Rumah Panjang:
Kebijakan Para Pelestari Hutan
Galih W. Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, pp 90-95
Suku Dayak diduga termasuk bangsa proto-malayan yang terdesak ke pedalaman karena datangnya kelompok migran baru di awal abad masehi. Secara ragawi, ada yang membagi suku ini menjadi dua bagian yaitu: yang mereka berdiam di sepanjang Sungai Kapuas, dan suku-suku Dayak Kayan, Kahayan & Katingan.
ecara geografis Suku Dayak terkelompok menjadi beberapa sub-suku sebagai berikut: Murut, Iban (Dayak Laut), Klemantan (Dayak Darat), Punan, Apu Kayan, Ot Danum dan Ngaju. Dayak Ngaju yang tersebar di wilayah sebelah Barat Sungai Barito hingga Sungai Seruyan, merupakan setengah dari populasi Propinsi Kalimantan Tengah, dengan puluhan anak suku berbeda dialek. Keluasan ruang budaya orang Ngaju kurang lebih sama dengan kelompok besar yang lain, kecuali Dayak Punan. Di samping yang mayoritas seperti Dayak Ngaju, ada pula kelompok-kelompok minoritas yang tersebar di seluruh pedalaman Kalimantan, misalnya anak suku Dayak Pompagng yang hanya berjumlah sekitar sepersembilan dari penduduk Kabupaten Kapuas di Kalimantan Barat. Di situ, tinggal pula orang Dayak Ote, minoritas lain yang terkenal kecakapan menyumpitnya. Minoritas semacam Dayak Ote masih terbagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil seperti Siau, Penyaung dan lain-lain.
Keragaman keadaan geografis ruang hunian mereka, dari pedalaman hutan rimba ke dekat pantai, membentuk keragaman karakter sosial budaya pula. Kelompok yang tinggal di dekat pantai umumnya jauh lebih terbuka, sebagaimana Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Kepekaan & Kebijakan Mengelola Hutan Hunian
Logika moderen tampaknya mustahil memahami kebijakan orang Dayak terhadap alam lingkungannya. Leluhur mereka mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap hutan alam hunian nan luas. Dengan luasnya wilayah sepanjang ratusan kilometer tepi sungai di seantero Kalimantan dan keragaman budaya masing-masing sub-kultur, umumnya ada tiga pola perkembangan budaya: Sebelah hilir yang banyak menerima pengaruh luar, bagian tengah yang telah menerima sebagian menerima pengaruh luar serta bagian hilir-pedalaman yang lebih konservatif karena sulit dijangkau: berhutan lebat yang makin sukar dilalui ketika sungai dan riam berubah menjadi kering pada musim kemarau.Demikianlah wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan wilayah yang mendekati pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan dunia luar. Apapun bentuk hubungan sosial itu, mereka mempunyai kebijakan pelestarian hutannya sendiri. Pada masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Kapuas, Kalimantan Barat misalnya, hutan dibagi-bagi dalam kelompok pengelolaan sebagi berikut:
- hutan rima, rimba perawan yang belum pernah ditebang;
- jamih muntuk, belum pernah dijadikan ladang;
- jamih mongi, hutan yang sudah pernah dijadikan ladang dan padang ilalang yang merupakan daerah yang tak boleh ditanami lagi.
Setiap tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan kelompok di daerah perladangan untuk 4 sampai 6 bulan sampai panen selesai. Begitulah cara pemanfaatan hutan dengan berladang berpindah-pindah: membuka sebagian sangat kecil hutan di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk mendapatkan abu sebagai pupuk. Jika kesuburan telah menurun, mereka berganti lahan untuk membiarkan yang lama mengalami proses pemulihan alami. Jika tak berladang di hutan seperti itu, orang Ribun bertanam padi di tanah paya (tanah becek, berlumpur). Hampir setiap keluarga Ribun mempunyai ladang dan tanah paya di tepi hutan.
Tradisi Dayak Ribun itu hanya contoh dari kebijakan pengelolaan hutan masyarakat Dayak, yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap huniannya. Jika tidak, tentu sejak lama sebelum hutan digunduli industri kayu yang dimulai pada tahun 1970-an, rimba Kalimantan telah habis. Konsep “ekonomi tebang pilih” atau bahkan konsep “local wisdom” yang sudah menyadari bahwa “hak berilmu” bukan monopoli tradisi scholastic manusia kampus dan birokrat, belum tentu dapat menjelaskan, dengan cara bagaimana ketajaman intuisi pewaris rimba itu ”membaca” dan kemudian mengambil keputusan dalam mengelola ruang hunian mereka. Sayangnya, ketidak-pahaman bisa berubah menjadi tudingan kontroversi, bahwa penyebab kerusakan hutan Kalimantan adalah tradisi mengelola hutan rakyat Dayak.
Rumah panjang, rumah kebersamaan: betang, luu’, ompuk domuk...
Sebagaimana di daerah lain di pedalaman, perkampungan Dayak Ngaju dibangun linier dari muara ke hulu. Umumnya di dalam kampung hanya terdapat sebuah jalan. Di belakang deretan rumah di kedua tepinya biasanya ditanam pohon buah dan karet. Di belakangnya, terdapat ladang meski tak jarang, ladang dibuat di tempat yang jauh dari kampung yang mesti dicapai berperahu. Di daerah muara sungai, mata pencaharian penduduk adalah berkebun atau bersawah; daerah persawahan terdapat langsung di belakang kampung. Di samping itu, ada pola perkampungan di daerah terpencil dataran tinggi yang jauh dari sungai. Pola perumahannya tetap sama yaitu memanjang dengan kebun atau ladang dibelakangnya.
Betang
Betang adalah bahasa Ngaju untuk ”rumah panjang”, ompuk dompuk adalah bahasa Ribun, sedangkan dalam bahasa Tunjung adalah luu’ ―berbeda dengan bahasa Dayak umumnya di Kalimantan Timur, yaitu lamin. Sementara itu orang Kenyah menyebutnya dengan uma dadoq (Tjahjono dlm Tjahjono, 2002: 32). Dahulu, betang adalah satu-satunya tempat tinggal bagi Suku Dayak Ngaju. Betang-betang besar yang pernah dibangun antara lain di Pangun Serawai, Tumbang Samba, Saing Sondang, Kampung Swakong dan Tabalong. Sebuah betang mempunyai tinggi sekitar 2,5 sampai 3 meter, demi keamanan bersama dari binatang buas dan musuh. Selain itu, untuk mendapatkan kolong panggung yang cukup lega untuk mengolah hasil pertanian.
Satu betang biasanya terdiri atas betang huma (bagian utama) sebagai tempat tidur; los tempat tamu dan ruang bersama, dapur yang terpisah serta karayan, penghubung antara bangunan utama dengan dapur. Ruangan tempat tidur dibuat berjejer, menghadap ke los. Luas kamar tidak tergantung kebutuhan, tetapi harus sama luasnya. Seluruh penghuni betang, mempunyai satu dapur, yang digunakan bergantian dengan rasa kebersamaan. Selain betang, beberapa jenis bangunan dalam tradisi Dayak Ngaju adalahh huma gantung. Huma artinya rumah, sedangkan gantung artinya tinggi. Huma gantung tidak terlalu besar seperti betang, tetapi tiangnya lebih tinggi. Ada sisa-sisa huma gantung dalam keadaan rusak dan tidak terawat lagi, seperti di Desa Buntoi. Rumah tipe huma gantung ini sudah punah.
Pasah dukuh
Itu adalah tempat tinggal sementara di ladang yang jauh dari kampung, yang dibuat dengan bahan kayu yang sederhana. Tingkap dibangun untuk keperluan temporer, misalnya mencari ikan, mengusahakan hasil hutan seperti: mancari kayu ulin, damar, rotan dan lain-lain.
