22 Desember 2009

Memaknai Kembali Arsitektur Nusantara

Galih W. Pangarsa, Universitas Brawijaya

Manusia mesti mengidentifikasikan kembali dirinya, di setiap saat dan tempat. Arsitektur yang terbentuk oleh peradabannya pun, perlu selalu dimaknai kembali. Mengapa? Manusia, masyarakat dan lingkungan huniannya ada dalam dinamika. Dan yang terpenting, manusia dimintai pertanggungan-jawab. Identitasnya adalah untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Namun Arsitektur Nusantara seringkali dipandang statik, sebagai bagian dari masa lalu yang tak ada hubungannya dengan masa kini, tak berhubungan dengan identitas masyarakat manusianya, apalagi untuk mempersiapkan masa depan. Lalu apa sebetulnya esensi pemaknaannya kembali untuk masa kini?


ang jelas manusia Nusantara berkembang, seperti yang dipaparkan buktinya oleh banyak artefak arkeologis prasejarah di seluruh tanah air kita, baik jejak peradaban maupun regawinya. Perkembangan arsitektur di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan arsitektur dunia. Maka desain-desain sejak dari langgam Hindu sampai dengan yang kontemporer seperti karya Daniel Liebskind, Tadao Ando, atau Rem Koolhaas, semua masuk ke Indonesia sebagai informasi keilmuan dan desain yang mengilhami para arsitek kita. Arsitek-arsitek (baik formal maupun tidak), pada kehidupan manusia adalah mereka yang menempati posisi utama dalam pembentukan arsitektur sebagai simbol peradaban suatu bangsa atau komunitas. Maka, sangat penting untuk memahami kembali bahwa manusia adalah homo simbolicus yang senantiasa membuat dan maknai kembali simbol-simbol peradabannya, seperti kita pun perlu memaknai kembali arsitektur rakyat kita, yaitu Arsitektur Nusantara. Dengan demikian, penelitian tentang Arsitektur Nusantara sangat penting, agar kita dapat memaknai kembali Arsitektur Nusantara dengan bijak. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi justru untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

...menunggu gambar...

Arsitektur Nusantara tinggal remah-remah. Serpihan-serpihannya pun seperti keadaan senja hari. Arsitektur Nusantara hampir punah. Untungnya, ada yang berupaya menerangi dengan suluh. Berbagai seminar, lokakarya, atau apa saja atas nama "keberlanjutan" atau "pelestarian" arsitektur, diselenggarakan. Bisakah suluh-suluh itu menerangi dan menyelesaikan masalah seketika? Pasti tidak. Nusantara demikian luas dan waktu senjanya pun berbeda-beda. Yang dapat menerangi ialah rembulan. Siapakah yang dimaksudkan dengan rembulan? Ialah para budayawan-pejuang dengan pandangan keilmuan yang dapat memberi cahaya hakiki pada jiwa-jiwa manusia yang tengah menghadapi kegelapan peradaban. Para pemeduli budaya bangsa dengan pandangan keilmuan yang harmonis, yang tidak hanya memihak manusia, tetapi juga memihak alam. Filosofi keilmuan yang kita perlukan ialah yang dapat menggugah kesadaran bahwa identitas lokal Nusantara sangat penting dibangun-ulang sebagaimana identitas sebagai manusia senantiasa memerlukan pembaharuan. Tambahan lagi, sang bulan budayawan-pejuang yang kita perlukan mesti menerangi malam tanpa pernah menyilaukan yang memandang. Tidak perlu menunjukkan "kasta" intelektualnya, tak perlu menyilaukan masyarakat awam. Ilmuwan sejati selalu menjadi bagian dari masyarakat, memaknai kembali kebudayaan (dalam arti luas) bersama mereka.

Kebudayaan bukanlah hanya berarti sempit: kesenian. Kebudayaan dalam arti luas adalah pola pikir dan mentalitas suatu masyarakat. Arsitektur adalah bagian sangat kecil dari padanya. Karena itu, siapa pun berhak memaknai arsitektur, termasuk --dan justru terutama-- generasi muda. Karena merekalah yang memiliki masa depan. Memaknai arsitektur bukan hak mutlak para arsitek.


Cukupkah kita mempersiapkan generasi muda? Para peneliti pun seyogyanya tidak datang ke desa mengusung kursi tinggi menara gadingnya yang menyilaukan masyarakat. Para ilmuwan mengemban misi mendidik masyarakat. Dan yang sangat jarang disadari, ilmuwan sejati justru selalu "belajar" dari masyarakat. Artinya, ia senantiasa merendah hati untuk "membaca" persoalan yang ada di masyarakat dan ikut berupaya keras dan andil menyumbangkan pemikirannya. Atau bahkan ikut berdaya upaya bersama mereka menuntaskan pemecahan permasalahan.

Bagaimana andil kita semua untuk menahan tenggelamnya peradaban Arsitektur Nusantara? Kami menunggu anda semua untuk berbagi pemikiran, pengalaman, dan kepedulian dalam Seminar Jelajah Makna dalam Arsitektur Nusantara tahun 2010, di ITS.

Salam.

Label:

6 Komentar:

Anonymous vischa mengatakan...

nice posting..

11/5/10  
Anonymous Anonim mengatakan...

Tks. Salam untuk pak Raziq, Galih W. Pangarsa.

11/5/10  
Anonymous Lyla mengatakan...

kapan seminarnya itu???

14/6/10  
Blogger Galih W. Pangarsa mengatakan...

Silakan lihat posternya di http://arsiteknusantarajelajah.blogspot.com/ (atau lewat tombol "JELAJAH" di kolom samping kanan/side bar, sebelah atas). Terimaksih.

14/6/10  
Anonymous Anonim mengatakan...

Saya yg amatir ini punya sedikit kebingungan pak.
Mengenai identitas, jika arsitektur nusantara di jaman modern ini hanya perlu menerapkan nilai-nilainya saja, misalnya ekologi, tanggap iklim, detail, dll itu, pastinya para arsitek yg peduli itu akan menerapkan dg cara yg berbeda2 brdasarkan pemahaman n pengalaman masing2. Sehingga identitas arsitektur nusantara modern saat ini kurang jelas (menurut saya). Soalnya bisa jadi, rumah-rumah sederhana dg penghawaan alami n pencahayaan alami itu saja sudah bisa dibilang arsitektur nusantara.

Perntanyaannya, apakah perlu adanya pakem atau standard cara menerapkan nilai-nilai itu untuk mempersatukan identitas arsitektur nusantara?

kapindro - arsitektur brawijaya 2008

6/3/11  
Blogger Galih W. Pangarsa mengatakan...

Nilai-nilai yang terpenting adalah yang berkaitan dengan pensetimbangan kehidupan masyarakat manusia dan masyarakat alam. Porosnya adalah pertanyaan: bagaimana agar manusia dapat hidup selamat dan menyelamatkan makhluk lain (sesama manusia dan alam)? Bukan sekedar yang fisikal saja. Meski demikian simbol-simbol lokalitas perlu disinambung-lanjutkan. Sinambung menyangkut ruang (spasial), lanjut berkaitan dengan waktu (temporal). Mengapa? Manusia butuh identitas lokal sekaligus kesadaran bersemesta (universal, bukan global, yang ternyata, pada zaman ini, hanya perpanjangan erocentrism belaka).

14/3/11  

Posting Komentar

Mohon tinggalkan akun valid. Terimakasih kunjungan Anda

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda