Berharap pada Award
Sebuah Catatan Penjurian Karya-karya Nominasi IAI Award 2008
Eko Prawoto, arsitek, seniman instalasi, dosen senior UKDW, Jogjakarta
A relativist and relational sense of pluralism of cultural values makes it possible to perceive the diverse social, ethical and philosophical ‘grounds’ (or foundations) on which systems of cultural and historical value are constructed in relation to each other’s differences and specificities. Such a relational sense of cultural value – based on cultural difference and intercultural dialogue-is far better suited to a global ethic of inter-regional and transnational connection than to a normative, regulative idea of progress that imposes a reign of homogeneity and hierarchy over other cultures and societies.
Homi K. Bhabha (Architecture and Thought, Intervention Architecture, Building for Change, Aga Khan Award for Architecture 2007)
emikiran arsitektur di belahan dunia yang lain bergumul dengan berbagai issue besar: tentang keragaman budaya, krisis lingkungan, inovasi teknologi, atau juga bagaimana kaum praktisi ini dapat tetap hadir berarsitektur dalam ‘tekanan’ pemilik modal untuk mewujudkan idealisme sosialnya, dan banyak lagi. Praktek arsitektur di kota besar Indonesia (dominasi Jakarta masih sangat nyata) tampaknya masih berjalan nyaman pada ranah ekplorasi estetik ataupun upaya menggapai pencapaian wadag visual yang sensasional demi kepuasan kalangan atas. Tentu ini tidak serta merta dipersalahkan.
Hanya kemudian ketika media mengkomunikasikan bagi khalayak yang lebih luas , tanpa ada kajian kritis yang menyertainya, maka trend metropolitan ini segera di serap dan diadopsi oleh kota-kota didaerah sebagai kebenaran dan barometer kemajuan berasitektur. Wajah kota-kota di Indonesia pun menjadi nyaris seragam.
Proses produksi/perancangan design dengan menggunakan software yang sama ternyata juga ikut andil membagikan serta menyeragamkan ‘bahasa’ estetika arsitektur masa kini. Secara sinis kemudian ada istilah arsitektur copy and paste.
Dalam situasi yang hampir tanpa informasi atas adanya jenis produksi arsitektur yang lain di Indonesia nan raya dan kaya budaya ini, perhelatan besar pemberian penghargaan arsitektur ini digelar.
Tentu kemudian pertanyaan besarnya adalah, demi apa penghargaan ini diberikan?
Dan kemudian diikuti oleh pertanyaan lain seperti mengapa hanya di dominasi Jakarta dan Bandung, apakah ini mewakili wajah keindonesiaan kita? Mengapa nominasi dari daerah sedemikian minim? Kemudian juga terngiang kata Oscar Niemeyer: “Architecture is not important; what is important is the life that we shape, influence and create by architectural means”. Bagaimana ‘mengukur’ pencapaian2 karya arsitektur itu? apa yang harus diukur? apakah tepat menilai rumah sederhana bersanding kompetisi dengan bangunan dengan budget besar, atau juga kecanggihan teknologi industri memang lebih mulia dari kesederhanaan tukang2 dipinggiran?
Pemikiran ini merupakan bahan perbincangan hangat diantara para juri di awal-awal pembahasan berkait dengan bagaimana menyelesaikan amanat dari organisasi ini.
Pada akhirnya kita kemudian menyadari bahwa memang selalu ada keterbatasan. Namun tidak juga berarti bahwa pemberian penghargaan ini menjadi sia-sia Paling tidak ada keinginan untuk menyapa dan mengungkapkan bahwa ternyata ada pencarian yang telah dilakukan lewat karya2 tersebut. Diyakini bahwa peran mediasi arsitek masih sangat diperlukan.
Kemudian tugas juri disadari bahwa lebih dari sekedar ‘memilih’ para juara yang patut dihargai, namun juga adalah ‘menemu kenali’ kualitas tersembunyi dalam karya2 itu. Tentulah ini tidak mudah,mengingat bahwa arsitektur haruslah dialami langsung,dan betapapun bagusnya foto tetaplah itu keadaan yang tereduksi. Namun beruntunglah ada juri2 yang secara cermat telah mengunjungi sebagian besar karya2 tersebut.
Sekalipun mungkin benar ini tidak menggambarkan keadaan Indonesia masa kini dengan utuh , namun setidaknya ada semangat untuk berharap atas terwujudnya keadaan yang lebih baik lewat munculnya karya2 yang semakin berbobot.
Penghargaan ini juga dimaksudkan untuk menganyam lagi nilai-nilai idealistik yang masih harus kita wujudkan bersama.
Keberadaan juri international diharapkan juga memberikan makna lebih bagi penerima penghargaan karya tahun ini. Dimensi nilai yang melampaui wilayah geografis diharapkan juga tercermin dalam karya-karya tersebut.
Penghargaan kali ini tidak semata mengikuti typology bangunan sebagai kategori. Melainkan lebih pada persoalan yang mengemuka dalam tarik menarik antara keterbatasan dan peluang, serta kemudian pencapaian akhir yang ditunjukkan lewat karya.
Pilihan criteria kemudian lebih di fokuskan pada interaksi yang dinamis dari stake holders demi munculnya karya yang dinilai memiliki kandungan lebih. Tentulah ini akan juga relatif. Ingin juga mengingatkan bahwa karya arsitektur adalah hasil kerja kolaboratif,sebagai upaya menganyam nilai2 kreativitas serta inovasi,serta kepedulian terhadap konteks sosial maupun budaya.
Arsitek memang sebagai figure yang relatif sentral namun bukan pemain tunggal, klien juga memiliki peran signifikan bagi munculnya karya arsitektur yang berbobot.
Hal ini juga ingin ditandai dalam pemberian penghargaan tahun ini.
Pada saat kehidupan sudah terfragmentasi sedemikian lanjut,maka yang tertinggal adalah serpihan-serpihan yang masing-masing seolah lepas, seolah semua bisa benar. Namun jika kemudian akhirnya karya arsitektur hanyalah menjadi karya yang self referential, sempurna pada dirinya sendiri maka pemberian penghargaan juga tidak bermakna.
Makna haruslah juga di rekatkan pada kehidupan bersama,pada membangun kepercayaan dan semangat bahwa ada sesuatu yang kita akui secara bersama sebagai suatu yang dianggap baik.
Semangat inilah yang hendaknya dihidupkan dan dilanjutkan.
Sebuah Catatan Penjurian Karya-karya Nominasi IAI Award 2008
Eko Prawoto, arsitek, seniman instalasi, dosen senior UKDW, Jogjakarta
A relativist and relational sense of pluralism of cultural values makes it possible to perceive the diverse social, ethical and philosophical ‘grounds’ (or foundations) on which systems of cultural and historical value are constructed in relation to each other’s differences and specificities. Such a relational sense of cultural value – based on cultural difference and intercultural dialogue-is far better suited to a global ethic of inter-regional and transnational connection than to a normative, regulative idea of progress that imposes a reign of homogeneity and hierarchy over other cultures and societies.
Homi K. Bhabha (Architecture and Thought, Intervention Architecture, Building for Change, Aga Khan Award for Architecture 2007)
emikiran arsitektur di belahan dunia yang lain bergumul dengan berbagai issue besar: tentang keragaman budaya, krisis lingkungan, inovasi teknologi, atau juga bagaimana kaum praktisi ini dapat tetap hadir berarsitektur dalam ‘tekanan’ pemilik modal untuk mewujudkan idealisme sosialnya, dan banyak lagi. Praktek arsitektur di kota besar Indonesia (dominasi Jakarta masih sangat nyata) tampaknya masih berjalan nyaman pada ranah ekplorasi estetik ataupun upaya menggapai pencapaian wadag visual yang sensasional demi kepuasan kalangan atas. Tentu ini tidak serta merta dipersalahkan.
Hanya kemudian ketika media mengkomunikasikan bagi khalayak yang lebih luas , tanpa ada kajian kritis yang menyertainya, maka trend metropolitan ini segera di serap dan diadopsi oleh kota-kota didaerah sebagai kebenaran dan barometer kemajuan berasitektur. Wajah kota-kota di Indonesia pun menjadi nyaris seragam.