Sanggarahan adalah tempat musyawarah, baik musyawarah adat, rapat-rapat, maupun sidang pengadilan adat. Oleh karena itu di ruangan besar itu tersedia tempat duduk yang disebut katil dan meja. Lepau ialah tempat khusus menyimpan gabah. Biasanya letaknya di belakang rumah, ukurannya kecil. Setiap tiang dipasangi penangkal tikus berupa piring kayu (jelapang).
Pasah lisung artinya tempat lesung atau menyimpan lesung dan kaum ibu bekerja bantu-membantu. Pasah patahu adalah salah satu rumah pemujaan. Patahu adalah binatang keramat yang bisa menjaga kampung beserta penghuninya. Pasah raung adalah tabala peti jenazah. Jaman dulu di perdesaan yang terpencil, lebih banyak menggunakan cara pemakaman gantung, untuk menghindari air rawa. Bangunan Dayak Ngaju yang mencerminkan kehidupan bersama di atas, umumnya dijumpai pula pada sub-kultur lain, dengan varian-varian ruang, struktur dan nama. Kini rumah masyarakat Dayak pada umumnya sudah berbentuk rumah tunggal, meski rumah panjang belum hilang dari panorama pedalaman Kalimantan.
Nyahu Rumah Panjang: Kewaspadaan atas Isyarat Alam
Begitu pula, pandangan hidup yang terkait dengan rumah panjang dengan segala tradisinya, belum hilang dari pandangan hidup masyarakat Dayak pedalaman. Misalnya, sebelum menempati rumah adat yang baru selesai, Suku Dayak Tunjung menyelenggarkan upacara adat yang disebut pakatn nyahu luu. Nyahu (firasat, isyarat atau pemberi firasat) ini bisa terwujud dalam suara beberapa burung tertentu, binatang-binatang, cuaca dan keadaan alam yang di anggap mempunyai hubungan dengan nasib manusia. Suku Dayak Tunjung mengadakan upacara pakatn nyahu rumah adat, menjelang mereka menempati rumah tersebut. Di muka rumah didirikan sebuah bangunan yang disebut dapeq nyahu (rumah pemberi firasat ). Di dalam bangunan inilah diletakakn saji-sajian yang dipersembahkan kepada nyahu. Dukun masing-masing nyahu mengucapkan mantera-mantera. Selain lemang, ayam panggang dan kue terdapat juga beberapa buah patung dari kayu dan dari tepung beras. Dengan adanya patung-patung ini dimaksudkan agar segala bencana dan kesusahan seperti yang telah difirasatkan akan cukup menimpa patung-patung itu dan tidak perlu menimpa manusia lagi.
Nyahu bisa memberi tanda-tanda yang bersifat baik atau bencana agar manusia berhati-hati. Dalam tradisi Dayak Tunjung, seseorang selalu merasa perlu mendapat firasat untuk membuka ladang, mendirikan rumah, dan lain-lain. Untuk menghindari terjadinya firasat-firasat buruk mejadi kenyataan, maka diadakan upacara pakatn nyahu, yang berujuan untuk memohon agar kesusahan tidak terjadi. Apapun, nyahu Dayak Tunjung ―hanya merupakan contoh kecil dari di ranah budaya Dayak― seperti pesan, bahwa manusia mesti waspada terhadap tanda-tanda alam. Bagi mereka, hutan rimba adalah gelaran tanda, simbol, isyarat, fenomena, pemberi firasat yang mesti dicermati. Dengan kewaspadaan itu, ratusan tahun-tahun kelestarian hutan ruang hunian telah mereka lalui. Ketika zaman mulai berubah, muncul pertanyaan: apakah kewaspadaan itu sendiri berhasil dilestarikan?
Sejak dua belas tahun terakhir ini, seperti pada banyak kasus, masyarakat Dayak Tunjung sudah menempati rumah tunggal dengan bentuk dan bahan seperti layaknya masyarakat kota. Begitu pula ruang dalamnya, dibangun dengan ruang tamu, kamar tidur dan dapur yang dibatasi dengan dinding. Tangga masuk ke dalam rumah sudah tidak dibuat dari sepotong batang kayu lagi. Apakah yang mesti diwaspadai dengan perubahan-perubahan itu? Paling tidak, agar nuansa hidup dalam kebersamaan tak ikut lenyap seiring dengan punahnya betang, luu’, ompuk domuk, uma dado atau lamin, meskipun keyakinan agama baru menggantikan yang lama dan memberi pengaruh besar.
Justru keyakinan agama baru bagi masyarakat Dayak (Kristen, Katolik, Islam), mestinya dapat mentransformasikan nilai-nilai luhur kebersamaan mereka, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dengan sistem nilai yang dibawa oleh keyakinan masing-masing. Hal ini menjadi penting, karena banyak penduduk pedalaman meninggalkan adat kebiasaan yang menurut keyakinan baru, tak diizinkan. Agama baru menjadi keyakinan baru sebagaimana kehidupan ekonomi pun menjadi pola fikir baru. Itu yang ditunjukkan oleh kasus di awal tahun 1970-an. Suku-suku pedalaman pada saat musim kemarau panjang saat itu mengalami kekurangan pangan, sehingga banyak benda-benda kuno terpaksa harus mereka jual untuk dibelikan bahan pangan guna keperluan kelanjutan hidup. Sebetulnya, itu hal yang tak perlu terjadi jika ada rasa senasib sepenanggungan antar-masyarakat di Kalimantan, dan secara lebih luas: Indonesia. Kebersamaanlah ―apa pun namanya, gotong-royong, partisipasi, atau karitas sosial― yang perlu dilestarikan nilai-nilainya.
(Kompilator: Nurul Mafi’ah, Renina Aplikawati, Yunita Rosarid; Dwi Wicaksana, Indah F., Nikie Nurina; Rina Dini Purwati, Emil Puspa, Ika Nova; Editor: Galih W. Pangarsa).
Label: Jelajah Lokalitas
pa sebenarnya Arsitektur Nusantara? Tampaknya globalisasi secara tidak langsung menjadikan penyatuan kata ”arsitektur” (yang berkonotasi suatu pola pikir, kesepakatan yang mengglobal tentang seni bangunan) dan kata ”Nusantara” (berkonotasi suatu lokalitas geografis) menjadi agak asing. Seolah-olah ada dua kutub yang dialektik. Tetapi sesungguhnya ada yang lebih penting di balik silang-sengkarut argumentasi yang substansinya hanyalah mencari (untuk sekedar mengetahui) arah perkembangan arsitektur pada sumbu ruang-waktu; secara geografis maupun historis. 
Arsitek-arkeolog bersepakat bahwa ciri arsitektur rumah megalitikum Dongson dari abad II SM dengan awalan dan akhiran atap yang berjuntai sebagai pensetimbang (“counter weight”) untuk mengurangi momen lapangan dari nok di sepanjang balok bubungan pada arah memanjang bangunan, masih dapat ditemukan pada Jawa Tengah abad VIII seperti yang direliefkan sebagai lumbung pada Candi Borobudur, bahkan atap lumbung adat masyarakat Gayo Alas beranang, tongkonan Toraja atau rumah lontik Riau awal tahun 1970-an. Tambahan pula, meski ada perbedaan-perbedaan tektonik, secara antropo-linguistik terkadang elemen atap itu mempunyai kesamaan nilai makna. Yaitu, agar penghuni rumah memperoleh kehidupan mulia. Di “daerah karakter tektonik” yang sama-sama menempati suatu wilayah bahari nan luas itu, rumah —bagi manusia yang hidup, arwah yang mati atau bahkan para dewa— tampaknya dimengerti sebagai wadah berisi kandungan dan tempat meraih suatu puncak kehidupan mulia.
n fact, development of urban scientific phenomena in Indonesia --as in others parts of the world-- not only that it has its own spatio-temporal scales and substantive social processes, but also has its own geographical natural-elementary settings. Unfortunately, discourses let alone an effort of formulating conceptually what is a “city” in Indonesia are rare. In spite of lack of fundamental studies, it should note two important points. Indonesia has naturally, societally and historically structured from Southeast Asian region been called Nusantara since 14th century.
Nusantara is not a political territory of modern Indonesia; it would be a Southeast Asian cultural space spread out between Formosa Island in North to Alor Isles in South, between Aceh in West and Papua Island in East, including coastal regions of Southeast Asia: Space of very high cultural plurality in sense of geo-historically, its system of beliefs, and society. The Nusantara Archipelago is essentially different from another Asian continental countries and archipelagoes with four seasons such as Japan. And also, Southeast Asian wide-ranging area have played a role as a “bridge” and “glue”, between India and Arab to China during the spreads of Buddhism, Hinduism and Islam.
As has been shown through many works of scholars, “traditional” or “conventional” point of view on Nusantara is a linguo-anthropological or a historical, in which Nusantara is considered as a part of Austronesia. Is there a new approach? In field of planning, actions of European and North-American postmodernists trying to see beyond and to connect their “spatial” approaches to other fields (including local system of beliefs), begins to reach Indonesia. However, a holistic view of Nusantara seems to be far away yet. Nevertheless, some prominent characters of Nusantara could be presented.
The main point is how to find out the boundary marks between inhabited and non-inhabited territory. The proposed concept is that the boundary should be defined not only by physical elements but also by or bio-cosmic energy as well. In conventional scientific point of view, it is usually regarded as spatio-anthropological paradigms with myths, legends, or traditions of beliefs. In the primitive age or even today, traditional rituals held in villages usually intended to bring a safety and secure life in certain villages’ territory (e.g. ritual of sêlamêtan, bersih desa, ruwatan, etc in Javanese villages). In traditional villages, the territory is often indicated by planted trees or bushes as “a fort”. So that in intention to conserve man-environment interrelation described above, vegetation use of spatial territorializing would be most reasonable method to be replicated when they make vast clustered dwellings. In Javanese old tradition, a forestry region is often regarded as a non-human dwellings space or non-occupied space.
bserving its moderate climate, thriving and prosperous lands with abundant resources, it would be not too exorbitant to say that initially -as a host for peoples living in its environment- the nature of Nusantara is a space with extraordinary hospitality. The nature of Nusantara contributes special characters to its people, which is well known as “friendly to visitors, having perceptive way of thinking”, etc.
At a glance, it looks like a “given” character of the people. But people could not present real hospitality without a grateful attitude to whom or to which he believe and considered as the “Supreme Substance”, giving prosperity and saving his life. Having its own system of beliefs, each social group manifests its attitude in traditions that exist in diversity. But it seems that a common view and attitude is conserving nature. Hence, the hospitality of natural environment around them is reciprocated by the same attitude; people cultivate or take advantage of, but not to force the nature to fulfilling their greed.
For many centuries, Southeast Asia regions including Nusantara became subjugated territory of the Northern countries (Western Europeans and Northern Americans). Executed in politico-military or physical methods, the first period --say before Second World War-- exploited explored natural resources: minerals, agricultural products, etc. The later period --especially in last four decades-- is the pretense of scientific methods. Undoubtedly, the aim of the second period has been to create markets for advanced technologies of the North, such as in genetics, informatics, robotics, nano-techs, etc. By spreading scientific information, values of truth, good, or beauty is “patterned”. A mislead in interpreting the slogans as “Information-Age”, “Globalization”, “Internationalization”, “Cosmopolitanism” and other names, would trap into the invisible loop hole, that is a scientific-politic-economical dependence to the Northern countries. The tall stacks of debts of Indonesia are undeniable reality. The winners of the game of power are the Northern countries. The disciplines of architecture and planning play a very little part of this big game. A symbolism is required in politics of culture, not only as a simple way to built mental attitude but also to create an applicable proper (read: peaceful) scientific perspective.