapa mesti mengambil-kembangkan tipologi India-Moghul dan bukan Nusantara?

Tampaklah bahwa hal yang paling sulit dalam merancang arsitektur —terutama bangunan pribadatan termasuk masjid adalah mengetahui muatan nilai-nilai kesemestaan (universal) dan kesetempatan (lokalnya).

Pertanyaan mendasar muncul. Apakah Islam harus selalu berarti Arab? Jika bukan, lalu apakah nilai-nilai universal Islam? Perlukah dan jika perlu lalu apa “simbol identitas bersama” masyarakat muslim dunia? Bagaimana karakter peradaban lokal muslim yang Nusantara? Bagaimana kaum arsitek dapat menyadari keikut-sertaan masyarakat dalam membentuk perkembangan arsitektur? Setelah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin kita dapat memutuskan dengan lebih bijak, struktur dan sistem yang dapat membangun keterpaduan nilai-nilai kesemestaan Islam dan kesetempatan muslim Nusantara.

Kesimpulan

Kesatu, bahwa manusia tak dapat meninggalkan sifat inti-dasar jiwanya yang serba bebas. Bebas bukan dalam arti bebas-liar yang hanya akan menghasilkan kebebasan menindas pihak yang lebih lemah. Tetapi kebebasan yang terpagari kesuka-relaan untuk mengekang diri sendiri, demi hak-hak hidup pihak lain —termasuk alam.

Kedua, dengan kebebasan yang disertai kesuka-relaan mengekang diri itu, muncul kesahajaan. Paling tidak, kesahajaan memberi kesempatan pihak yang lebih lemah untuk tetap hidup.

Ketiga, keputusan dalam perancangan arsitektur memerlukan kebijakan kultural, karena setiap manusia dan masyarakatnya pasti memerlukan pembaharuan simbol identitas yang memuat nilai-nilai kesemestaan dan kesetempatan.

Keempat, ialah bahwa pengertian open ending bukan hanya untuk sebuah bangunan karya seorang atau sekelompok arsitek saja. Tetapi juga untuk sebuah tipologi arsitektur yang dibentuk masyarakat secara bersama. Pembentukan itu terjadi secara spasial dan temporal —bekesinambungan dari suatu ruang ke ruang yang lain dan berkelanjutan antargenerasi. Sudah saatnya menyadari arsitektur bukan hanya individualisme.

Tetapi juga komunalisme, yaitu kebersamaan. Untuk itu kita perlu jujur terhadap kodrat diri, masyarakat, dan alam hunian kita. Dengan kejujuran itu, kita menjadi merdeka pula untuk menumbuh-kembangkan bakat budaya tiap pribadi, lokalitas atau daerah, dan bangsa, karena tiap pribadi merdeka justru sangat kokoh menghargai hak pihak lain . Itulah dasar menjaga kesatuan bangsa.

Selamat jalan Mbah Surip, Rendra, dan Gus Dur! Innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun!

Label: ,