Proses produksi/perancangan design dengan menggunakan software yang sama ternyata juga ikut andil membagikan serta menyeragamkan ‘bahasa’ estetika arsitektur masa kini. Secara sinis kemudian ada istilah arsitektur copy and paste.
Dalam situasi yang hampir tanpa informasi atas adanya jenis produksi arsitektur yang lain di Indonesia nan raya dan kaya budaya ini, perhelatan besar pemberian penghargaan arsitektur ini digelar.
Tentu kemudian pertanyaan besarnya adalah, demi apa penghargaan ini diberikan?
Dan kemudian diikuti oleh pertanyaan lain seperti mengapa hanya di dominasi Jakarta dan Bandung, apakah ini mewakili wajah keindonesiaan kita? Mengapa nominasi dari daerah sedemikian minim? Kemudian juga terngiang kata Oscar Niemeyer: “Architecture is not important; what is important is the life that we shape, influence and create by architectural means”. Bagaimana ‘mengukur’ pencapaian2 karya arsitektur itu? apa yang harus diukur? apakah tepat menilai rumah sederhana bersanding kompetisi dengan bangunan dengan budget besar, atau juga kecanggihan teknologi industri memang lebih mulia dari kesederhanaan tukang2 dipinggiran?
Pemikiran ini merupakan bahan perbincangan hangat diantara para juri di awal-awal pembahasan berkait dengan bagaimana menyelesaikan amanat dari organisasi ini.
Pada akhirnya kita kemudian menyadari bahwa memang selalu ada keterbatasan. Namun tidak juga berarti bahwa pemberian penghargaan ini menjadi sia-sia Paling tidak ada keinginan untuk menyapa dan mengungkapkan bahwa ternyata ada pencarian yang telah dilakukan lewat karya2 tersebut. Diyakini bahwa peran mediasi arsitek masih sangat diperlukan.
Kemudian tugas juri disadari bahwa lebih dari sekedar ‘memilih’ para juara yang patut dihargai, namun juga adalah ‘menemu kenali’ kualitas tersembunyi dalam karya2 itu. Tentulah ini tidak mudah,mengingat bahwa arsitektur haruslah dialami langsung,dan betapapun bagusnya foto tetaplah itu keadaan yang tereduksi. Namun beruntunglah ada juri2 yang secara cermat telah mengunjungi sebagian besar karya2 tersebut.
Sekalipun mungkin benar ini tidak menggambarkan keadaan Indonesia masa kini dengan utuh , namun setidaknya ada semangat untuk berharap atas terwujudnya keadaan yang lebih baik lewat munculnya karya2 yang semakin berbobot.
Penghargaan ini juga dimaksudkan untuk menganyam lagi nilai-nilai idealistik yang masih harus kita wujudkan bersama.
Keberadaan juri international diharapkan juga memberikan makna lebih bagi penerima penghargaan karya tahun ini. Dimensi nilai yang melampaui wilayah geografis diharapkan juga tercermin dalam karya-karya tersebut.
Penghargaan kali ini tidak semata mengikuti typology bangunan sebagai kategori. Melainkan lebih pada persoalan yang mengemuka dalam tarik menarik antara keterbatasan dan peluang, serta kemudian pencapaian akhir yang ditunjukkan lewat karya.
Pilihan criteria kemudian lebih di fokuskan pada interaksi yang dinamis dari stake holders demi munculnya karya yang dinilai memiliki kandungan lebih. Tentulah ini akan juga relatif. Ingin juga mengingatkan bahwa karya arsitektur adalah hasil kerja kolaboratif,sebagai upaya menganyam nilai2 kreativitas serta inovasi,serta kepedulian terhadap konteks sosial maupun budaya.
Arsitek memang sebagai figure yang relatif sentral namun bukan pemain tunggal, klien juga memiliki peran signifikan bagi munculnya karya arsitektur yang berbobot.
Hal ini juga ingin ditandai dalam pemberian penghargaan tahun ini.
Pada saat kehidupan sudah terfragmentasi sedemikian lanjut,maka yang tertinggal adalah serpihan-serpihan yang masing-masing seolah lepas, seolah semua bisa benar. Namun jika kemudian akhirnya karya arsitektur hanyalah menjadi karya yang self referential, sempurna pada dirinya sendiri maka pemberian penghargaan juga tidak bermakna.
Makna haruslah juga di rekatkan pada kehidupan bersama,pada membangun kepercayaan dan semangat bahwa ada sesuatu yang kita akui secara bersama sebagai suatu yang dianggap baik.
Semangat inilah yang hendaknya dihidupkan dan dilanjutkan.
Label: Wacana
19 Komentar:
jujur sy bingung..
(1)bagaiamana menjadi arsitek yang tidak pragmatis seprti saat ini??
jika secara teori mungkin banyak kajian yang telah banyak di paparkan di atas...namun secara praktek bagaimana????
coz di bangku perkuliahan yang saya puikir mahasiswa secara tidak langsung,, dipersiapkan untuk produk arsitek pragmatis. Apa karena mereka tidak bisa mempertahankan idealismenya demi mendapatkan nilai selangit atau memang mereka ga punya idealisme (dalam desain)
intinya makna desain mahasiswa itu seperti "tahu kempos" isinya kosong,,APA KATA DUNIA????
(2) Bagi bapak, bisakah sya beranggapan bahwa karya arsitetur dunia yang terkadang bentuknya tidak wajar itu sbagai wujud eksplorasi ilmunya (si arsitek) kemudian dihargai dengan memberikan award itu sah-sah saja..kemudain diabadikan dengan membuat buku-buku tentang teknologi masa kini yang lantas disebarkan ke seluruh dunia...
(3) Lanjutan no.2---nah tapi saya kemudian berpikir,,biar ga cuma jadi bebek!!! mungkin dengan buku tersebut bisa menjadi motivasi para akademisi untuk membuat teknologi macam tu mungkin dari bamboo atau kayu dengan model-model yang serupa. sehingga bambu atau kayu itu ga cuma untuk bangunan dengan bentuk kotak-kotak dan gitu-gitu tok!!! bisa ga ya???Bagaimana???
mohon jawabanya//##
saya butuh solusi secara praktis coz saya masih bingung......
Sdr X, alangkah baiknya, lain kali Anda meninggalkan nama terang.
Situs ini belum mempunyai engine yang memungkinkan para “guest lecturer” (para pakar yang punya field of study Nusantara yang ikut peduli dengan situs ini) menjawab langsung pertanyaan atas tulisan mereka. Kalau sudah ditingkatkan jadi website nanti, kami upayakan hal itu. Saya akan menjawab Anda sebagai Admin dari situs ini.
Profesi apapun di dunia, pada akhirnya adalah perwujudan dari suatu dari sikap hidup. Dokter, arsitek, pengacara, dosen atau apapun profesinya, bisa saja hanya dipakai dalam tujuan menumpuk keuntungan pribadi. Tetapi, juga bayak pengacara, petinggi pemerintahan, ahli pertanian, wartawan yang berupaya keras agar manusia lain pun dapat mengambil kemanfatan dari pribadinya. Kita punya 2 pilihan: (1) Agar bermanfaat bagi manusia lain (berikut dengan alam lingkungan huniannya) dalam arah tujuan memperbaiki keadaan sesuai dengan kemampuan pribadi kita. Atau, (2) hidup sekedar mengejar kepentingan pribadi (bisa harta, nama-prestasi-prestise, pangkat-kedudukan dll) sebanyak-banyaknya, dalam tempo sesingkat-singkatnya, dengan cara semudah-mudahnya dan pengorbanan sekecil-kecilnya. Saya dan Anda bebas memilih.
Idealisme muncul dari sikap hidup. Ciri sebuah idealisme adalah kerela-sediaan untuk mengorbankan kepentingan diri. Seluruh pengubah dunia, entah nabi entah tokoh suatu bangsa, pasti punya pengalaman berkorban untuk orang banyak. Bila seseorang menulis surat dengan singkatan-singkatan kata yang tak umum, itu sudah menunjukkan dirinya tak mau berkorban, agar si penerima surat mudah memahaminya. Bila untuk menulis kata-kata lengkap saja sudah MALAS untuk mengeluarkan energi, apa yang dapat diharapkan dari sifat itu? Perbaikan tanah air?
Award, dari tingkat IAI, Pritzker sampai dengan Nobel, tak lepas dari politik kebudayaan yang sebenarnya, bermuatan politik-ekonomi para kapitalis di balik pemerintahan negara-negara Eropa/Amerika. Lihat tulisan saya di e-article (kanan atas halaman). Sudah saya paparkan detil, bagaimana arsitektur, baik ilmu maupun prakteknya di luar Eropa/Amerika sejak abad XV dipengaruhi. Ada pertanyaan mendasar: lebih penting mana, penghargaan manusia lain terhadap kita (dengan julukan dan gelar selebritas) atau kemanfaatan nyata diri kita untuk manusia lain (dengan tolok ukur kebenaran hakiki)?
Langkah praktis:
Belajar menyadari bahwa desain Anda akan berada di tengah-tengah masyarakat manusia yang beragam. Jadi setiap model dari produk desain Anda (modelling 2D/denah, tampak, potongan, animasi digital apapun yang hakekatnya baru 2D, atau modelling 3D/maket) perlu diperhatikan keterkaitannya dengan struktur dan jalinan alam dan sosial yang sudah ada (eksisting). Pada modelling/presentasi akhir tiap produk desain Anda, Anda bukan hanya menggambarkan/mendesain bangunan-bangunan pada site yang Anda kerjakan, tetapi juga DAMPAK DARI DESAIN ANDA TERHADAP LAHAN, ALAM DAN BANGUNAN DI LAHAN SEKITAR. Bukankah bangunan yang didesain seorang arsitek (realitanya nanti, setelah dibangun) bukanlah single building? Yang Anda kerjakan bukan hanya tampak dari bangunan yang Anda desain saja, tetapi dampak (baca: DAMPAKVISUAL) dari bangunan yang dirancang itu terhadap bangunan-bangunan eksisting di sekitarnya! Perbandingkanlah, secara visual thinking, keadaan eksisting sebelum dan sesudah ada desain Anda. Singkatnya: meskipun baru di tataran visual thinking, ada upaya MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN DESAIN ANDA. Beranikah Anda berkorban melenyapkan rasa MALAS dengan mengeluarkan tenaga berlebih (karena mungkin saja, seperti kebanyakan studio desain di kampus arsitektur di Indonesia, dosen studio Anda tidak meminta gambar seperti itu)? Kelak, yang akan mengunduh kerja keras Anda bukankah Anda sendiri? Anda akan dikenal sebagai arsitek yang sangat peka dan peduli pada lingkungan, karena sudah semenjak mahasiswa Anda melatih diri untuk itu. Bila banyak generasi muda yang melakukannya, pasti keadaan ota-kota kita makin baik. Tahukah Anda dari sekian banyak presentasi grafis para arsitek di IAI Award, tak satupun yang menyajikan dampak visual mereka terhadap lingkungan? Dengan kata lain, desain-desain yang dibentangkan hanya MEMIKIRKAN KEPENTINGAN INDIVIDU/kelompok pemlik dan perancang bangunan tersebut! Karena masing-masing bersikap individualistik tak mau memikirkan kepentingan orang lain, maka akhirnya kota-kota kita rusak.
Perbaikan budaya berskala besar tak mustahil dikerjakan seorang diri. Bahan dan potensi alam Indonesia masih sangat kaya. Pak Eko bahkan melihat bambu sebagai “bahan bangunan masa depan”. Beranikah pula Anda berkorban menghimpun teman-teman mahasiswa di kampus Anda untuk bersinergi dengan lab-lab konstruksi di Indonesia dengan tujuan mempelajari bambu, glugu, kayu johar, dll. Jangan lupa, Anda harus temukan dulu ilmuwan/peneliti yang cukup punya idealisme (bukan ‘peneliti’ yang setelah menerima honor penelitian, hanya menghimpun hasil risetnya di jurnal dalam laci administratur lembaga pendidikan).
Kini sudah saatnya aktifitas insan akademik lepas dari FANATISME NAMA KAMPUS. Lintas-kampus, lintas latar belakang keyakinan. Bekerjasama, bahu-membahu dengan kesadaran bersama, bahwa negeri ini memerlukan perbaikan. Lebih penting lagi: TIDAK HANYA SELALU MEMINTA/MENUNTUT PIHAK LAIN, TETAPI SELALU BERSIKAP MEMBERI TERLEBIH DAHULU. Hanya dengan begitu negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan. Beranikah Anda berkorban, misalnya, untuk mempelopori terbentuknya “komunitas bambu” (gerakan di kalangan generasi muda untuk belajar tentang bambu)?
Semoga jawaban ini bermanfaat bukan saja hanya bagi Anda yang tak saya ketahui identitasnya (yang mengakhiri tulisan dengan “mohon jawabanya//##
saya butuh solusi secara praktis coz saya masih bingung......”), tetapi terutama untuk generasi muda pada umumnya.
Galih W. Pangarsa
Admin
saya fikir inilah permasalahan yang menggayuti dunia pendidikan. Visual thinking sudah menjadi agama berfikir sehingga makna dibaliknya menjadi kabur tak terbaca. Ini tidak hanya dialami oleh pendidikan arsitektur namun juga bidang pendidikan lain yang masih berazas "rumput tetangga nampak lebih hijau".
Saya fikir usaha yang patut untuk ditanamkan adalah:
1.meyakinkan semua fihak bahwa arsitektur bukan masalah visual. Berapa banyak pembelajaran mengenai arsitektur, penilaian terhadap award, pembicaraan mengani proyek, semuanya terpusat di ruangan dengan alat bantu slide, foto gambar2 belaka? Atau betapa sering rujukan ideal profesi arsitek selalu berangkat dari buku, majalah. Seolah keberhasilan sebuah karya profesi jika telah terpampang di publikasi populer/dibicarakan banyak orang. Sebagai contoh banyak orang yang menyatakan Hadid sebagai maestro arsitek namun karya-karyanya selalu boros di budget dan perawatan bangunannya bisa membuat bangkrut 1 perusahaan. Atau Morphosis peraih Pritzker Award, yang desainnya dikenal rumit namun oleh warga amerika sendiri tidak disukai karena membuat wajah kota seperti festifal harian.
2. mempelajari arsitektur bukan berangkat dari bentuk, namun dari unsur material (karakter bahan),eksisting lahan,batasan kemampuan tenaga lokal, kenyamanan ruang. konsekuensinya pembelajaran tersebut haruslah pada kuliah lapang, merasakan bahan material dan bagaimana bahan tersebut tumbuh di alam, serta meminimalkan berkutat di ruang studio yang berkepanjangan.
3. dunia praktisi dan award sekarang ini bukanlah gambaran ideal untuk kehidupan arsitektur indonesia y.a.d, jadi sebaiknya tidak dijadikan rujukan. Ini karena masih merupakan turunan/warisan dari budaya barat-lalu (meminjam istilah pak Galih Eurocentrisme). Jadi sebaiknya kita berfikir untuk jangka panjang kedepan. Saya rasa ini bukanlah masalah berat karena dunia perencana/planning/arsitektur kan memang berbicara tentang masa depan.
Salam
Ade Yudirianto
9801060485-kadaluawarsa
Wisnu Senjaya
0610650084
Pada dasarnya sebuah realita dapat dikatakan sebagai sebuah karya hanya jika telah bermanfaat. Kemudian apakh tolah ukur manfaat dan siapakah yang menetapkannya? tiada lain adalah masyarakat itu sendiri baik secara lokal maupun global.
Saat ini kebanyakan karya diciptakan melalui devosi terhadapa keberadaan dirinya sendiri, tanpa menoleh ke penjuru lain yang tiada lain tempat tolak pandang orang lain di sekitar.
Namun hal tersebut juga tidak dapat disalahkan, karna Pendidikan Arsitektur di Indonesia kebanyakan mengikat leher mahasiswanya untuk ikut ke arah yang salah, lalu layaknya seorang manusia, selalu mempertanyakan siapa kah yang perlu dipersalahkan? dan sekali lagi, tidak perlu lagi ada yang dipersalahkan, karna sesungguhnya lebih berfaedah bila kita mempertanyakan kapan kita akan mengakhiri kesalahan yang telah lama kita mulai.
lalu jawabannya terletak dari produk itu sendiri, dalam hal ini adalah sistem pendidikan, sebagai sebuah contoh adalah misalnya visualisasi bentuk bangunan (tampak) yang tidak mengikut sertakan bangunan sekitar merupakan titik tolak individulistik karya, dimana tidak tercermin dalam tampak manfaat karya tersebut sedikitnya dalam segi visual, lalu pertanyaan berikutnya apakah tampak (elevasi) benar-benar merupakan kekayaan visual bangunan yang benar-benar bisa dinikmati (manfaat), bila sesungguhnya dalam kenyataannya tidak pernah kita temuai dengan mata ini sensasi tegak lurus, bahkan bila kita melihat tegak lurus sekalipun akan tercipta distorsi perspektif yang membentuk ruang. Sesungguhnya kekayaan visual sebuah bangunan adalah realita visual yang mampu dinikmati.
Kemudian contoh lainnya, adalah, maket, mungkin ini lebih ke arah opini, saya, sebagai seorang mahasiswa, sejujurnya dengan adanya perkembangan teknologi kita tidak perlu malu untuk berubah,diman saat ini sudah banyak program Modelling 3D,dimana melalui itu kita dapat memeunculkan sequence ataupun serial vision yang sangat membantu dalam mendesain.
Pernah dalam kelas saya bertanya pada beliau (Bapak Galih WP) tentang peranan maket dalam studi, beliau berpendapat bahwa maket tidak dapat tergantikan oleh 3D Model,hal tersebut dikarenakan 3D MOdel itu tidak bisa dirasakan entitas fisiknya,dimana beliau juga mengatakan bahwa maket bisa digunakan untuk kita melihat sequen bangunan. Namun dengan segala hormat, mungkin untuk tahap pemahaman saya yang masih kurang, saya kurang setuju, mengingat sebagai seorang manusia kita memiliki apa yang dinamakan imajinasi yang merupakan suatu seumber kreativitas juga, dimana meskipun 3d model tidak dapat dirasakansecara nyata namun dampak visualnya akan sangat terasa, terutama dalam hal sequen, menurut saya bila melihat sequen melalui maket dengan skala tertentu yang tentunya lebih kecil dari kenyataan akan sangat distorsi mengingat ukuran mata yang kita gunakan untukmelihat, ditambah kerucut pandang mata kita, sehingga akan tetap kita terasa sebagai raksasa yang melihat sequen, sehingga kita tak dapat merasakan keberadaan ruang dgn skala yang sebenarnya, berbeda halnya dengan modeling, kita dapat menempatkan diri,sebagai sudut pandang manusia dengan ketinggian tertentu, tyapi memanbg terasa masih kurang, mengingat keduanya tidak bisa memberikan kesan ruang;maket karena ukurannya, sedangkan 3d modelling karena maya nya. Melihat demikian apakah masih perlu maket?mengingat alokasi dana ataupun waktu yang digunakan tidaklah sedikit, mengapa kita tidak alokasikan waktu pendidikan arsitektur kita pada pengalaman meruang (praksis) di lapangan, melatih kepekaan visual, sebagai seorang perancang?
Kemudian masalah waktu, pendidikan arsitektur semakin ke arah sini, semakin memampatkan waktu dalam transfer wacana dan ilmu, namun metode yang digunakan masih konvensional,tentunya waktu tersebut tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal. Akhir kata, segala masalah bernjak dari akarnya,dalam hal ini akarnya adalah pendidikan arsitektur kita.
Siapakah yang harus berubah?kita mahasiswa?dosen? Berpikir modern bukan berarti berpaling dari tradisi, tapi justru berpikir realistis menjaga tradisi kita tetap menjunjung tinggi nilai kebenaran dalam interpretasi zaman dan kebudayaan
Assalamualaikum wr.wb...
Dalam artikel ini, seperti yang telah dijelaskan oleh bapak pada kuliah arnus, salah satunya terkandung makna "Beauty Of tHE bEAST"...(Keindahan dari raksasa). Dimana orang yang punya kekuasaan lebih pasti akan lebih diakui, akan lebih dihargai dan dipuji karyanya karena dia ini mempunyai pengaruh yang besar. Keindahan dari Sang panguasa (raksasa) LEBIH "DIANGGAP"oleh khayalak. Keindahan di sisni dapat digolongkan menjadi
1. keindahan yang bersahaja, syarat dengan nilai-nilai ketuhanan yang santun, ramah
2. Keindahan yang glamouristik, keindahan tanpa ketuhanan.
Pada tulisan pak galih ini juga dikatakan mengapa orang melihat konteks arsitektur hanya di seputran kota Jakarta dan Bandung saja?
Mungkin jawabannya, semua itu kembali ke orangnya pak. kembali pada manusianya sendiri. Banyak orang yang berpikiran bahwa arsitektur (beautiful architecture) hanya dapat dilihat dari segi kecanggihan teknologi bangunan, bangunan yang modern, menjulang tinggi,,,sangat sophisticated sekali. Itulah arsitek yang sebenarnya bagi mereka. Padahal itu tidak, kurang tepat maksud kami. Itu tidak mencerminkan wajah Indonesia. Indonesia punya banyak sekali beautiful architecture yang sebenarnya tersebar di setiap pulau. Alangkah kayanya arsitektur Negara kita ini. Namun sayangnya pemikiran orang sudah terlanjur terkungkum, melihat sesuatu hanya dari bagian yang terkecil saja, melihat hanya dari satu sisi saja.
Sebenarnya kalau menurut kami, sah-sah saja rumah sederhana jka bersanding kompetisi dengan bangunan yang berbudget besar. Belum tentu rumah sederhana yang berbahan bambu misalnya, lebih rendah nilai arsitekturnya jika dibandingkan dengan rumah berbudget besar. Misalnya saja contoh nyatanya adalah rumah Lantip dan Janip karya pak Eko Prawoto yang punya nilai arsitektur rakyat yang tinggi.
Dan kecanggihan teknologi juga belum tentu lebih mulai dari kesederhanaan tukang-tukang di pinggiran. Kalau menurut kami (lagi) sebenarnya hand made lebih dihargai karyanya, lebih bernilai value tinggi, jika dibandingkan dengan fabrikasi. Tapi ya itu tadi pak, semuanya kembali pada pola pemikiran sebagian masyarakat yang menyukai dengan segala sesuatu yang identik dengan kecanggihan teknologi. Kami belum tahu alasannya kenapa pola pemikiran masyarakat seperti,,, mungkin karena ikut-ikutan.
Seperti yang pak galih pernah ceritakan, pada kuliah arnus lalu,, di Jerman atau dimana (agak lupa Negaranya) dimana di sana benar-benar dihargai pembuatan dengan hand made misalnya saja pembuatan gagang pintu dengan hand made yang lebih mempunyai nilai tinggi dibandingkan dengan yang fabrikasi.
Mungkin itu saja pak yang dapat kami sampaikan,, atas kurang lebihnya kami mohon maaf..
Kelompok arnus
Feti Mayasari (o610650036)
Deitha Ariefiani (0610650024)
Merylia Rosanne (0610653032)
Irawan (0610650042)
Rodhi Firdaus (0610650067)
tidak ada salahnya jika award dijadikan rujukan
tidak perlu dinafikan...
manusia pun dalam mambangun huniannya memerlukan apresiasi, entah sebagai parameter atau bisa menjadi indikator keberhasilannya dalam merepresentasikan lingkungan binaan yang diidam2kan mereka
namun yang perlu ditilik adalah intensitas dan kapasitas dalam memberikan 'award' terhadap apa dan bagaimana yang mumpuni teranugrahkan predikat tersebut
bukan bagi yang hanya sekedar 'mendobrak' atau 'berlebih2an' dalam berarsitektur
lebih dari itu, yg mampu mengembangkan daya guna dan daya tambah guna manusia dan lingkungannya
jika tepat guna, apa salahnya diapresiasi...
mungkin itu bedanya diapresiasi dengan mengapresiasi
salam,
yusfan A01
Mohon maaf saya sangat lambat memoderasi, semoga tidak mengecewakan.
Admin/GWP
Seperti yang sudah kami baca pada berbagai posting di blog arsiteknusantara, maupun pada perkuliahan yang diberikan oleh Bapak Galih. Kami mempunyai pendapat bahwa arsitek ada dua golongan, yaitu :
- arsitek papan atas,
- dan arsitek golongan bawah, arsitek rakyat
Arsitek papan atas adalah arsitek yang sudah mendapat pengakuan dari lembaga tertentu, sebagai arsitek yang professional, yang kita mungkin belum tahu hasil karya dan keilmuan arsitekturnya sedalam apa. Arsitek professional harus mempunyai portofolio dan mempublikasikan karyanya di berbagai media, termasuk di internet supaya khalayak tahu hasil-hasil karyanya seperti apa, yang secara tidak disadarai sebagai salah satu jalan menuju ketenaran arsitektur, starchitecture.
Para arsitek akhirnya berlomba-lomba membuat karya spektakuler, berharga mahal, megah, tetapi mungkin tidak memperdulikan keadaan lingkungan sekitar. Mereka mendayagunakan seluruh kekuatan dan kekayaan yang dimiliki pemilik proyek untuk mewujudkan ambisinya tersebut. Semua itu demi sebuah penghargaan/award dan ketenaran di antara para arsitek lainnya supaya mereka disebut starchitect.
Sedangkan arsitek rakyat atau arsitek kampung adalah arsitek yang mendedikasikan keilmuan arsitekturnya untuk rakyat, keahliannya digunakan membangun demi rakyat, yang tidak butuh award atau ketenaran diri. Arsitek kampung mungkin saja bangga dengan julukan seperti ini, arsitek yang berpihak pada rakyat, berkarya untuk rakyat, bukan demi sebuah award ataupun ketenaran.
Menurut kami, Justru mungkin arsitektur rakyat lebih memunculkan suatu orisinalitas arsitektur yang lebih mempunyai jati diri, lebih manusiawi, berpihak pada alam dan lingkungan sekitar. Daripada arsitektur megah yang mungkin hanya menonjolkan sisi kehebatan dan ego perancangnya.
Oleh :
Samsyul hardi 0710650043
Dedi Fajar S 0710650065
Astrilia Sagita A 0710653029
Fitrah manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hal ini tidak dapat terpisahkan dari hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam tempat mereka hidup dan tinggal didalamnya, namun apabila individualisme manusia lebih menonjol daripada sifat asalnya, maka manusia tersebut menjadi manusia egois yang mementingkan diri sendiri dan tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh dalam berarsitektur, orang yang memiliki sifat individualisme akan cendrung menonjolkan karyanya tanpa mempertimbangkan lingkungan disekitar. Mereka akan bangga mendirikan apartemen mewah ditengah rumah-rumah kumuh yang sebelumnya sudah ada disana. Pengaruh individualisme ini adalah terjadinya kesenjangan sosial antara kalangan atas dengan kalangan bawah, serta tidak ada lagi keindahan bersahaja yang merupakan ciri arsitektur untuk kemanusiaan.
Seperti yang kita ketahui, materialisme merupakan sifat negatif yaitu menganggap uang adalah segala-galanya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi janganlah menjadikan uang sebagai syarat imbalan atas jasa yang telah kita berikan. Sebagai arsitek hendaknya kita melakukan kewajiban tanpa pamrih dan tidak mengarapkan balas jasa. Keikhlasan merupakan hal yang paling mendasar karena jika tidak maka sifat materialisme akan menghancurkan sifat murni, ikhlas, dan suci yang dimiliki manusia. Jika ini terjadi maka hancurlah dunia arsitektur karena tidak lagi bermanfaat bagi orang lain terutama bagi kalangan dengan ekonomi lemah
Selanjutnya pada zaman sekarang banyak bermunculan Celebrity Culture. Celebrity culure merupakan akibat dari individualisme dan materialisme yang berlebihan, artinya jika salah satunya ingin menonjol dengan bentukan yang “aneh-aneh” maka hal itu akan ditiru oleh yang lain dan semakin banyak yang meniru, semakin hancur arsitektur dunia. Tidak ada lagi lokalitas arsitektur karena semua berkiblat pada global. Tidak ada lagi kepedulian terhadap orang lain, tidak ada lagi kepekaan terhadap alam, dan tidak ada lagi simbol-simbol yang mencerminkan identitas arsitektur nusantara.
Oleh :
Kelompok Arsitektur Nusantara / Kelas A
Rizqi Maulidiyah (0710650008)
Juwita Windhasari (0710650009)
Tyas Santri (0710650010)
Fadli Reza Utama (0710653012)
Apa sebenarnya pengaruh Individualisme, materialisme dan celebrity culture terhadap arsitektur nusantara?
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial dan manusia diciptakan untuk saling bersosialisasi sehingga manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain yang artinya saling membutuhkan. Akan tetapi faktanya adalah individualisme lebih sering menonjol daripada sosialnya. Sifat individualisme yang paling terlihat adalah egoisme. Sifat egoisme muncul karena manusia itu sendiri ingin mementingkan kepentingannya diatas kepentingan orang lain, sebenarnya manusiawi, tapi jika egoisme sudah menutup pikiran manusia untuk tidak merugikan orang lain maka egoisme jadi lebih banyak berdampak negatif. Salah satu contoh sederhananya, banyak sekali bangunan rumah tinggal untuk bermukim yang dibangun tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya, seperti bangunan rumah - rumah yang mewah dibangun diantara rumah tinggal kumuh seperti di kota – kota besar.
Dari dunia arsitektur, individualisme akan muncul ketika ego seorang arsitek lebih besar dari keinginannya menghasilkan suatu karya yang bermanfaat untuk manusia dan alam. sifat individualisme ini lebih cenderung muncul karena arsitek pada zaman sekarang lebih memikirkan bagaimana dia bisa mendapatkan predikat seorang arsitek yang unik dan tampil beda di mata dunia. perlahan kepeduliannya sebagai arsitek untuk memperhatikan alam, keadaan sosial, budaya, dan seni mulai luntur dengan pandangannya bahwa Eropa dan Amerika adalah sebuah kiblat dalam merancang karyanya demi mendapatkan ketenaran.
Kini, sebagian besar arsitek lebih mendahulukan materi dan keuntungan yang besar dalam mewujudkan ide-idenya, sehingga mereka berpikir tidak sembarang orang atau klien bisa meminta mereka untuk mewujudkan keinginan klien. klien yang berharta lebih dan se-visi dengan mereka ( para starchitect ) akan menjadi prioritas utama demi mencari gengsi dan sebuah prestasi dan prestise, tentunya dengan berusaha menonjolkan keunggulan, kekuatan dan keahlian yang ada pada diri mereka.
Dan celebrity culture inilah yang sebenarnya menjadi dasar pemikiran para arsitek yang selalu ingin tampil dan ingin diakui dunia dengan menyampingkan semua hal yang menyangkut kepedulian terhadap masyarakat dan alam. arsitek pada zaman sekarang lebih ingin terlihat dan dikenal orang sebagai kaum selebritis yang bisa melakukan berbagai cara untuk menaikkan pamor dan popularitas. Pemikiran - pemikiran bahwa menjadi arsitek yang lebih dikenal oleh dunia akan membawa keuntungan yang besar semakin lama semakin berkembang, sehingga moral utama sebagai arsitek yang sesungguhnya mulai terhapus.
karena ketiga hal diatas, kini muncul berbagai dampak yang sangat merugikan alam dan manusia, tidak sedikit bangunan pencakar langit yang dibangun di tempat yang tidak seharusnya, yang tidak mempertimbangkan bagaimana pengaruh terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. seperti halnya daerah yang biasanya digunakan sebagai daerah serapan digunakan sebagai lahan untuk pembangunan, sehingga banjir dan berbagai macam bencana alam fatal lainnya bisa terjadi dengan mudahnya.
Dan dampak yang paling merugikan pada arsitektur nusantara kita adalah mulai memudarnya keorisinalitas dan jati diri yang harusnya menjadi ciri khas utama. Seorang Starchitect sejati seharusnya adalah seorang arsitek yang tidak hanya mampu menghasilkan suatu karya baru dengan mengadopsi karya luar, melainkan mereka bisa mempertahankan dan mengelola keadaan yang ada tanpa menghilangkan keasliannya. Karena nusantara kita sendiri sudah sangat kaya dengan peninggalan budaya, seni, etnik dan beragam pengetahuan arsitektur yang diwariskan nenek moyang sejak dulu, warisan – warisan tersebut hanya butuh kesadaran dan pengelolaan yang lebih baik, agar kembali pada keorisinalitas nusantara yang memang harus tetap dipertahankan sampai kapanpun, yang tetap menjunjung nilai – nilai hakikat manusia yang tidak akan pernah lepas dari alam.
Oleh:
ASBETY SASAKI PUTRI 0710650007
ALFONSUS SRI AGSEYOGA 0710650044
RINI SETYOWATI 0710653014
INTAN PRASETIANTI 0710653017
HUDAIBIYAH NILA F 0710653019
Pengaruh individualism , materialism, celebrity culture terhadap arsitektur nusantara
Sebenarnya kami bingung apa itu yang dimakud arsitek yang individual, materialisme dan celebrity culture.Apakah seorang arsitek itu tidak boleh menonjolkan karya yang aneh ,uniknya dan Yang berbeda daripada yang lain sebagai identitas dirinya.tapi dalam hal ini tetap memperhatikan lingkungan sekitar. Disini kami akan menjelaskan sepengetahuan kami menyangkut individualism, materialism, dan celebrity culture.
Individualisme
Seperti yang kita tau seorang manusia itu pada dasarnya mempunyai fitrah yang menurut kami tidak lepas dari yang namanya makhluk individu dan makhluk social. Dengan adanya sifat-sifat tersebut seorang arsitek terkadang lupa akan akan siapa dirinya sendiri. Dan terkadang memacu untuk menjadi egois dalam hal tidak mementingkan lingkungan sekitanya.
Materialisme
Meski kita ketahui materialisme merupakan sifat negatif namun kebanyakan seorang arsitek banyak yang mempunyai sifat tersebut. Kami berharap seorang arsitek itu mempunyai jiwa yang tidak hanya memikirkan uang saja tapi juga memikirkan rakyat jelata yang juga berperan penting dalam kehidupan.
Celebrity culture
Tidak yakin akan hasil karyanya sendiri dan menggap seorang arsitek terkenal itu sebagai acuan untuk mendesain suatu bangunan dan cenderiung mengarahkan hasil karyanya menyerupai karya idolanya yang belum tentu sesuai dengan iklim kita.ini yang menyebabkan hilangnya lokalitas disuatu daerah.
Individualism, materialism, dan celebrity culture merupakan sifat yang harus dihindari oleh seorang arsitek untuk memepertahankan lokalitas.
Rizal Aulia R (0710650002)
A Fajaruddin A (0710650003)
Hilmy Kresna M (0710650022)
Febrian Adika P (0710653037)
Europasentris Sebagai Cerminan Kebuntuan dalam Arsitektur
Europasentris merupakan suatu bentuk pola pemikiran yang memusatkan segala sesuatu berdasarkan pada negara dan orang-orang Eropa. Pemikiran ini muncul sebagai akibat terjadinya revolusi industri di dunia. Dimana Eropa, sebagai negara yang telah mempopulerkan teknologi hasil penemuan revolusi industri pada masa tersebut dianggap sebagai suatu icon dewa keberhasilan di mata dunia. Seiring dengan adanya revolusi industri, negara Eropa membutuhkan negara-negara berkembang sebagai sumber bahan baku dan tempat pemasaran dari hasil revolusi industri mereka. Sebagai akibatnya terjadilah penjajahan dan globalisasi pada negara-negara berkembang.
Indonesia pun tak luput dari pengaruh pemikiran europasentris ini. Pemikiran ini ditanamkan oleh para penjajah secara terstruktur dan terorganisir dalam benak bangsa kita. Setelah melalui masa penjajahan selama berabad-abad oleh bangsa Eropa, pola pemikiran europasentris ini telah melekat pada pribadi masyarakat Indonesia. Masyarakat kita cenderung meng-kiblatkan segala apa yang benar adalah apa-apa yang bersumber dari bangsa Eropa. Sehingga kita tidak menyadari jati diri kita sebagai seorang bangsa Indonesia. Kita cenderung selalu membandingkan segala apa kita miliki dengan bangsa Eropa, dan jika hal tersebut tidak sesuai dengan bangsa Eropa kita merasa kurang dan senantiasa berusaha menyesuaikannya dengan bangsa Eropa. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya masalah krisis identitas dalam bangsa kita. Krisis identitas ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk arsitektur di dalamnya.
Selama masa modernisasi hingga saat ini dapat kita lihat bahwa bentukan arsitektur yang terjadi di Indonesia cenderung meniru secara mentah-mentah apa yang ada pada negara Eropa tanpa disesuaikan terlebih dahulu dengan situasi dan kondisi Indonesia sendiri. Keberhasilan arsitektur bangsa kita senantiasa di ukur dengan bentukan arsitektur yang ada pada negara Eropa. Sebagai akibatnya muncullah berbagai bangunan modern Eropa yang dipaksakan untuk berdiri di atas tanah bumi pertiwi kita. Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang dipaksakan, karena bentukan Arsitektur Eropa yang merupakan bentukan Arsitektur Subtropis tentunya tidak akan cocok jika dipaksaakan untuk berdiri di atas tanah Indonesia dengan keadaan iklim yang tropis.
Bersumber dari permasalahan di atas muncullah suatu kebuntuan dalam ber-Arsitektur, karena kita cenderung hanya berusaha mengejar dan meniru-niru apa yang ada pada arsitektur barat dan melupakan fitrah dan karunia yang telah diberikan Allah di dalam arsitektur nusantara kita. Arsitektur pada akhirnya mengalami suatu titik stagnan karena apa yang dikejar hanyalah berupa materi belaka, hal ini dimaksudkan agar arsitektur kita dapat disejajarkan dengan kenggulan bangsa Eropa. Padahal sesungguhnya hal yang terpenting dari arsitektur bukanlah terletak pada materinya seperi pada bangsa Eropa, namun sesungguhnya hal yang terpenting adalah memaknai kembali manusia sebagai pengguna dari arsitektur tersebut. Dimana dalam lingkup negara Indonesia manusia tersebut merupakan masyarakat Indonesia.
Jadi yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa adalah belajar untuk menghilangkan pola pikir europasentis dari benak kita dan mengembalikan makna manusia dengan belajar apa yang dimiliki dari alam nusantara.
Dari Thoriqi Batata (0710653021)
Kelas B
Arif Kurnia (0710650063)
Kelas B
Ahya REzqi A(061-0009)
Rizky Rakhmawati (061-0065)
Nur Fitriani (061-3040)
Rony Tjong (061-30xx)
-Dampak individualisme,matrealisme,selebriti culture terhadap arsitektur nusantara-
FENOMENA STARCHITECT, INDIVIDUALISME
DAN MATERIALISME MENENGGELAMKAN
ARSITEKTUR NUSANTARA
Diawali dengan hadirnya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, arsitektur hadir mendampingi perkembangan manusia dulu hingga sekarang. Dimulai dari masa dimana arsitektur hadir hanya sebagai sebuah usaha pemenuhan kebutuhan fisik hingga ke masa dimana arsitektur dapat hadir dalam berbagai hal. Termasuk didalamnya adalah fungsi yang hanya sekadar untuk memperindah saja. Di tiap-tiap masa tersebut, arsitektur hadir dengan karakteristik dan nilai yang berbeda. Nilai-nilai dan karakteristik tersebut selalu berkembang seiring dengan majunya pola pikir manusia.
Arsitektur pada awalnya merupakan sebuah bentuk solusi yang bersifat lokal terhadap suatu masalah, terutama kebutuhan akan perlindungan dan naungan dari alam. Lokal disini berarti hanya terikat pada masalah tersebut saja. Arsitektur semacam ini merupakan sebuah hasil usaha trial and error yang dilakukan oleh manusia primitif dalam menghadapi permasalahan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Penyelesaian yang lahir dari usaha trial and error membuat manusia menjadi mengenali permasalahan tersebut secara mendalam dan mendetail. Hal ini dikarenakan solusi semacam ini bersifat mendetail dari tiap aspek permasalahan tersebut, bukan secara makro, sehingga satu permasalahan dapat memiliki banyak solusi yang kesemuanya harus diterapkan bersama-sama. Ketika mencapai suatu masa dimana permasalahan tersebut sudah tidak dapat lagi diselesaikan dengan rangkaian solusi tersebut, maka manusia akan kembali melakukan arsitektur trial and error untuk menyelesaikannya. Proses ini akan terus-menerus berulang.
Arsitektur memiliki kaitan yang erat dengan tradisi masyarakat. Tetapi dalam era modern dan globalisasi, arsitektur telah mengalami perubahan dan menemukan gaya barunya akibat adanya teknologi, birokrasi, kekuatan ekonomi dan politik. Arsitektur modern kemudian identik dengan pengembang, bisnis, monopoli, dan politisi.
Akan tetapi di lain pihak, arsitektur modern tidak mampu mengangkat kebutuhan manusia sebagai penggunanya, serta nilai-nilai lokal atau tradisi yang ada pada masyarakat karena menurut Stern (2003), arsitektur modern lebih mementingkan form atau bentuk serta nilai-nilai global. Dalam hal ini, subjektivitas dalam arsitektur sangatlah kurang, akibat adanya rasionalisasi. Seharusnya arsitektur lebih mementingkan bagaimana tubuh akan bereaksi, bagaimana arsitektur dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi tubuh penggunanya, dimana penglihatan, sentuhan, pendengaran, dan aroma menjadi faktor-faktor yang sangat penting, dan bagaimana arsitektur dapat menjadi tempat yang dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dasar penggunanya.
Tradisi sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari atau architecture of the everyday itu sendiri dapat diartikan sebagai arsitektur yang familiar atau umum, tidak harus hebat, tetapi dapat memberikan arti yang sesungguhnya bagi pemiliknya. Namun apabila kita melihat kehidupan masyarakat modern yang dikuasai oleh kekuatan ekonomi atau kapitalisme, definisi arsitektur kehidupan sehari-hari tersebut akan sulit untuk diwujudkan karena sifat modernitas dan tradisi saling bertentangan satu sama lain. Kapitalisme dan birokrasi itu pula yang membuat pemerintah menyeragamkan pola kota, atau dalam lingkup yang lebih sempit lagi yaitu pada pola perumahan atau bahkan konstruksi pembangunannya. Dengan demikian arsitektur pada era modern dapat terlihat seperti produksi massal atau mass marketed product. Akan tetapi dalam era modern seperti sekarang ini ternyata timbul kontradiksi antara tradisi dan modernitas. Dalam proses transmisi tradisi dari generasi ke generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga tradisi tidak mungkin dapat dilestarikan sepenuhnya. Proses transmisi tersebut menyebabkan adanya perubahan interpretasi dari masyarakat terhadap tradisi yang akhirnya disebut dengan modernitas.
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Lokalitas nusantara terancam dengan adanya “serangan” dari gaya modern tersebut. Apalagi adanya penghargaan Pritzker Price, dan para pemenangnya yang menjadi kiblat arsitek dunia semakin mempercepat terkikisnya lokalitas budaya, yang mana dalam hal ini arsitektur nusantara. Adanya “kiblat” dalam mendesain dan gaya modern yang mementingkan form membuat para arsitek berlomba-lomba membuat bangunan dengan bentuk ‘seaneh’ mungkin, tanpa ada pertimbangan kontekstual dengan lingkungan dimana bangunan itu akan didirikan.
Contohnya pemenang Pritzker price, Zaha Hadid, karya-karyanya memiliki bentuk seperti “sesuatu yang abstrak” dan dibuat di dunia nyata dan yang terpenting disini bangunan-bangunan itu dapat diletakkan di negara manapun, karena tidak memiliki unsur lokalitas di dalamnya.
Bangunan-bangunan itu berdiri dengan “angkuhnya” tanpa ada kontekstual dengan ruang dimana dia dibangun. Hal ini sangat memperlihatkan individualisme.
High rise building dibangun di kota-kota besar di dunia, di Indonesia pun sama saja. Gedung pencakar langit dibangun dengan bentuk yang serupa dengan kiblat arsitektur dunia hasil ajang Pritzker Price tersebut, dimana bangunan yang dihasilkan dan didirikan tersebut sangat individualistic, hedonis, komersial dan yang terpenting bangunan tersebut seperti hasil mass industrial, karena jika dibangun di Amerika, Eropa ataupun di Indonesia sama saja, tidak ada kekhususannya. Dan kesemuanya itu kembali kepada mencari materialistic serta ketenaran.
Bentrokan antara tradisi dan modernitas memang terjadi, ternyata dengan adanya modernitas dan modernisme maka tradisi akan semakin menghilang. Akan tetapi saat ini masyarakat masih membutuhkan kedua hal yang saling bertentangan tersebut karena mereka masih belum sepenuhnya dapat meninggalkan tradisi. Modernisme dan modernitas dapat berjalan beriringan dengan tradisi tetapi tetap saja modernisme dan modernitas tersebut merusak dan mengganggu tradisi yang sudah ada.
Misalnya, pada arsitektur modern, estetika dari bentuk-bentuk geometris dan kotak mungkin cukup menarik, namun memperhatikan ‘kebiasaan’ kita di masa lalu untuk mengikutkan makna sebagai ide estetis, bukankah lebih baik jika desain geometris tersebut juga mengandung makna simbolis untuk menghubungkan ide bangunan saat ini dengan ide bangunan masa lampau, wujud aplikasi kita pada arsitektur khas Indonesia, lagipula bahasa geometris juga terdapat pada arsitektur khas Indonesia. Kita dapat mendesain misalnya menggunakan gaya arsitektur candi untuk rumah tinggal.
Jika hanya terhambat dengan form saja rasanya terlalu picik, karena lokalitas nusantara juga dapat dihidupkan dengan penggunaan material alam nusantara dengan bentuk/form yang unik dan menakjubkan.
Sebagai contoh Bapak Eko Prawoto mampu mengolah material bambu secara tradisional menjadi bentuk yang benar-benar eksperimental
Semakin besar keinginan kita untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah desain peradaban arsitektur masa lampau, maka merupakan keuntungan bagi peradaban arsitektur masa lampau karena kita membantunya berkembang.Dalam aplikasi, setelah memperhatikan peradaban arsitektur masa lampau dan menggunakannya dalam desain, kemampuan arsitektur modern untuk menyediakan sistem konstruksi yang semakin variatif akan menghasilkan karya desain yang bisa jadi memiliki perbedaan–perbedaan dari hasil-hasil budaya peradaban arsitektur masa lampau, misalnya candi-candi dan rumah-rumah tradisional. Namun sepanjang arsitektur modern digunakan sebagai alat dan kaidah peradaban arsitektur masa lampau tetap digunakan, hal ini merupakan keuntungan bagi peradaban arsitektur masa lampau dan merupakan nilai lebih ditinjau dari sudut peradaban arsitektur manusia.
Assalamualaikum
Pak Galih, terima kasih telah menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan saya yang akhirnya menyadarkan saya bahwa selama ini saya telah bersikap malas.
Sedari dulu menjadi maba(mahasiswa baru), saya mendapat berbagai wawasan tentang ilmu arsitektur. Dari sana, saya mengenal Guggenheim, Mario Botta, Frank Lloyd Wright, gedung-gedung pencakar langit dan bangunan dengan bentuk-bentuk unik yang mencuri perhatian lainnya. Saya jujur pada awalnya terpukau dengan contoh-contoh yang dipaparkan, serta sempat terbentuk stigma dalam pikiran saya bahwa dalam setiap karya kita, identitas diri harus terlihat jelas di dalamnya. Dengan kata lain, semuanya dimulai dengan visual yang indah dan bentuk-bentuk yang lain daripada yang lain.
Tetapi, semenjak mengikuti kuliah di Sejarah dan Teori Arsitektur 1, saya tergugah. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya bagaimanakah penjajahan pikiran yang telah dilakukan oleh banyak arsitek masa kini?
Kepala saya penuh dengan pikiran-pikiran, di satu sisi saya mempertanyakan manfaat dari apa yang telah saya lakukan untuk orang banyak melalui ilmu yang saya dapat, sementara di satu sisi lain saya merasa terlalu kecil untuk mempertahankan tanggung jawab desain terhadap lingkungan sekitar dengan bertahan dalam sistem yang sudah mengakar kuat.
Tetapi, ternyata tanggung jawab tersebut dapat kami wujudkan dimulai dengan hal-hal yang kecil. Semuanya dapat dimulai dari mengubah kemalasan kami semua dalam belajar hal-hal yang bersifat dasar. Contohnya melengkapi lingkungan sekitar dalam membuat gambar rancangan studio meskipun tanpa diminta dosen. Saya juga menyadari betapa sedikit sekali wawasan serta kontribusi saya terhadap orang-orang sekitar saya. Posting bapak sungguh sangat bermanfaat buat kami, terima kasih banyak. Mudah-mudahan manfaat yang kami dapat juga bisa kami wujudkan ke dalam kontribusi yang sama bermanfaatnya ke dalam mayarakat kelak. Amin.
Ngomong-ngomong, saya cuma menyampaikan aspirasi teman-teman:
jangan pensiun dulu, pak...
terima kasih banyak
wasalam
-carissa fadina-
AMELIA SEPTIFANI 06-0011
ANDREAS KURNIAWAN 06-0012
JUANITA CHRISTANTI 06-0045
PADJAR RYSSA 06-0089
YESSY MITA 06-3057
Dampak individualisme, materialisme, dan celebrity culturebagi Arsitektur Nusantara ?
>> pengaruh budaya luar / Barat yang mulai terintegrasi dengan pola adat budaya Timur (Indonesia) yang akhirnya berdampak pada arsitektur nusantara. Arsitektur nusantara berangsur-angsur tergantikan dengan Arsitektur Modern.
>> terlalu banyak sayembara, lomba-lomba dalam hal desain arsitektur yang notabene mengambil yang terbaik sehingga banyak arsitek yang berlomba-lomba menjadi ‘pemenang’ dan mencari popularitas untuk dirinya sendiri. Disinilah budaya “star-chitect” mulai timbul dan berkembang menjadi “arsitektur selebritis”.
>> kebutuhan manusia akan uang makin tinggi, memiliki beberapa dampak sebagai berikut :
1. Mobilitas masyarakat menjadi semakin tinggi dan padat untuk memenuhi kebuthan hidupnya (sehingga) masyarakat menjadi egois dan individualis (berdampak pada) pola pikir / desain rancang bangun yang egois dan individualis pula (terciptalah) arsitektur yang “individualisme”
2. Pola pikir manusia yang mengutamakan uang segala sesuatu demi uang untuk mempertahankan hidup (tercipta) “hidup untuk uang dan uang untuk hidup” Arsitektur Materialisme (dampak) proyek-proyek besar makin berkembang tanpa memedulikan lingkungan GLOBANG WARMING.
>> teknologi yang semakin berkembang kreatifitas tinggi bisa memunculkan “arsitektur nusantara kini” dengan perkembangan teknologi yang ada.
Kesimpulan :
Aasitektur nusantara bukan arsitektur masa lampau! Tapi arsitektur yang tetap mempertahankan identitas suatu potensi local yang dimilikinya. Jadi, “Arsitektur Nusantara Kini” bisa saja dibangun dengan teknologi yang ada dan berkembang sekarang.
Silakan ikuti penulisan buku Arsitektur Nsantara Kini. Mahasiswa dan khalayak umum non arsitek yang mau menyumbangkan saran-pemikirannya pun diterima dengan gembira. Admin
Terimakasih. Saya pensiun sebagai arsitek-praktek, karena banyak sekali hal teoritis yang memerlkan penyelesaian tuntas (yang tentu mustahil saya tangani seorang diri). Tapi kalau tidak dimulai sekarang lalu kapan? Harapan saya makin banyak generasi muda yang terpanggil untk membenahi keilmuan arsitektur di Indonesia.
ARIF BUDIONO 06-0015
Pada hakikatnya, arsitektur nusantara telah merangkul masing2 wilayah di bumi nusantara hingga menyesuai dengan keberagaman peradaban budaya yang lahir di dalamnya, sampai keberadaan posisi belahan bumi nusantara juga ikut andil memberikan kontribusi terhadap keindahan arsitektural nusantara yang demikian majemuk.
Dalam praktik lapangan, sebenarnya teori tersebut telah dapat diterapkan oleh masyarakat dimana mereka bersemayam. Namun dalam kondisi dan latar belakang yang berbeda seperti Jakarta dan Bandung, perkembangan arsitekturnya lebih cepat “berkembang”. Jika kita tengok kebelakang untuk daerah Jakarta misalnya, latar belakang penjajahan yang terpusat di Jakarta (Batavia dulu) secara tidak sadar telah membawa dampak yang berpengaruh pada mentalitas pertukangan masyarakat setempat (lokal). Dengan kondisi demikian tanpa adanya kesadaran untuk perbaikan, jadi mudahlah untuk budaya asing merenggut citra bangsa di bumi nusantara, meskipun tidak dalam waktu dekat, tapi pasti.
Sekali lagi, perangkat lunak yang seharusnya menjadi media untuk mempermudah dalam membantu pekerjaan arsitektur, ternyata berdampak bagi sebagian besar penggunanya yaitu terjebak dalam pemikiran2 praktis dengan bergantung pada teknologi yang ada.
Karya-karya “besar” arsitektur yang dibangun dengan kecanggihan teknologi industri yang memungkinkan segala pembangunan dikerjakan secara praktis dengan kesederhanaan tukang2 dipinggiran yang mengerjakan pembangunan secara bergotong royong, apabila dua kriteria tersebut dikompetisikan, secara kasat mata maka segenap perhatian akan terfokus pada bangunan megah dengan budget besar, keindahan yang megah, gamour, mewah dan sebagainya akan membius menyita seluruh perhatian. Namun, alangkah tidak adilnya jika penilaian tersebut hanya sampai pada penampilan fasadenya saja.
Padahal, jika kita tengok lebih dalam lagi, belum tentu bangunan megah tersebut benar2 sesuai dengan lokalitas budaya setempat yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan masyarakat di Indonesia, belum lagi iklim yang beragam juga turut andil di dalamnya, dan lebih disayangkan lagi apabila penilaian sekejap tersebut dengan serta merta dijadikan tolok ukur kemajuan arsitektur di Indonesia.
Di sisi lain, bangunan dengan budget tak seberapa yang dibangun dengan sistem gotong royong telah mampu meningkatkan qualitas nilai 2 kemanusiaan masyarakat setempat, para tukang tidak lagi disamakan dengan buruh, tali silaturahim mampu diwujudkan antar warga dan sebagainya, adapun tampilan disesuaikan dengan budget dan kondisi sosial yang ada.
Dengan melihat kenyataan yang seperti ini, maka bila disangkutpautkan dengan penghargaan award, siapakah yang lebih pantas mendapatkan award? Ataukah memang penghargaan award tersebut hanya ditujukan bagi mereka yang mendesain karya2 yang memilki budget tinggi dan mewah? Bukankah bila ternyata hasilnya kurang cocok dengan lokalitas setempat dan ternyata dikemudian hari membawa dampak buruk, penghargaan tersebut tdak ada nilainya.
Oleh karena itu, mari kita telaah kembali dan pahami lebih mendalam atas karya2 yang berkembang saat ini. Saya sependapat dengan komentar yang diajukan oleh sdr Ade Yudirianto (komentar no 3) bahwa seorang arsitek, calon arsitek, dan pelajar arsitektur, sudah tdak seharusnya mengurung diri di belakang meja hingga menumbuhkan idealisme individual. Perlu adanya kerendahan hati untuk menengok keluar, membaur dengan siapa kita bersosialisasi, di lingkup mana kita tinggal, dan dengan bahasa apa kita “berbicara”.
Melihat arsitektur lain, bukan berarti harus ditelan mentah-mentah, perlu adanya kajian yang lebih mendalam atas fenomena yang melatarbaelakangi sebuah karya serta maksud/tujuan apa yang hendak disampaikan untuk dapat dicerap makna yang terkandung di dalamnya agar lebih bermanfaat dikemudian hari.
Sekian komentar dari saya atas kekeliruan2 yang terdapat dalam penulisan ini, dengan segenap hormat saya haturkan maaf yang sebesar-besarnya, sekian dan wassalam.
Sebetulnya yang didiskusikan di atas/sebelumnya (oleh Arief misalnya), telah saya kupas-uraikan di buku "Arsitektur untuk Kemanusiaan". Sayang, sebagian pembaca belum tuntas atau "terlalu cepat" membacanya, sehingga belum menangkap kesimpulan-kesimpulan tersirat yang bertebaran di sana-sini.
Posting Komentar
Mohon tinggalkan akun valid. Terimakasih kunjungan Anda
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda