Sebuah catatan pinggir
anusia makhluk berakal. Dengan akal itu, ia memelihara kemuliaannya. Salah satu cirinya: "membaca simbol dan menuliskan kembali hasil bacanya". Di samping seluruh anasir alam yang telah ada sebelum kehadiran manusia dan komunitasnya, arsitektur dan lingkungan binaan yang dibuatnya merupakan sistem simbol. "Membaca simbol" adalah cara memahami seluruh realita itu, sedangkan "menuliskan kembali hasil baca" adalah bagaimana ia menerapkan pemahamannya untuk membina lingkungan huniannya. Makna-makna yang diberikan oleh masyarakat manusia terhadap lingkungan alam dan lingkungan binaaannya pun semestinya selalu dinamik, untuk mengarahkan dan menanggapi suatu perubahan. Makna-makna itu terkerangka menjadi sebuah sistem nilai.
Karenanya, memaknai simbol selalu mempunyai dua sumbu tujuan esensial. Pertama, merumuskan nilai kesetempatan. Nilai ini mengarahkan perilaku manusia untuk mencapai titik perimbangan antara berbagai kemajemukan atau ekuivokalitas. Kedua, merumuskan nilai kesemestaan di balik simbol empirik yang majemuk itu, menuju ke arah titik hakiki atau univokalitas. Tanpa nilai univokal yang bersifat mempersatukan dan memelihara satu kesatuan tujuan berkehidupan bersama itu, pasti terjadi perpecah-belahan, bahkan tindas-menindas.
Yang bakal menang pasti potensi informasi, potensi pengetahuan-keilmuan, dan/atau potensi ekonomi yang mampu dijelma-wujudkan menjadi kekuasaan. Kekuasaan ini akan mempunyai daya mengarahkan sekaligus menentukan hidup, kehidupan, dan penghidupan pihak yang lebih lemah. Sangat berbahaya bila sistem nilai itu dikuasasi oleh pihak yang tak berbudi pekerti luhur, yang tak mengenal perikemanusiaan nan adil-beradab, jauh dari peri-berkehidupan bersama yang damai, yang tak mau tahu apalagi menyadari bahwa kehidupan masyarakat manusia dan masyarakat alam ini hakekatnya ada dalam satu kesatuan web of life.
Kebijakan memelihara kesetimbangan ekuivokalitas dan univokalitas makna di setiap satuan ruang dan waktu pada sebuah wilayah, itulah politik kebudayaan. Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Berkemajemukan dengan kemerdekaan pribadi yang penuh kasih serta saling menjaga hak hidup tiap unsur yang berbeda, dan tak ada maksud (yang mewujud sebagai dharma, perbuatan) lain dari hal tersebut. Dapatkah Arsitektur Nusantara —sebagai bagian dari keseluruhan kehidupan anak negeri ini— memulai sebuah era baru yang demikian itu? Jawabannya, tentu kita memerlukan keterpaduan upaya dari berbagai disiplin ilmu. Lebih penting lagi, dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat bangsa. Jelas, upaya tersebut memerlukan kepemimpinan yang kuat. Maka, sekali lagi —seperti yang telah sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan tulis dan lisan— Indonesia-kini memerlukan kepemimpinan yang berwawasan budaya cukup luas dan dalam. Bukan sekedar kepemimpinan dalam politik kekuasaan (ekonomi).
Tulisan di atas merupakan bagian dari makalah Galih W. Pangarsa berjudul "Politik Makna, Politik Kebudayaan. Sebuah Catatan Pinggir atas Perkembangan Arsitektur di Indonesia", pada Seminar Jelajah Makna Arsitektur Nusantara 2010, 11 Oktober 2010, di ITS. Pengutipan sebagian atau seluruhnya mohon merujuk pada Prosiding Seminar tersebut –Admin.
Label: Jelajah Lokalitas
0 Komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan akun valid. Terimakasih kunjungan Anda
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda