Arsitektur Rakyat di Nusantara
pa sebenarnya Arsitektur Nusantara? Tampaknya globalisasi secara tidak langsung menjadikan penyatuan kata ”arsitektur” (yang berkonotasi suatu pola pikir, kesepakatan yang mengglobal tentang seni bangunan) dan kata ”Nusantara” (berkonotasi suatu lokalitas geografis) menjadi agak asing. Seolah-olah ada dua kutub yang dialektik. Tetapi sesungguhnya ada yang lebih penting di balik silang-sengkarut argumentasi yang substansinya hanyalah mencari (untuk sekedar mengetahui) arah perkembangan arsitektur pada sumbu ruang-waktu; secara geografis maupun historis.
Menurut saya, yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, apalagi diskursus tahun 1950-an 'Barat-Timur' atau 'tropis-subtropis'. Sekarang bukan jamannya lagi memperdebatkan itu semua. Pola pikir dialektis sudah sangat kuno, sebetulnya. Sekarang adalah masa untuk berbuat bersama; sekarang adalah masa untuk memahami arsitektur secara lebih esensial, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat --bahkan antarbangsa-bangsa-- untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan (pernyataan ini saya ulang-ulang dalam berbagai kesempatan dan publikasi; lihat terutama Pangarsa, 2008, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto). Diperlukan suatu tindakan nyata untuk keluar dari jebakan itu. Diperlukan langkah bersama menuju masa depan budaya (pola pikir dan mentalitas) arsitektur yang lebih baik. Arsitektur bagi keluhuran budi pekerti manusia, bukan arsitektur demi ketenaran seseorang individu arsitek yang berhajat menjadi "star-chitect", (super)-star di bidang arsitektur.
Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung —yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.
Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.
Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.
Untuk mengawali pemahaman itu, Arsitektur Nusantara mesti dilihat bagaikan bumi Nusantara itu sendiri. Di permukaan tanah masa kini, terbentang luas keragaman 726 bahasa suku, yang pasti menyertai keanekaan ciri arsitekturnya. Di kedalaman stratum geologis masa lalu yang berbeda-beda kecepatan dan percepatan dinamika historisnya, tampak tersimpan kesamaan ciri. Bagi penggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Arsitektur Nusantara --berbeda dengan sekedar pengamat tradisi-pikir skolastikal yang sering kali sekedar memuaskan rasa keingin-tahuannya-- alat metodologis sinkronis dan diakronis tak selalu jelas untuk menjawab pertanyaan komparatif-historis terhadap hasil galiannya, karena sifat lapisan geologi itu pejal tak tembus pandang sebagaimana informasi historis yang tak selalu ia dapati.
Mutiara Hikmah-Pelajaran
Arsitek-arkeolog bersepakat bahwa ciri arsitektur rumah megalitikum Dongson dari abad II SM dengan awalan dan akhiran atap yang berjuntai sebagai pensetimbang (“counter weight”) untuk mengurangi momen lapangan dari nok di sepanjang balok bubungan pada arah memanjang bangunan, masih dapat ditemukan pada Jawa Tengah abad VIII seperti yang direliefkan sebagai lumbung pada Candi Borobudur, bahkan atap lumbung adat masyarakat Gayo Alas beranang, tongkonan Toraja atau rumah lontik Riau awal tahun 1970-an. Tambahan pula, meski ada perbedaan-perbedaan tektonik, secara antropo-linguistik terkadang elemen atap itu mempunyai kesamaan nilai makna. Yaitu, agar penghuni rumah memperoleh kehidupan mulia. Di “daerah karakter tektonik” yang sama-sama menempati suatu wilayah bahari nan luas itu, rumah —bagi manusia yang hidup, arwah yang mati atau bahkan para dewa— tampaknya dimengerti sebagai wadah berisi kandungan dan tempat meraih suatu puncak kehidupan mulia.
Banyak lagi bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah bahari berpulau-pulau dari Madagaskar sampai Papua New Guinea dan dari Jepang Selatan sampai Alor, dapat dimasukkan ke dalam ruang budaya yang sama. Hanya saja, sesuai dengan keluasan ruang geografi dan panjangnya rentang waktu historis, jamak-majemuknya subjek pelaku, bervariasinya proses dan berjenis-jenis lingkungan alam masing-masing sebagai tempat dan objek perbuatan masyarakat manusianya, pasti terdapat keragaman tolok ukur, nilai-makna sekaligus ungkapan simbol-tektoniknya.
Apa yang akhirnya dijumpai oleh mereka yang telah berhasil menyeberangi sungai filosofi-teori-metodologis skolastikal konvensional? Nun jauh di bawah gegunungan berbagai macam predikat skolastikal —dari diploma satu sampai profesor-doktor— ternyata ada lautan bebas di arah hilir sungai yang memanggil untuk diselami dan untuk dimanfaatkan kandungan mutiara hikmahnya.
Wilayah konsepsual keilmuan “Arsitektur Nusantara”, lebih realistik bila dilihat sebagai lautan, sebagaimana fenomena benua-bahari Nusantara itu sendiri. Artinya, konsep keilmuan “Arsitektur Nusantara” diletakkan pada koordinat ruang-waktu yang cukup luas dan sekaligus panjang rentang spasio-temporal atau geo-historisnya. Pada keluasan baharinya, tergelar kebhinekaan ciri kebudayaan-peradaban arsitektur; di kedalaman bahari sisi-sisi etnografis dan antropologisnya, terdapat mutiara bernilai tinggi yang mesti dipetik setelah membuka kekerasan lokan penutupnya. Untuk mendapatkannya, penyelam mesti mempunyai dua alat: kehalus-pekaan pemindai rasa dan ketajam-jelian mata pisau akal. Dengan keduanya barulah akan didapatkan peluang-pelluang untuk merekontekstualisasikan Arsitektur Nusantara. Kajian bukan Arsitektur Nusantara etnografi atau antropologi sempit. Tetapi kajian untuk menyongsong masa depan budaya (arsitektur) bangsa.
(Sebagian teks dikutip dari Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, hal: 1-6 ).
pa sebenarnya Arsitektur Nusantara? Tampaknya globalisasi secara tidak langsung menjadikan penyatuan kata ”arsitektur” (yang berkonotasi suatu pola pikir, kesepakatan yang mengglobal tentang seni bangunan) dan kata ”Nusantara” (berkonotasi suatu lokalitas geografis) menjadi agak asing. Seolah-olah ada dua kutub yang dialektik. Tetapi sesungguhnya ada yang lebih penting di balik silang-sengkarut argumentasi yang substansinya hanyalah mencari (untuk sekedar mengetahui) arah perkembangan arsitektur pada sumbu ruang-waktu; secara geografis maupun historis.
Menurut saya, yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, apalagi diskursus tahun 1950-an 'Barat-Timur' atau 'tropis-subtropis'. Sekarang bukan jamannya lagi memperdebatkan itu semua. Pola pikir dialektis sudah sangat kuno, sebetulnya. Sekarang adalah masa untuk berbuat bersama; sekarang adalah masa untuk memahami arsitektur secara lebih esensial, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat --bahkan antarbangsa-bangsa-- untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan (pernyataan ini saya ulang-ulang dalam berbagai kesempatan dan publikasi; lihat terutama Pangarsa, 2008, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto). Diperlukan suatu tindakan nyata untuk keluar dari jebakan itu. Diperlukan langkah bersama menuju masa depan budaya (pola pikir dan mentalitas) arsitektur yang lebih baik. Arsitektur bagi keluhuran budi pekerti manusia, bukan arsitektur demi ketenaran seseorang individu arsitek yang berhajat menjadi "star-chitect", (super)-star di bidang arsitektur.
Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung —yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.
Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.
Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.
Untuk mengawali pemahaman itu, Arsitektur Nusantara mesti dilihat bagaikan bumi Nusantara itu sendiri. Di permukaan tanah masa kini, terbentang luas keragaman 726 bahasa suku, yang pasti menyertai keanekaan ciri arsitekturnya. Di kedalaman stratum geologis masa lalu yang berbeda-beda kecepatan dan percepatan dinamika historisnya, tampak tersimpan kesamaan ciri. Bagi penggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Arsitektur Nusantara --berbeda dengan sekedar pengamat tradisi-pikir skolastikal yang sering kali sekedar memuaskan rasa keingin-tahuannya-- alat metodologis sinkronis dan diakronis tak selalu jelas untuk menjawab pertanyaan komparatif-historis terhadap hasil galiannya, karena sifat lapisan geologi itu pejal tak tembus pandang sebagaimana informasi historis yang tak selalu ia dapati.
Mutiara Hikmah-Pelajaran
Arsitek-arkeolog bersepakat bahwa ciri arsitektur rumah megalitikum Dongson dari abad II SM dengan awalan dan akhiran atap yang berjuntai sebagai pensetimbang (“counter weight”) untuk mengurangi momen lapangan dari nok di sepanjang balok bubungan pada arah memanjang bangunan, masih dapat ditemukan pada Jawa Tengah abad VIII seperti yang direliefkan sebagai lumbung pada Candi Borobudur, bahkan atap lumbung adat masyarakat Gayo Alas beranang, tongkonan Toraja atau rumah lontik Riau awal tahun 1970-an. Tambahan pula, meski ada perbedaan-perbedaan tektonik, secara antropo-linguistik terkadang elemen atap itu mempunyai kesamaan nilai makna. Yaitu, agar penghuni rumah memperoleh kehidupan mulia. Di “daerah karakter tektonik” yang sama-sama menempati suatu wilayah bahari nan luas itu, rumah —bagi manusia yang hidup, arwah yang mati atau bahkan para dewa— tampaknya dimengerti sebagai wadah berisi kandungan dan tempat meraih suatu puncak kehidupan mulia.
Banyak lagi bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah bahari berpulau-pulau dari Madagaskar sampai Papua New Guinea dan dari Jepang Selatan sampai Alor, dapat dimasukkan ke dalam ruang budaya yang sama. Hanya saja, sesuai dengan keluasan ruang geografi dan panjangnya rentang waktu historis, jamak-majemuknya subjek pelaku, bervariasinya proses dan berjenis-jenis lingkungan alam masing-masing sebagai tempat dan objek perbuatan masyarakat manusianya, pasti terdapat keragaman tolok ukur, nilai-makna sekaligus ungkapan simbol-tektoniknya.
Apa yang akhirnya dijumpai oleh mereka yang telah berhasil menyeberangi sungai filosofi-teori-metodologis skolastikal konvensional? Nun jauh di bawah gegunungan berbagai macam predikat skolastikal —dari diploma satu sampai profesor-doktor— ternyata ada lautan bebas di arah hilir sungai yang memanggil untuk diselami dan untuk dimanfaatkan kandungan mutiara hikmahnya.
Wilayah konsepsual keilmuan “Arsitektur Nusantara”, lebih realistik bila dilihat sebagai lautan, sebagaimana fenomena benua-bahari Nusantara itu sendiri. Artinya, konsep keilmuan “Arsitektur Nusantara” diletakkan pada koordinat ruang-waktu yang cukup luas dan sekaligus panjang rentang spasio-temporal atau geo-historisnya. Pada keluasan baharinya, tergelar kebhinekaan ciri kebudayaan-peradaban arsitektur; di kedalaman bahari sisi-sisi etnografis dan antropologisnya, terdapat mutiara bernilai tinggi yang mesti dipetik setelah membuka kekerasan lokan penutupnya. Untuk mendapatkannya, penyelam mesti mempunyai dua alat: kehalus-pekaan pemindai rasa dan ketajam-jelian mata pisau akal. Dengan keduanya barulah akan didapatkan peluang-pelluang untuk merekontekstualisasikan Arsitektur Nusantara. Kajian bukan Arsitektur Nusantara etnografi atau antropologi sempit. Tetapi kajian untuk menyongsong masa depan budaya (arsitektur) bangsa.
Label: Wacana
28 Komentar:
Ass.wr.wb
Tampilan dan materi elok tenan pak.
Posting tulisan ada 8 tapi yang terbaca hanya 3 pertama pak/halaman depan.
Supaya lebih banyak dibaca orang coba di daftar ke mesin pencari pak.
Caranya coba buka ini :
http://afatih.wordpress.com/2008/02/13/daftar-blog-ke-40-mesin-cari-search-engine/
KELOMPOK 5 KELAS B
Andri Arya Kusuma 061-0013
Sukmawati Rahayu 061-0073
Titin Muniroh 061-0076
Heidi Yana Suriani061-3025
Ita Roihanah 071-0033
Wendi I. Hakim 071-0037
"Bagaimana Merekontekstualisasi Arsitektur Nusantara", maka dari pertanyaan ini kami mengartikan bahwa ada gejala perubahan dalam diri arsitektur nusantara.
Namun sebelum menjawab pertanyaan bagaimana, kita harus mengetahui dahulu Apa dan Mengapa dengan arsitektur nusantara. Hal pertama yang harus dipahami bersama adalah Apa sebenarnya arsitektur nusantara. Menurut kami arsitektur tidak hanya dipandang sekedar ilmu bangunan, seni dan sebagainya, namun lebih dari itu arsitektur dipandang sebagai hasil buah pikir manusia--ciri dan hasil dari sebuah peradaban--sehingga awalnya arsitektur yang muncul adalah arsitektur rakyat sesuai dengan kaidah-kaidah yang mereka yakini,sesuai dengan lingkungan yang mereka tempati, tidak hanya standart yang empiris dan saklek namun standart yang meta-empirispun juga menjadi bagiannya (bersifat maknawi).Nusantara merupakan ruang budaya mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Sehingga Arsitektur nusantara lebih kami artikan pada arsitektur rakyat di nusantara, dimana saat ini kurang begitu diperhatikan ke eksisannya.
Mengapa terjadi perubahan pada diri arsitektur nusantara??perubahan terjadi karena beberapa faktor yaitu :(1)faktor politik (2) faktor ekonomi (3) pendidikan. Dan budaya -sebagai akar dari arsitektur- muncul ke Nusantara (Indonesia)-pun juga melewati tiga jalur ini(baca wacana: Arsitektur Berbudaya , Arsitek Sasra Gatra. Menghadapi Terpaan Globalisasi, UNDIP Press [?], Semarang). Faktor ekonomi dan politik di Indonesia khususnya telah dikuasai oleh negara-negara maju dengan berbagi standart mereka, sedangkan parameter sebuah negara dipandang cukup maju, secara kasat mata dilihat dari bangunannya berapa banyak tower yang telah dibuat. Gejala yang terjadi berapa banyak negara-negara yang berusaha untuk membuat bangunan tinggi untuk berbagai kegiatan, walaupun kadang hal itu kami anggap perlu sebagai tangapan terhadap pertambahan jumlah penduduk yang tak terelakkan pastinya inilah salah satu dilematisnya, namun apakah ketika membangun sebuah bangunan yang secara umum bisa kita lihat rupanya saat ini, sudah memperhatikan dimana mereka menempatkan bangunan, untuk apa bangunan tersebut dibuat.
Arsitektur yang saat ini sedang menjamur adalah dibangunnya tower-tower untuk mall, hotel, tempat bisnis dal lain-lain. Semuanya mengerucut pada satu kata yaitu kapitalism, ekonomi, uang. Sedangkan arsitektur nusantara (rakyat) saat mengerucut pada arsitektur pinggiran, dianggap tidak penting lagi keberadaanya kalau perlu ditutupi bahkan dihilangkan, lihat kasus trowulan keberadaanya terancam oleh tututan ekonomi masyarakat sekitar, baca "Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis: Kompas Agustus 2008", atau fenomena munculnya kampung kumuh yang berada di antara bangunan yang tinggi. Lagi-lagi karena masalah ekonomi dan ini beranjak pada mentalitas masyarakat saat ini yang telah ditanamkan untuk berorientasi pada uang, kekuasaan, inilah serangan dari segi ekonomi politik bagi keberadaan arsitektur nusantara.
Hal lain yang bisa kita lihat yaitu banyak sekali refrensi-referensi yang mengungkap standart-standart yang memang berlaku secara global dimanapun kita berada.Diajarkan mulai dari pertama masuk kuliah hingga pada akhirnya nanti. Tidak salah memang, namun yang patut disayangkan adalah sedikit sekali referensi yang mengungkap keseluruhan baik bentuk, dimensi, makna dari arsitektur di negeri sendiri. Ini merupakan serangan dari segi pendidikan. Sehingga kita pada akademisi, telah terbiasa untuk mempelajari bahkan mengagumi arsitektur global, yang telah tertempa dalam otak kita beberapa semester ini. Hal ini membuat kita lupa dimana kita tinggal, bagaimana budaya kita, dan SIAPAKAH KITA. Arsitek adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap alur jalan arsitektur di nusantara, mau dibawa kemana arsitektur di nusantara ini.
Ketiga jalur inilah yang menyerang mentalitas budaya masyarakat nusantara. Benteng terakhir bagi arsitektur nusantara adalah arsitektur peninggalan dari peradaban masa lampau dan arsitektur pedesaan, contoh sederhana dan umum diketahui misalnya kampung naga. Oleh karena itu setelah kita mengetahui di titik-titik mana arsitektur global menyerang arsitektur nusantara, maka seharusnya kita juga bisa merekontekstualisasi arsitektur nusantara dari tiga jalur atau titik serangan tadi, khususnya dari segi pendidikan sebagai dasar penanaman mentalitas. Namun tidak bisa hanya bertumpu pada satu bidang saja, kedua bidang lainnya juga harus ada penjembatanan, sehingga dengan integrasi dari tiga bidang ini maka rekontekstualisasi ini juga akan semakin mudah untuk dilakukan dan semakin memperkuat proses rekontekstualisasi tersebut.
Terimakasih, maaf jika ada salah kata dan penulisan.
Hasil diskusi "Rekontektualisasi Arsitektur Nusantara"
Kelas B
061-0009 Ahya Resqi Aufa
061-0065 Rizky Rakhmawati
061-3040 Nur Fitriani
061-30-- Rony Tjong
Menurut hasil dikusi kelompok kami:
Pertama kita harus memahami betul apa sebenarnya Arsitektur Nusantara itu. Kata arsitektur dan nusantara yang disatukan tentunya memiliki arti sendiri. Dari hasil diskusi menurut kelompok kami arsitektur nusantara itu adalah hasil budaya serta pemikiran masyarakat nusantara, di mana wilayah nusantara ini bukan wilayah yang dibatasi politik dan kenegaraan, tetapi wilayah yang lebih luas lagi yaitu dari arah barat ke timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua, dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Tentunya hasil pemikiran ini sudah melewati ribuan tahun, pemikiran ini merupakan jawaban serta tanggapan dari keadaan alam. Nusantara memiliki alam tropis dengan dua musimnya, tentu berbeda dengan wilayah Barat yang subtropis dan empat musimnya.Namun lambat laun nilai-nilai budaya arsitektur nusantara mulai bergeser seiring terjadinya Globalisasi.
Sebenarnya kita juga tidak menyalahkan kebudayaan Barat atau antibarat, mereka juga melakukan pemikiran untuk menanggapi alam mereka sendiri. Namun kenyataannya, banyak arsitek Indonesia-khususnya-malah berkiblat pada arsitek barat dengan bangunan-bangunan yang tentunya berdiri di barat pula dengan menggunakan teknologi yang sedemikian rupa dan memperlihatkan individualistik bangunan guna memperoleh penghargaan tertinggi dan pengakuan aktualisasi diri dari masyarakat dunia . Sungguh ironis, bahwa kita tidak memahami keadaan geografis alam tempat kita hidup yang jelas berbeda dengan di Barat.
Arsitektur Nusantara merupakan hasil budaya bangsa, sama seperti kita yang dilahirkan sudah memiliki identitas, seorang muslim dilahirrkan dan sampai akhir hayat sudah memiliki identitas seperti dalam kalimat shahadat, begitu pula Arsitektur Nusantara juga telah memiliki identitasnya sendiri karena alam dan pemikiran manusianyalah yang memberi identitas itu. Jadi, jika identitas itu diubah bahkan mungkin dihilangkan, maka arsitektur nusantara akan kehilangan arah yang akan berakibat merusak alam dan manusianya sendiri.Oleh sebab itu perlu dilakukan rekotektualisasi Arsitektur Nusantara.Namun kita juga tidak bisa berpikiran secara individualistik dan terkungkung, kita juga harus mengikuti perkembangan zaman. Sekarang ini teknologi sudah semakin berkembang. Arsitektur nusantara adalah suatu pondasi dan kita tetap bisa berpatokan kepadanya, karena kita juga hidup di nusantara ini.
Rekontektualisasi dari arsitektur nusantara ini juga bisa dilakukan dengan kembali memperbaiki budaya bangsa terlebih dahulu, karena budaya merupakan cikal bakal dari kehidupan sosial,politik dan ekonomi bangsa. Jika budaya bangsa telah dapat direkontektualisai sesuai dengan identitas nusantara yang sebenarnya, maka secara tidak langsung akan mengubah pola pikir, kehidupan soial, ekonomi dan politik bangsa bahkan akan mengembalikan nilai-nilai arsitektur nusantara yang sudah lama tergerus arus Globalisasi. Sebagai mahasiswa, kita bisa memulai dengan rekontektualisai dengan bergabung melalui LSM-LSM yang ada di kampus, mengadakan forum diskusi mengenai Rekontektualisasi arsitektur Nusantara,yang tentunya semua itu dimulai dengan menumbuhkan kesadaran dan idealisme pada diri pribadi masing-masing.
REKONTEKSTUALISASI ARSITEKTUR NUSANTARA
Sesuatu yang biasa berada di sekitar kita, justru membuat kita tak dapat menyadari kehadirannya bagi kita. Kita seringkali melupakannya, bahkan menganggapnya tak ada. Padahal dia yang seringkali ada untuk kita. Ada bersama kita. Bahkan kita justru lebih menghargai hal lain yang sesungguhnya ada untuk kita hanya sesaat dan tidak benar-benar memahami kita. Apakah seperti itu gambaran dari diri kita terhadap Nusantara kita ini?
Dalam konteks yang lebih khusus, kali ini kita membahas tentang nusantara dalam segi arsitektur. Namun sebenarnya, apa makna dari arsitektur nusantara itu sendiri? Jika ditanya mengenai hal tersebut, ternyata banyak insan academica yang belum mengetahui maknanya. Kadang juga terjadi perbedaan pendapat dalam memaknai apa sesungguhnya arsitektur nusantara tersebut.
Arsitektur merupakan suatu bentuk perwujudan ruang bagi manusia. Jika dalam hal ini yang disinggung adalah arsitektur nusantara, maka pokok bahasannya adalah ruang bagi manusia yang bernaung di bumi nusantara itu sendiri. Jika demikian, maka kami menyimpulkan bahwa arsitektur nusantara merupakan suatu bentuk ruang bagi manusia yang mengusung lokalitas masing-masing daerah yang terpadu dalam sebuah ke-bhinneka tunggal ika-an dari nusantara.
Nusantara seringkali dipahami sebagai sebuah monopoli politik dan ekonomi berdasarkan letak geografisnya. Dan begitu pula pemahamannya terhadap arsitektur nusantara. Maka itulah perlu diadakannya rekontekstualisasi dalam arsitektur nusantara. Agar kita sebagai bangsa Indonesia dapat memaknai kembali hakekat lokalitas arsitektur nusantara.
Dalam merekontekstualisasikan arsitektur nusantara hendaknya melewati jalur-jalur yang selama ini mempengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia. Di antaranya jalur pendidikan dan keilmuan, jalur kekuasaan dunia dagang dan politik.
Sebagai langkah awal untuk merekontekstualisasikan arsitektur nusantara, kita harus merubah pola mentalitas dan pola pikir kita. Sebab jalur pendidikan dan keilmuan ini merupakan jalur yang paling bisa kita tempuh sebagai civitas academica. Tentunya kita harus menyepakati bagaimana konteks arsitektur nusantara yang seharusnya. Sehingga kita dapat memahami permasalahan-permasalahan apa saja yang perlu kita perbaiki saat ini. Dan makna-makna apakah yang kini telah hilang dari arsitektur nusantara. Lalu apakah definisi-definisi berikut bisa disepakati ?
Arsitektur nusantara adalah arsitektur yang sosialis, dan bukannya arsitektur yang individualis. Arsitektur nusantara bukanlah suatu bangunan tunggal terbangun dalam satu petak tapak, namun arsitektur nusantara adalah arsitektur yang terbangun di tengah-tengah masyarakat. Selama ini kita selalu terpaku dengan bentuk-bentuk presentasi arsitektur masa kini yang spektakuler, seolah keutamaan dalam arsitektur adalah menjadi bangunan tunggal yang menjadi pusat perhatian. Namun arsitektur nusantara mengingatkan kita kembali, bahwa makna arsitektur sesungguhnya lebih dari itu semua. Arsitektur tidak dapat dinilai hanya dari keindahan segi fisiknya saja, namun hal yang terpenting sesungguhnya adalah bagaimana arsitektur tersebut mampu berdiri menyatu sebagai bagian dari masyarakat. Karena arsitektur sesungguhnya bukanlah sekedar gambar namun merupakan suatu gambaran dari realita kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Arsitektur nusantara sarat akan simbol dan makna. Dalam setiap gambaran arsitektur-arsitektur nusantara yang ada, setiap detail yang ditampilkan selalu memiliki simbol dan maknanya tersendiri. Simbol-simbol yang sarat akan makna sosial,religius, serta budaya dihadirkan dalam hasil karya arsitektur. Segala unsur dan bagian dalam arsitektur nusantara pun memiliki makna. Hal inilah yang kini mulai digeser oleh arsitektur modern. Bangunan dianggap sebagai produk masal cepat guna yang tidak membutuhkan simbol dan makna di dalamnya. Akhirnya manusialah yang menjadi korban, karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang suka memberikan simbol dan makna dalam setiap aspek kehidupannya. Sehingga di saat arsitektur dianggap sesuatu yang universal, akibatnya manusia merasa kehilangan jati diri, dan tidak dapat mengekspresikan eksistensinya sebagai manusia. Dengan kata lain, arsitektur yang demikian tidaklah memanusiakan manusia.
Arsitektur nusantara merupakan arsitektur yang tanggap iklim. Arsitektur nusantara lahir di daerah yang memiliki iklim tropis. Kebijaksanaan dalam menyikapi iklim tropis di Indonesia dapat dilihat dari bagaimana pemanfaatan unsur iklim di dalamnya. Arsitektur nusantara berhasil menyinambungkan dirinya dengan alam dengan memilih bentukan yang paling sesuai dengan potensi alam yang ada. Kita tidak dapat meng-universalkan arsitektur, karena bentukan arsitektur yang dibutuhkan dari daerah yang beriklim tropis dengan daerah yang beriklim subtropis tentunya tidak akan sama. Daerah tropis membutuhkan bentukan arsitektur pernaungan dan bukannya arsitektur gua. Kita tidak membutuhkan banyak dinding masif dalam bentukan arsitektur kita, karena Indonesia berada di wilayah tropis dengan potensi penghawaan dan sinar matahari yang baik.
Sedangkan cara berikutnya untuk merekontekstualisasikan arsitektur nusantara lewat jalur kekuasaan dunia dagang dan politik ialah dengan membangun kerjasama dari kedua bidang tersebut agar memiliki pola mentalitas dan pola pikir yang jauh dari eropasentris. Seluruh pihak yang terkait mulai dari pemerintah, aparatur negara, arsitek dan praktisi masyarakat harus bekerjasama untuk mengembalikan identitas nusantara beserta lokalitasnya dalam kancah dunia perpolitikan dan perdagangan.
Bukanlah hal yang mudah untuk dapat merekontekstualisasikan arsitektur nusantara. Karena hal ini tentunya membutuhkan suatu bentuk perbaikan terstruktur yang menyeluruh. Pada awalnya kita haruslah kembali menyadari fitrah kita sebagai manusia, dimana kita memiliki suatu ciri khas dan detail tersendiri. Sehingga sudah saatnyalah kita mulai meninggalkan pola pikir kita yang eropasentris, karena kita hidup di bumi nusantara tercinta. Kita harus mulai menyadari pentingnya untuk mengembalikan arsitektur kembali pada konteksnya. Hal ini bukan berarti kita secara mentah-mentah kembali kepada arsitektur tradisional, namun hal yang lebih penting dari semua itu adalah untuk kembali pada makna-makna yang dimiliki oleh arsitektur nusantara yang sesungguhnya...
Oleh :
Kelas A
Kelompok 2
M. Zikrillah NIM. 0710650011
Qurrotul A’yun NIM. 0710650018
Dwiyana Apriyanthi NIM. 0710650016
Arif Kurniya NIM. 0710650063
Thoriqi Batata NIM. 0710653021
Arsitektur nusantara dapat terbentuk oleh rentang waktu historis, subyek pelaku proses dan jenis lingkungan alam di dalamnya terdapat keragaman tolak ukur, nilai makna sekaligus ungkapan simbol tektoniknya. Dalam hal ini, bisa dibilang mitos dan kepercayaan pun sangat erat hubungannya dengan arsitektur nusantara. Terkadang mitos dan kepercayaan sangat dominan. Entah karena alasan yang logis atau tidak. Alasan yang sring kali dianggap tidak logis di masa modern ini, kebanyakan oleh masyarakat setempat masih sangat dijunjung tinggi.
Bagaimana menyikapi atau merekonstekstualisasikan arsitektur nusantara dalam kaitannya dengan mitos dan kepercayaan pada suatu tempat , sehingga budaya bangsa dapat dilestarikan di masa yang akan datang?
Indah F.0610650041/Galuh P.0610650037/Nadya A.0610650055/Swasti N.0610650074/Ditarian Noor S.0610653019
Deviyandra 0610653016
Adhiati widyastuti 0610650001
Condro
Kami sejujurnya sangat mengagumi tulisan bapak. ini benar adanya karena selama ini kami sebagai mahasiswa arsitek hanya berkutat dengan desain-desain yang mungkin kadang tidak berdasar dimana kami ini sebenarnya sedang mendesain.
Pada pembahsan kali ini yaitu Arsitektur Rakyat di Nusantara, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, bahkan antar bangsa, untuk keluar dari JEBAKAN PERKERDILAN dan penghancuran benih sifat kemanusiaan
Apa yang dimaksud untuk lepas dari jebakan pengkerdilan (dalam arsitektur)adalah seperti umumnya, hasil karya arsitektur akan dikatakan bagus atau diakui secara umum yaitu yang mengikuti standar atau kaidah arsitektur barat. padahal diketahui setiap wilayah memiliki lokalitas yang bebeda. maka dari itu di perlukan bahu-membahu antar bangsa untuk mempertahankan lokalitas agar keluar dari jebakan pengkerdilan. sehingga dengan begitu walaupun tidak mengacu standar barat, nemun hanya mengadopsi sesuai kebutuhan, suatu karya arsitektur dapat diakui.
Rekonstektualisasi Arsitektur Nusantara merupakan sebuah usaha untuk mengembalikan identitas Arsitektur Nusantara yang selama ini mulai terlupakan. Kenapa Arsitektur Nusantara harus direkontekstualisasi, karena identitas dari Arsitektur Nusantara itu sendiri mulai terlupakan dan tergeser oleh budaya “kebarat-baratan” yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi. Yang dimaksud dengan pengaruh globalisasi di sini adalah perubahan pola pikir masyarakat Indonesia yang saat ini lebih senang mengagung-agungkan budaya barat. Perubahan pola pikir tersebut telah menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia melupakan budayanya sendiri, masyarakat seakan beranggapan bahwa budaya eropa dan amerika (dunia barat) merupakan budaya yang lebih baik dan lebih pantas untuk diikuti. Salah satu contoh yang terlihat dengan jelas adalah dalam hal fashion, cara berpakaian masyarakat Indonesia yang semakin meniru bangsa barat. Masyarakat pun lebih menyenangi barang produksi luar negeri dari pada produksi dalam negeri. Lebih parah lagi pengaruh globalisasi telah menjangkit kebudayaan berarsitektrur masyarakat Indonesia.Begitu pula dalam dunia pendidikan Arsitektur, literature yang digunakan sebagai acuan dalam desain merupakan literature-literature buatan luar negeri (Barat) yang sebenarnya belum tentu cocok diterapkan untuk arsitektur di Indonesia, karena iklim Indonesia dan Iklim Eropa/Amerika yang sangat berbeda. Indonesia dengan iklim Tropis dan Negara-negara Eropa/ Amerika yang beriklim Subtropis. Sebenarnya Arsitektur Nusantara merupakan arsitektur yang sangat sesuai untuk iklim dan lingkungan Indonesia, namun karena pola pikir yang terlanjur mengagung-agungkan dunia barat menyebabkan masyarakat seakan lupa akan Arsitektur Nusantara tersebut.
Adapun cara merekontekstualisasi Arsitektur Nusantara adalah dengan memahami Arsitektur Nusantara lebih mendalam bahwa arsitektur bukan hanya merupakan seni dan teknik merancang bangunan semata tetapi juga merupakan bagian dari identitas suatu lokalitas (Nusantara) itu sendiri,sehingga menemukan konsep arsitektur kita sendiri sebenarnya seperti apa. Kemudian mulai memperbaiki pola pikir yang kebarat-baratan tersebut dimulai dari diri sendiri sebagai mahasiswa Arsitektur dan calon Arsitek yang nantinya akan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan Arsitektur di Indonesia. selain itu kita sebagai mahasiswa arsitektur jangan hanya sibuk mempelajari teori-teori Arsitektur saja, apalagi teori-teori yang dipelajari sering kali tidak tepat bila diterapkan di Indoneasia sendiri. Namun bukan berarti dalam aplikasi atau prakteknya kita asal-asalan. Konsep Arsitektur Nusantara itu sendiri sudah sesuai dengan konsep Arsitektur di Indonesia, dan teknologi bahan bangunan yang maju dan berkembang saat ini dikuasai oleh Negara barat. Sebaiknya dalam merekontekstualisasikan Arsitektur Nusantara, kita harus melihat dari dua sisi yaitu Arsitektur Nusantara dan Teknologi yang berkembang. Salah satunya memahami dan menguasai Arsitektur Nusantara sebagai konsepnya dan dan teknologi yang berkembang saat ini sebagai media dalam prakteknya.
Arsitektur Nusantara merupakan identitas bangsa yang tak bisa terbantahkan, menjadi identitas bangsa Indonesia. Arsitektur Nusantara tetap hidup dan eksis walau hamper tak pernah digaungkan namanya dalam setiap pelaksanaan studio dan forum arsitektur yang sangat condong pada konsep keilmuan barat. Arsitektur Nusantara tidak hanya erat kaitannya dengan unsur lokalitas dan budaya. Arsitektur Nusantara lebih dalam lagi melihat aspek – aspek kemanusiaan dan nilai – nilai manusiawi. Hal – hal yang tak akan pernah bias diberikan oleh ilmu barat yang terus tiada henti mengoyak identitas bangsa ini. Ilmu dunia barat tidak dapat disalahkan sepenuhnya,karena hal ini menjadi antiklimask jika kita tidak melihat apa yang telah kita lakukan selama ini. Ilmu barat seakan tumbuh subur dan mendapat tempat di negara ini tidak lepas dari pola berfikir dan kesadaran kita sendiri yang seakan menganak tirikan Arsitektur Nusantara sebagai identitas bangsa ini. Kita terlalu sibuk untuk mengagumi hal – hal dari dunia barat. JIka dilihat secara lebih mendalam, sangat hebatkah ilmu mereka dibandingkan dengan warisan budaya dari nenek moyang bangsa kita????? Setiap individu bangsa ini harus bangun dari jeratan dunia barat yang membelenggu, sudah saatnya untuk bangkit demi identitas bangsa kita ini. Nilai – nilai kemanusiaan akan sebuah berarsitektur harus dikembalikan. Sehingga arsitektur bukan menjadi suatu ajang pamer kemampuan akan rancangan dan kehebatan seseorang,arsitektur harus menjadi perjuangan bagi kehidupan manusia, berjuang bersama dan bahu – membahu bagi setiap insan kemanusiaan atas nama identitas bangsa Indonesia. Arsitektur harus melihat nilai kemanusian sebagai hal terpenting untuk diperjuangkan, nilai kemanusiaan yang terampas oleh ketidakmampuan bersikap terhadap invasi budaya barat. Semua hanya terbuai,tertipu oleh rasa kagum hingga lupa akan identitas yang dimiliki. Arsitektur Nusantara terus ada bagi bangsa ini, bagi rasa kemanusiaan, bagi budaya dan lokalitas, dan bagi identitas bangsa ini. Begitu banyak perbedaan dalam ragam budaya lautan nusantara ini. Berarsitektur telah ada sejak dulu, setiap kebudayaan memiliki cirri khas tersendiri yang menjadi keunikan dari budaya itu sendiri. Secara kasat mata,hal itu memperlihatkan adanya perbedaan dari setiap kebudayaan yang ada dinegara ini. Padahal semua itu bersumber dari hal yang sama, semua hal yang terlihat berbeda memiliki unsur kesamaan, semua itu dijembatani oleh Arsitektur Nusantara. Sehingga setiap perbedaan yang ada, setiap budaya yang ada, tidak pernah sekalipun meninggalkan nilai – nilai kemanusiaa dalam penerapannya. Itu karena Arsitektur Nusantara hadir untuk nilai – nilai kemanusiaan dan identitas bangsa ini,bangsa Indonesia. Akankah kita hanya diam dan tahu tanpa menerapkannya dalam kehidupan????Inilah identitas kita sebagai bangsa, Arsitektur Nusantara.
KELOMPOK 1B :
Afief Fithrotun Nisa.0610650007
Ayuda Widiasmara. 0610650019
Dina Kartika Sari. 0610650028
I Made Gilang Candra P.R.0610650040
Proklam Bekti Utami. 0610653042
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Kelompok 6
Stephanny Kumala Dewi 071-0006
Anisah Nur Fajarwati 071-0048
Meita Tristida Arethusa 071-0049
Dike Yanuarista 071-3003
Siti Maria Ulfa 071-3039
Bicara tentang rekontekstualisasi arsitektur nusantara berarti berusaha mencari kembali konteks arsitektur yang me-Nusantara. Tetapi apa dan bagaimana arsitektur nusantara itu sebenarnya? Seringkali kita tidak benar-benar paham dan mengerti tentang kebenaran dan eksistensi arsitektur nusantara, atau malah sekedar menyalah-tafsirkannya sebagai arsitektur tradisional semata.
Pada kenyataannya, arsitektur nusantara lebih kompleks dari apa yang kita mengerti selama ini. Sebagaimana disebutkan dalam Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture Atas Karya-karya Eko Prawoto, arsitektur ini mewadahi sekaligus ruang dan waktu (space and time). Arsitektur nusantara adalah juga tentang identitas bangsa, yang merepresentasikan bangsa secara holistik, termasuk di dalamnya konteks budaya dan sosial yang tidak diskriminatif dan terkotak-kotak.
Lalu bagaimana cara merekontekstualisasikannya? Ada beberapa cara, diantaranya sebagaimana dilakukan oleh Eko Prawoto, yaitu dengan melihat kembali “arsitektur rakyat” di kampung-kampung Indonesia yang seringkali terlupakan oleh arsitek-arstitek keluaran kampus atau arsitek skolastik (meminjam istilah dari Pangarsa, 2008). Di tempat-tempat sederhana ini terdapat berbagai ide-ide kreatif yang polos dari penghuninya untuk membentuk satu hunian yang nyaman, sesuai dengan kehidupan mereka. Seringkali apa yang mereka ciptakan lebih efektif dan aplikatif daripada teori-teori dengan sederet rumus yang kita hapalkan lewat buku-buku asing. Dari kampung itu juga kita dapat menarik realita akan seringnya kita lupa bahwa desain yang kita rancang adalah untuk masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk belajar akan konteks ‘nyaman’ menurut mereka, tidak hanya bersumber dari literatur dan gambar yang kurang dapat mewakili realitas yang ada, apalagi dengan berbagai standar yang notabene non-lokal.
Selanjutnya adalah dengan menoleh ke belakang, yaitu ke arah arsitektur tradisional yang oleh masyarakat ‘modern’ sering dianggap kuno dan primitif. Padahal, di dalam perkembangannya sejak zaman nenek moyang, arsitektur tradisional telah berusaha beradaptasi secara bertahap untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi geografis yang membedakan Indonesia dengan wilayah lainnya. Akan sangat egoistik jika kita membanggakan arsitektur modern yang baru berusia beberapa puluh tahun dengan arsitektur para pendahulu kita yang memerlukan waktu ratusan tahun untuk menyesuaikan diri dengan ekologi kita. Akan tetapi, ini bukan berarti mengembalikan arsitektur Indonesia ke masa lalu, melainkan berusaha menyaring nilai-nilai penting dari arsitektur tradisional untuk diterapkan ke dalam arsitektur masa kini, sesuai dengan peradaban dan teknologi yang kita miliki.
Arsitektur nusantara adalah bahasa simbol. Dan simbol adalah sesuatu yang selalu dicari oleh manusia, disadari maupun tidak. Simbol ini berfungsi untuk memberikan makna pada karya, setidaknya bagi diri pembuatnya sendiri. Oleh karenanya, arsitektur yang tidak memberikan simbol dalam bentuk detil pada karyanya berarti tidak mewadahi fitrah manusia terkait. Realitanya, bahasa simbol terwakili oleh keberadaan arsitektur kampung dan arsitektur tradisional. Di dalam keduanya tersimpan jutaan detil dan makna yang saling bertumpuk satu sama lainnya, yang menunggu untuk dimengerti dan dipahami oleh manusia saat ini.
Sebagai mahasiswa yang masih belajar, ada cara yang lebih mudah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam usaha merekontekstualisasi arsitektur nusantara. Yaitu dengan mengembalikan desain pada eksisting secara grafis. Cara ini memudahkan kita secara visual untuk menilai seberapa sesuai desain kita dengan kondisi tapak dimana rancangan kita akan dibangun. Dengan demikian arsitektur tidak hanya dinilai sebagai bangunan tunggal, tetapi sebagai bagian dari keseluruhan yang kompleks.
Selain itu, pihak kampus juga tidak boleh tinggal diam. Diperlukan kerjasama menyeluruh dari seluruh partisipan universitas, terutama litbang, untuk memberikan fasilitas yang kondusif dan konstruktif dalam upaya mendukung pemahaman akan arsitektur nusantara sehingga calon-calon arsitek Indonesia dapat memahami jati diri arsitekturnya dengan lebih baik. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh anak muda, “be yourself”, mungkin ada benarnya. Be Yourself” dalam hal ini bukanlah bertindak sebebas dan semau kita (yang pada akhirnya hanya mengarah pada nafsu destruktif), tetapi mencoba menyelami diri kita sendiri sampai ke bagian paling dasar yaitu hati nurani, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur arsitektur nusantara yang bersahaja (meminjam lagi istilah dari Pangarsa, 2008).
Tinjauan:
Pangarsa, Galih Widjil. 2008. Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture Atas Karya-karya Eko Prawoto. Yogyakarta: Andi.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
REKONTEKSTUALISASI ARSITEKTUR NUSANTARA
Bila melihat kembali ke belakang dimana indonesia mulai terusik oleh kedatangan petualang-petualang Eropa pertama, dengan keinginan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda mulai memperkenalkan gaya arsitektur mereka ke kawasan bumi nusantara dan selanjutnya banyak unsur arsitektur Eropa yang masuk dalam tradisi arsitektur setempat. Namun, peletakan gagasan ini bukan proses satu arah, orang Belanda memakai unsur arsitektur pribumi guna menciptakan bentuk arsitektur kolonial yang kemudian dikenal sebagai gaya Hindia.
Inilah awal mula pergerakan globalisasi memasuki ranah budaya Indonesia. di mana banyak style arsitektur “internasional” yang diterapkan pada bangunan-bangunan di Indonesia. Pencarian kembali terhadap identitas bangsa dengan menggali kembali pemikiran-pemikiran masa lalu beserta perkembangannya hingga ke masa kini juga prospeknya ke depan, adalah tugas kita sebagai kader pembaharuan.
Konsepsi mengenai Arsitektur Nusantara membawa kita kepada dua kata yaitu, Arsitektur dan Nusantara. Makna dari masing-masing kata yang terdapat didalamnya dapat dijabarkan antara lain : Arsitektur, menurut Romo Mangun, adalah Guna dan Citra. Yaitu bangunan yang tidak sekedar fungsi, namun juga mengandung citra, nilai-nilai, status, pesan dan emosi yang disampaikannya. Menurut Josef Prijotomo, arsitektur adalah karya dan cipta manusia dengan langsung dikendalikan kehadirannya oleh manusia penciptanya di satu sisi dan dikondisikan kehadirannya oleh tempat saat.
Kata Nusantara agaknya sulit diidentifikasi setelah selama 350 tahun dibelenggu oleh penjajah. Demikian pula dengan arsitektur nusantara, jati diri arsitektur nusantara nampaknya tidak berdiri tegak di negeri sendiri, arsitektur kolonial yang merupakan warisan dari penjajah masih sedikit banyak telah menjadi kiblat pembangunan di Indonesia.
Keanekaragaman suku, ras, dan agama rakyat di Indonesia juga telah membentuk pola arsitektur yang bervariasi. Hakikat arsitektur yang dipegang teguh oleh tiap etnis agaknya sulit untuk disatukan. Namun arsitektur nusantara tidak berpijak atas perbedaan-perbedaan tersebut, melainkan bagaimana kebhinekaan tersebut menjadi ika dan akhirnya dapat menjadi identitas arsitektur bangsa.
Gaya internasionalisme terus berkembang yang mengakibatkan terdesaknya unsur-unsur setempat yang sangat sedikit terlihat didaerah-daerah bergengsi di kota-kota baru Indonesia, para kritikus menyebut hal ini dengan sebutan “krisis jati diri budaya”, hal ini sendiri menyangkut daripada mentalitas yaitu bagaimana kita memaknai kembali apa itu Nusantara.
Memunculkan kembali lokalitas nusantara ditengah unsur globalitas, dan juga mencoba menghilangkan pandangan umum dengan sikap pesimistik dan sinis atas Arsitektur Nusantara. Hal ini merupakan peranan dari masyarakat indonesia pada umumnya dan masyarakat arsitektur pada khususnya.
Arsitektur Nusantara yang dalam hal ini merupakan lokalitas geografis indonesia, dapat dikatakan pula sebagai arsitektur yang memanusiakan manusia, dikarenakan konsep pernaungan dalam Arsitektur Nusantara ini, berkaitan erat dengan lingkungan alam sekitar dan hal ini persis seperti tradisi manusia di Nusantara. Ruang luar Arsitektur Nusantara adalah ruang berkehidupan bersama dan itulah menunjukan bahwa ialah arsitektur bagi fitrah manusia.
Diskusi kelompok bagaimana merekontekstualisasikan arsitektur nusantara :
Afif (061-...)
Ikalia Puspitasari (071-0042)
M. Riza Aulia (071-3022)
Sherly Devianti (071-3041)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
assalamualaikum wr wb....
setelah membaca tulisan pak galih ini,,kami bisa menangkap garis besarnya, yaitu mengenai lokalitas dan universalitas, dimana diantaranya terdapat arsitek alam.disini arsitek mungkin lebih ke penentu,,, akan dibawa ke mana kebudayaan qta nantinya. kental dengan lokalitas, atau perpaduan antara keduanya atau hanya kuat universalitasnya saja dalam hal ini seperti kebudayaan eropa.Orang Indonesia sekarang ini terlalu berkiblat dengan kebudayaan barat,,,begitu ada yang bagus, megah,langsung saja diterapkan,langsung saja dicontoh. tidak memperdulikan lingkungan alamnya,,,simbisis mutualismekah atau malah merugikan.seperti di tulisan bapak ini,,,para arsitek-arsitek berlomba untuk menjadi "bintang",keegoisan, hasrat ingin menguasai. seperti yang terjadi sekarang ini.
fenomena sekarang ini,,indonesia tampak sudah kehilang jati dirinya,,,terlalu berkiblat sama universalitas.padahal masik banyak lokalitas nusantara yang bisa digali, dikembangkan,,,dan bisa menjadisuatu fenomena. Mungkin seperti pak Eko P, yang kental dengan karya2nya yang benar2 mencirikan lokalitas nusantara,,,sampai akhirnya dibawa ke luar negeri.
Semua itu tidak mudah juga pak,,, semua tergantung dari manusianya sendiri,,,dimana mereka digerakkan oleh hati nuraninya. mau diperbudak dengan dengan hasrat keegoisan,,,keserakahan ingin menguasai semuanya jadi tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya.
intinya kita semua sebagai generasi muda,,jangan hanya menerima saja,,,jangan hanya maunya yang instan saja. jadilah orang yang selalu peka dengan lingkungan sekitarnya, peka dengan alamsekitarnya, di nmana dia tumbuh,, di mana dia dibesarkan.
kelmpok arnus kelas A
FETI M 0610650036
MERYLIA 0610653032
DEITH A 0610650024
IRAWAN 0610650043
RODHI F 0610650067
Kelompok 6:
Agung Hilmiawan 05-3002
Femmy M. 05-3021
Septi Dwi Cahyani 06-0071
Wisnu Senjaya 06-0084
Rony Dwi Arta 06-3049
Memang setelah kami renungi, tidak terasa sebenarnya bangsa kita masih terjajah, walaupun secara kasat mata kita sudah merdeka memiliki pemerintahan sendiri. Semakin dewasa kami semakin tahu, banyak sumber daya alam yang terdapat di dalam bumi Nusantara ternyata tidak dikelola bahkan tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Aset-aset yang dimiliki diobral dengan dalih kerjasama atau “apalah” yang sebenarnya secara perlahan-lahan akan dikuasai oleh bangsa lain.
Efek globalisasi yang terjadi juga “mengancam” pada lokalitas arsitektur. Fenomena tersebut tak urung membuat kita semakin bertanya – tanya tentang identitas (jati diri) bangsa kita. Bila kita tidak memiliki pandangan yang cukup kuat, maka kita akan dengan mudah beralih kepada cara pandang hidup dan peradaban arsitektur yang tidak kita miliki, sehingga kita akan “meminjam” dari bangsa lain untuk peradaban arsitektur. Oleh karena itu sebagai langkah awal perlunya mengetahui jati diri bangsa kita dalam rangka kembali mencari substansi – substansi yang hilang yang seharusnya telah mengakar berabad – abad tahun yang lalu.
Perlunya mencari tau siapakah diri kita, membentuk pemikiran akan cara pandang kita terhadap diri sendiri, di mana kita hidup berdampingan dengan peradaban lain di seluruh dunia. Mencari tau asal tempat kita berpijak, akan memberikan pandangan bagi kita untuk menguatkan identitas peradaban. Mencari jati diri siapa nenek moyang kita, diarahkan agar kita tidak salah dalam memandang sejarah, sehingga kita memiliki hubungan masa lalu yang kuat dan patut dipertahankan.
Untuk selanjutnya tinggal mencari tau mau di kemanakan arah langkah kita. Perlunya menarik garis – garis batas yang memungkinkan kita mengkaji ulang kekayaan (tradisi dan cara pandang hidup) bangsa ini sebagai dasar untuk menentukan arah langkah selanjutnya.
Bercermin pada kejadian tersebut (sependapat dengan penulis), secara kasar kami ungkapkan bahwa arsitektur nusantara ya arsitektur nusantara (Indonesia), bukan arsitektur barat ataupun arsitektur lainnya. Kita ini hidup di Indonesia (Nusantara), hidup di wilayah beriklim tropis, suatu negara yang beriklim tropis memiliki 2 musim, musim hujan dan musim kemarau, disinari matahari sepanjang tahun, yang membuat seluruh Nusantara memiliki lahan hijau, lahan yang subur, berdaun sepanjang tahun. Kondisi seperti ini yang membuat keramah-tamahan manusia yang terdapat di dalam Nusantara. Sedangkan bangsa lainnya di daerah barat tidak sama seperti Nusantara, kita tahu bahwa iklim disana memiliki empat musim. Sudah jelas bahwa dilihat dari segi kondisi geografisnya saja benar-benar tidak sama antara arsitektur Nusantara dengan arsitektur barat atau arsitektur lainnya.
Oleh karena itu sebagai perenungan, seharusnya seorang arsitek Indonesia dapat lebih menghargai, lebih memperhatikan lagi bahwa di dalam Nusantara yang kita tingggali ini telah diberikan nikmat yaitu kekayaan alam yang melimpah/sangat berlebih oleh Allah SWT. Tinggal manusianya saja mau bersyukur atau tidak. Seperti janji Allah, barang siapa yang mau bersyukur insyaAllah akan ditambah nikmatnya, akan tetapi barang siapa yang khufur terhadap nikmatNya, maka azablah yang akan diberikanNya, naudzubillah, semoga kita digolongkan dengan orang-orang yang bersyukur.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
desetri eka firosa a(07-0059)
kukuh alfandi (07-0061)
anisya khairina (07-0064)
fenny musfiana amaliyah (07-3035)
dwi utami handayani (07-3045)
Merekontekstualisasikan arsitektur nusantara?
Sebelum kita menjawab pertanyaan diatas, perlu kita sepakati yang dimaksud dengan merekontekstualisasikan. Merekontektualisasikan yang dimaksud adalah mengidetifikasi kembali diri. Sedangkan arsitektur nusantara adalah arsitektur yang merakyat yang sesuai dengan mental budaya bangsa (sendiri) Indonesia.
Fenomena arsitektur, keberadaanya selalu terjadi dalam sumbu ruang dan waktu. Indonesia perlu melakukan rekontektualisasi, karena bangsa kita mengalami krisis identitas budaya. Saat bumi nusantara kita dipenuhi estetika asing dan tanpa jati diri.
Bagaimana merekontektualisasikan arsitektur nusantara sini dan disini?
Memaknai kembali, apa itu nusantara. Nusantara, yang berkonotasi lokalitas geografis. Mengajarkan kita untuk kembali pada lingkungan sehari-hari kita. Membangun suatu bangunan yang penuh makna dan energy sehingga tercipta suatu kenyamanan bagi penghuni dan lingkungan sekitar. Arsitektur vernacular/tradisional indonesia yang telah berdiri beratus-ratus tahun yang lalu mengajarkan kita banyak pengalaman. Keberagaman ciri arsitektur yang tersebar dipermukaan bumi nusantara yang dibangun sesuai dengan lingkungan geografis setempat, serta dengan cara tradisional masih dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Sebagai arsitek, kita seharusnya bangga akan arsitektur yang diwariskan oleh nenek moyang kita, dari pada ilmu arsitektur dari barat yang sekarang cenderung dijadikan kiblat.
Manusia adalah homo symbolicus. Memerlukan symbol dan peka akan detail. Manusia memerlukan focus. Ini adalah salah satu cara kita sebagai arsitek yang peka untuk memanusiakan manusia. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan adanya hubungan yang menjembatani antara teori dan praktek. Adakalanya kita hanya bisa menulis berbab-bab buku yang hanya dibaca, tanpa dipraktekkan. Dan adakalanya, kita hanya bisa praktek tanpa teori yang benar, ataupun sudah praktek dengan baik tetapi tidak diulas sehingga tidak bisa membagi ilmu dan pengalaman dengan orang lain.
Cara yang terpenting agar Indonesia dapat terus eksis akan identitas diri bangsa, adalah memiliki sistem politik dan budaya yang pokok dan membumi. Indonesia memerlukan seorang pemimpin yang memiliki perspektif budaya yang luas. Pemimpin yang memikirkan rakyat, dan didengar oleh rakyatnya. Kita sebagai bangsa yang majemuk memiliki banyak keragaman dan budaya, seorang pemimpin yang harus memiliki kepekaan pada hal kebudayaan. Karena, kebudayaan menyangkut mentalitas bangsa. Kembali lagi pada kesepakatan diatas, merekontektualisasikan arsitektur nusantara yaitu mengembalikan identitas diri yang sesuai dengan mental budaya kita (Indonesia).
[noe]
Seberapa pentingkah jati diri?
Jati diri merupakan segala sesuatu yang melekat pada individu, yang mana melalui jati diri, setiap individu memiliki ekspresi diri. Ekspresi diri mengkristal menjadi karakteristik suatu individu sehingga keberadaan individu tersebut baru dapat dirasakan bila ada indikasi mengenai karakteristik yang merepresentasikan dirinya. Sebagai sebuah contoh sederhana adalah sebuah nama, malalui sebuah nama, manusia mengenal manusia lainnya setiap detil karakter yang dimiliki baik fisik maupun non-fisik yang mana dipandang sebagai representasi kesatuan/komposisi yang menyusun sebuah individu manusia. Lalu seberapa pentingkah sebuah nama sebagai bagian dari jati diri? Nama yang kita miliki sekarang diberikan orang tua kita sebagai representasi dari harapan akan jati diri yang akan kita miliki kelak, melalui nama itu juga, maka dimulailah keberadaan kita secara sosial di dunia dimana setidaknya keberadaan diri kita miliki masih melekat dengan jati diri orang tua. Namun seiring waktu menua dalam kedewasaan manusia, karakter terbentuk melalui proses tempaan hidup hingga menyusun karakter-karakter (kekayaan suatu individu) menjadi satu kompleksitas karakteristik yang merepresentasikan keunikan suatu individu. Lalu bagaimana jika jati diri itu hilang? bila nama itu hilang, maka masih ada ciri-ciri untuk dikenali, dan bila ciri-ciri itu hilang? maka hilanglah keberadaan(eksistensi) kita di muka bumi, tidak akan pernah ada yang bisa mengenali keberadaan kita bahkan dapat dikatakan kita tidak ada bahkan tidak pernah ada.
Arsitektur sebagai bagian dari budaya merupakan suatu kristalisasi pemikiran manusia yang terakumulasi melalui perjalanan ruang-waktu sehingga membentuk sebuah jalur identitas yang kompleks dan menerus sehingga karakteristik –karakterisitik yang ada telah kuat-melekat dalam suatu kesatuan komposisi jati diri arsitektur.Sebagai bagian dari kehidupan manusia yang terikat ruang dan waktu, arsitektur sangatlah terikat dan merepresentasikan keadaan tempat dan waktu dimana manusia itu berada, yang kita sering sebut dengan lokalitas, dimana lokalitas tersebut juga merupakan jati diri sekelompok manusia dalam ruang-waktu yang sama. Bila demikian maka setiap daerah lokal akan berbeda satu dengan lainnya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah tidak ada yang mempersatukan keragaman tersebut dalam kesemestaan? Tentunya ada satu jati diri yang universal, dimana setiap individu mencari-cari, mengharapkan, bahkan meyakini, yaitu Sang Khalik sebagai faktor universal,dimana kecenderuangan manusia mengarah pada Sang Khalik dalam setiap makna yang terukir dalam hidup dan perilakunya, dengan kata lain adalah kodrat yang diberikan Sang Khalik yang mempersatukan kelokalan manusia.
Universalitas bukan globalisasi, nilai-nilai universal memaknai setiap keragaman lokalitas, tetapi tidak menghilangkan keragaman tersebut, berbeda halnya dengan globalisasi, dimana melalui globalisasi muncul bukan lagi keragaman melainkan keseragaman, dimana lokalitas sebagai suatu jati diri dipangkas habis dengan dalil efisiensi dan ketersedian modul bahan. Melalui gerakan modernisasi yang dalam dunia arsitektur mengkristal menjadi gaya Internasionalisme, dimana terjadi keseragaman gaya di seluruh belahan dunia. Yang menjadi pertanyaan, apakah manusia akan tahan dengan keadaan ini?yang mana kecenderungan manusia untuk menjadi unik. Bangunan yang dibangun di atas tanah mereka tidak merepresentasikan mereka, lingkungan yang ada dan histori yang pernah terjadi di atas tanah tersebut, lalu apakah bangunan tersebut sungguh-sungguh dimiliki mereka, atau hanyalah tamu?
Melalui pemahaman seperti yang kami ungkapkan, maka kami sangat setuju dengan apa yang terdapat dalam posting Arsitektur Rakyat di Nusantara dan Mutiara Hikmah Pelajaran dimana lokalitas merupakan suatu kekayaan yang menyangkut jati diri manusia, bangsa. Dimana suatu keharusan untuk dikontekstualkan kembali.Pengkontekstualan kembali Arsitektur Nusantara mestilah beranjak dari pemikrian dan pandangan, dimana pandangan dan pemikiran saat ini ditempa di bangku pendidikan, sehingga sangatlah perlu untuk merubah metode dan pandangan yang skolastik menjadi yang praktikal, karena sesungguhnya pemahaman tentang seni khususnya arsitektur bukanlah sesuatu yang sifatnya hanya substansi saja ada hal yang perlu dihayatai secara ruang-waktu.
Selain itu yang kami rasakan sebagai seorang mahasiswa, bahwa anjakan paradigma yang kita miliki dimulai dengan teori-teori dunia barat, yang mana konsen nya tentunya dengan keadaan di dunia barat bukan di sini. Sesungguhnya bukan berarti kita tidak mesti mempelajari hal itu, tapi lebih ke arah sikap ilmiah kita, supaya tidak terlalu membutakan diri dengan eurosentrisme, dimana kita juda memiliki jati diri yang patut kita banggakan, dan pada kenyataannya sesungguhnya membanggakan, hanya kita saja yang telah terlalu buta mata hati.
Hasil rangkuman dan diskusi kelas Arsitektur Nusantara 17 Maret 2009 (Revisi)
Pengertian Arsitektur Nusantara
Arsitektur pada awalnya diartikan sebagai ilmu bangunan gedung, yaitu tentang struktur dan konstruksi. Kemudian terjadi perkembangan arsitektur sebagai ilmu perancangan lingkungan binaan. Tetapi sekarang arsitektur lebih berkembang dan mempunyai objek kajian yang lebih luas dan kompleks dari sekedar ilmu tentang seni bangunan.
Sama halnya dengan arsitektur, kata nusantarapun mengalami rekontekstualisasi dari sebuah wilayah politik (Indonesia) menjadi ruang budaya yang lebih luas. Ruang budaya ini terbentuk oleh keterikatan individu dengan suatu tempat atau individu dengan individu lainnya.
Jadi, arsitektur nusantara bukanlah arsitektur yang mempelajari tentang perkembangan arsitektur di nusantara dari waktu ke waktu (berdasarkan geografis dan sejarah), tetapi arsitektur nusantara adalah kajian yang tidak hanya membahas secara luas tentang permukaan yang kasat mata (empirik), tetapi juga membahas secara dalam tenatng hal-hal yang bersifat meta-empirik untuk mewujudkan arsitektur yang berbudaya.
Lalu, bagaimanakah memunculkan lokalitas dan universalitas yang seimbang untuk mewujudkan arsitektur yang berbudaya?
Hakikat manusia yang memiliki jiwa/ruh dan raga/jasad tidak bisa terlepas dari unsur lokalitas dan universalitas. Jasad berkaitan dengan lokalitas (hubungan manusia dengan lingkungan), sedangkan ruh berkaitan dengan universalitas (hunbungan manusia dengan pencipta). Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan diantara keduanya, yaitu dengan langkah sebagai berikut.
Pertama adalah mengenali bagaimana lokalitas itu sendiri. Lokalitas disini adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan huniannya berdasarkan tipologi geografi-sosial. Lokalitas merupakan ciri khas masyarakat dan alam di tempat tertentu di nusantara. Saat ini unsur lokalitas mulai pudar dengan munculnya globalisasi yang berujung pada politik erosentris. Namun kita dapat memunculkan lokalitas dalam perancangan arsitektur dengan menambahkan detil-detil yang menunjukkan suatu identitas. Selain detil, lokalitas juga dapat ditunjukkan melalui proses konstruksi dan teknologi bahan yang digunakan dalam perancangan.
Kedua, memahami kembali makna universalitas. Yang dimaksud universalitas adalah hubungan manusia dan Tuhan yang bersifat meta-empirik. Universalitas berkaitan dengan filosofi yang berhubungan dengan ruh manusia.
Kemudian jika kedua langkah tersebut sudah diketahui dan dipahami oleh semua arsitek di dunia, maka tercapailah arsitektur yang berbudaya, yaitu pola pikir dan mentalitas arsitektur yang lebih baik. Bukan arsitek yang ingin menjadi "artis-tektur" yang individualis, tetapi arsitek yang berpikir untuk kemanusiaan.
Catatan:
Mohon posting yang lama (atas nama dibawah ini) tidak dihiraukan karena terjadi salah persepsi makna dari kata lokalitas dan universalitas. Mohon maaf dan terima kasih.
Oleh:
Rizqi Maulidiyah (0710650008)
Juwita Windhasari (0710650009)
Tyas Santri (0710650010)
Fadli Reza Utama (0710653012)
(Kelas A)
Apakah Arsitektur Nusantara?
Adalah suatu cara pandang bukan hanya kaum disipliner-arsitektur, namun juga seluruh warga dan penghuni Nusantara itu sendiri mengenai makna dari adanya kesinambungan gerakan antar alam dan bangunan yang ada.
Adanya keragaman budaya, bahasa serta adat istiadat sangat berpengaruh dalam ke-nusantaraan itu sendiri, dimana kesemuanya membentuk rangkaian pondasi yang lumayan kokoh dalam keragaman nusantara.
Arsitektur sendiri telah mengalami banyak perubahan, dari mulai jaman dahulu, dimulai dari arsitektur purba ( arsitektur yang menyatu dengan alam ) sampai sekarang dunia arsitektur telah berubah menjadi dunia individual dan egoistis, yang lebih mementingkan desain dirinya sendiri, dan kurang melihat lingkungan sekeliling.
Seringkali, arsitektur modern kurang melihat lingkungan dan masyarakat sekitar, menonjolkan keagungannya sendiri dan menjulang angkuh diatas kalangan bawah yang tersisih. Keagungan dan keangkuhannya dibiarkan mendera kaum bawah yang kurang diperhatikan ( terlihat dari foto ). Mal-mal terlihat dibangun memakan lapak kaum miskin yang tersisih, inikah Arsitektur?
Arsitektur harusnya melihat lebih jauh kedalam, kedalam lubuk hati nurani masyarakat nusantara terdalam.Adanya kesinambungan antara alam,lingkungan, masyarakat dan bangunan dapat membuat suatu nuansa dan jalinan yang indah dalam arsitektur nusantara.
Keindahan dari alam, keasrian lingkungan, keanekaragaman masyarakat dan komplexnya struktur bangunan itu sendiri sedapat mungkin membentuk suatu harmoni yang indah bagi nusantara. Agaknya kita harus mampu menerapkan itu dalam desain yang kita rancang.
Setelah membaca artikel ini, kami berkesimpulan bahwa dalam membangun sebuah bangunan / kawasan, kami akan menerapkan Arsitektur Nusantara, yaitu Arsitektur yang tidak hanya memandang bangunan sebagai sebuah kesatuan saja, namun sebagai bagian dari keseluruhan jiwa bumi Nusantara.
Best Regards,
Amelia Septifani - 0610650011
Andreas Kurniawan - 0610650012
Juanita Christanti - 0610650045
Padjar Ryssa Karina - 0610650059
Yessy Mita Savitri - 0610653057
Kelas A
ada tulisan/ tanggapan yang menyatakan bahwa universalitas itu identik dengan eurocentris!!!!
bukannya beda ya????
tolong terutama buat kelompok arnus kelas A: Feti dkk baca lagi bukunya pak galih yang Merah Putih Arsitektur Nusantara...Coba baca dab pahami halaman 10
"Globalisme (populernyalah Eurocentris) tidaklah sama dengan universalisme/universalitas"
menurut kelompok kami, nusantara tidak dapat dilihat secara fisik saja. untuk membedakan nusantara dengan wilayah yang lain bukan hanya berdasarkan letaknya yang diapit dua benua dan dikelilingi oleh lautan. nusantara memiliki keistimewaan khusus yang membedakannya dengan wilayah lain. Allah menciptakan nusantara layaknya rumah yang akan menaungi penghuninya dan akn memakmurkan penghuninya dengan apa yang ada di darat dan di laut. namun kemakmuran tersebut bisa dinikmati jika kita bisa memanfaatkannya dengan baik dan selalu hidup selaras dengan alam, bukan dengan mengeksploitasinya habis-habisan. harusnya kita sadar bahwa kemakmuran itulah yang membuat nusantara berbeda dengan yang lain. dan harusnya kita sangat bersyukur karena Allah menempatkan kelahiran dan kehidupan kita di nusantara ini, dan bukan di wilayah lain. salah satu ungkapan rasa syukur tersebut adalah dengan menjaga keramahan alam yang telah dianugerahkan Allah kepada nusantara kita, minimal melalui masing-masing bidang yang kita kuasai. pentingnya menjaga keramahan alam nusantara juga karena keramahan itu merupakan jatidiri nusantara.
dalam bidang arsitektur, menjaga keramahan alam dapat dilakukan dengan cara membuat desain-desain yang selaras dengan alam sekaligus mengambil pelajaran dari alam sehingga hasilnya tidak melawan atau bertentangan dengan alam. jadi dalam mendesain, kita tidak boleh mengedepankan subyektifitas,yaitu nafsu saja, namun lebih pada obyektifitas yang didasarkan atas akal, hati, rasa dan ruh yang menaungi tubuh kita.
kelompok arnus kls A
ratih widya a 0610650063
tunjung wahyu
yogie maulana s.
m. wildan 0610653033
ratih ariandani 0610653045
salam alaiakum bapak,
a cry in the dark
a bless in the chaos,
a bliss among the crowd,
a serene among the shroud,
and the fortune are only for them,
who speak in the Haqq
and speak in the Sabr
salam dateng adik-adik sedanten,
ngapunten sembahnuwun,
fajartrangbawono A94
representatif...
menjadi oase di tengah keringnya sahara arsitektur kita
komentar2nya muncul dari beragam persepsi dan konteks, namun ada baiknya jika komentar2 tsb disertakan pula sumber bacaannya
agar terhindar dari subyektifitas yang direka-reka
shg dapat menjadi peneguk dahaga bagi pengembara lainnya
salam,
yusfan A01
Eurocentrism, Kebuntuan Ilmu Arsitektur
Eurosentris…, menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti terpusat pada benua Eropa atau orang-orang Eropa, berkecenderungan untuk menafsirkan dunia berkenaan dengan Barat dan nilai serta pengalaman Eropa. Dalam kaitannya dengan fenomena arsitektur yang terjadi saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa pemikiran masyarakat secara umum menjadikan pemikiran eropa sebagai pemikiran yang dianggap ideal, dan paling pantas untuk dijadikan acuan dalam menyikapi suatu dinamika kehidupan.
“Wabah” pemusatan budaya berkiblat pada Eropa ini terjadi seiring dengan berkembangnya era globalisasi. Era globalisasi memang telah membuka pandangan masyarakat Indonesia kepada dunia luar, namun tampaknya era globalisasi juga merupakan awal dari penjajahan Indonesia di seluruh ranah kehidupan Indonesia, baik kekayaan budaya, adat istiadat, perilaku, keunikan alam, arsitektur serta politik. Globalisasi ini pun menciptakan pola pikir bahwa segala yang benar dan hakiki adalah segala hal yang berbau Eropa. Begitu pula dalam berasitektur. Pendidikan arsitektur di Indonesia pun saat ini turut berkiblat pada semua ketentuan-ketentuan dan standar desain gaya Eropa.
Pemikiran Europacentris dalam ber-Arsitektur ini adalah pola pemikiran yang salah besar karena bangsa Indonesia memiliki geografis, sejarah, kultur, adat dan budaya yang sangat berbeda dengan bangsa Barat. Sehingga bukanlah hal yang tepat untuk menyamakan tolak ukur keberhasilan bangsa Indonesia denga apa yang ada pada bangsa Barat. Dan rasanya tidak lazim pula jika kita mendasarkan ilmu ke-arsitekturan kita pada sesuatu yang sesungguhnya jauh berbeda dengan apa yang ada, dimiliki, dan berkembang di Indonesia.
Bangsa Indonesia memiliki jati dirinya sendiri. Menyadari akan pentingnya menjaga identitas sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa haruslah mendapatkan perhatian yang lebih dari seluruh masyarakat Indonesia. Perbaikan mentalitaspun menjadi terasa amat penting yaitu dari cara berpikir dan berbuat, serta dalam berkebudayaan ekspresif yang berdasarkan perasaan, intuisi, dan imajinasi.
Kebuntuan dalam ilmu berarsitektur pun tidak akan terjadi bila kita mau mengkaji dan menggali seperti apa sebenarnya Negara dan bangsa yang kita naungi ini. Sesuatu yang dipelajari lewat usaha dan proses yang panjang akan membuahkan hasil yang mengakar dalam relung-relung jiwa setiap insan, ketimbang mengambil dan menggunakan teori yang bisa didapat secara instan tanpa tahu asal muasalnya dan kesesuaian dalam penggunaannya. Itulah yang perlu dipahami dalam “memetik” buah manis dari suatu ilmu pengetahuan.
Arsitektur Rakyat dan Globalisme yang Berakar pada Eurosentris, Individulis dan Kapitalis
Globalisme muncul sebagai akibat adanya revolusi industri yang dianggap sebagai pintu keluar dari zaman kegelapan, zaman kebodohan dan zaman keterbelakangan. Tidak heran jika revolusi industri diagung-agungkan sebagai titik puncak dari keberhasilan umat manusia. Bangsa Eropa sebagai tempat revolusi industri ini bermula, secara otomatis di puja sebagai bangsa terhebat, termaju dan terunggul di dunia. Atas dasar pemikiran tersebut timbul suatu bentuk pola pikir dan kesombongan di antara bangsa barat bahwa segala sesuatu yang benar adalah yang berasal dari bangsa Eropa dan jika ada sesuatu yang tidak sama dengan hal tersebut merupakan hal yang salah dan terbelakang sehingga perlu dibenahi agar sesuai dengan apa yang ada pada bangsa Barat. Dengan adanya globalisasi dan penjajahan, pemikiran ini akhirnya menyebar dan merasuk ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Melalui masa penjajahan di Indonesia yang terjadi selama berabad-abad, bentuk pemikiran tersebut telah mendarah daging ditanamkan pada masyarakat Indonesia. Melalui pola pemikiran kolonial tersebut, masyarakat Indonesia dibentuk untuk berfikiran bahwa kita sebagai orang pribumi adalah bangsa yang terbelakang, sehingga perlu dibenahi agar sesuai dengan bangsa barat yang merupakan citra bangsa maju. Kita dibentuk untuk selalu beranggapan bahwa untuk menjadi sebuah bangsa yang berhasil, maka kita haruslah persis dengan apa yang ada pada bangsa Eropa. Akibatnya, walaupun bangsa Indonesia kini telah merdeka namun bentukan pola pemikiran kolonial ini tidaklah mudah untuk dihilangkan begitu saja.
Pola pemikiran europacentris ini telah terpatri dalam segala aspek kehidupan masyarakat kita. Tolak ukur keindahan, kemajuan, dan keberhasilan selalu kita pandang dari perspektif kehidupan bangsa Eropa. Sehingga kita cenderung senantiasa berupaya untuk meniru-niru dan menyamai segala sesuatu yang ada pada bangsa Barat. Kita selalu berfikiran bahwa apa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah sesuatu yang kampungan dan tidak sebaik apa yang dimiliki bangsa Barat. Nampaknya ini membuat nusantara kehilangan jati dirinya, khususnya dalam berarsitektur.
Paradigma modernisasi berbau eurosentris telah diadopsi banyak negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara ketiga disebabkan faktor internal (budaya dan kultur) yang diidentifikasikan sebagai nilai-nilai tradisional. Budaya dan kultur di negara dunia ketiga dianggap sebagai penghambat terjadinya perkembangan masyarakat menuju modern.
Hal itulah yang seharusnya disingkirkan dari pola mentalitas bangsa Indonesia itu sendiri. Jati diri arsitektur Indonesia tercermin pada bentukan fasade dan pemakaian teknologi bangunan yang jauh berbeda dengan arsitektur barat. Ini menjadi sebuah kunci pedoman penting dalam melestarikan “kehidupan” arsitektur Indonesia yang selaras dengan alam yang telah dimulai oleh nenek moyang kita.
Jika menganalogikan arsitektur rakyat dengan globalisme, bagaikan melihat realita kehidupan Indonesia di masa sekarang. Kita seperti membandingkan antara kawasan perumahan elit di kota Jakarta dengan kawasan ’rumah kardus’ di bawah kolong jembatan maupun di tepian rel kereta api maupun kawasan-kawasan lain yang dianggap kumuh dan merusak kota. Di kawasan orang-orang berduit itu, di kawasan yang setiap bangunannya berpedoman pada bentukan starchitect yang muncul di Eropa, kita hanya bisa melihat suatu kekakuan dan atmosfer individualis yang begitu kental. Namun di daerah, yang orang bilang sebagai kawasan kumuh, kawasan perusak tata kota, kita bisa menemukan kehangatan dan keakraban di dalamnya. Dan itulah karakter Indonesia yang sesungguhnya. Jika demikian, apakah arsitektur hanyalah sebuah wadah bagi kekakuan, keegoisan dan keindividualisan?
Arsitektur tidak dapat dinilai hanya dari keindahan segi fisiknya saja, namun hal yang terpenting sesungguhnya adalah bagaimana arsitektur tersebut mampu berdiri menyatu sebagai bagian dari masyarakat. Karena arsitektur sesungguhnya bukanlah sekedar gambar namun merupakan suatu gambaran dari realita kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Oleh :
Kelas B
M. Zikrillah NIM. 0710650011
Qurrotul A’yun NIM. 0710650018
Dwiyana Apriyanthi NIM. 0710650016
Arsitektur adalah dampak dari sikap.
Sikap memilih.
Sikap memihak.
terkadang, hal tersebut sangat mudah untuk dipahami, namun sulit untuk dibaca kembali di balik kenyataan.
Semoga tulisan pak Galih dapat bermanfaat dan menggugah arsitek untuk selalu mawas diri.
Terimakasih pak Galih.
Prasetyo Condro Gumilar
Terimakasih mas. Mungkin berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mas Condro yg lain di page: http://arsiteknusantara.blogspot.com/2010/04/tipologi-kebudayaan-arsitektur.html?showComment=1318111642364#c1361157254085808776
Arsitektur Nusantara memang sangat luar biasa, Apalagi Arsitektur Jaman pertengahan dengan konsep tradisional dan menggunakan bahan2 alami dari lingkungan sekitar, terlihat sangat asri dan menyatu dengan lingkungan,
numpang Share Gan"
promo pembuatan gambar IMB Rp10rb/m2, 0361-350 2498, 0887 36 444 39 jangan lupa bekunjung balik ke blog kita di : http://bagoosproperty.blogspot.com/
numpang promo
makasih banyak, salam sukses
Posting Komentar
Mohon tinggalkan akun valid. Terimakasih kunjungan Anda
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda